Landhuis Tjampea dan Sengketa Satu Abad Keturunan Tuan Tanah Hedon

- WVH van Riemsdijk mewariskan Land Tjampea kepada sembilan anak dan satu cucu. Ternyata surat wasiat itu bermasalah.
- Ada 14 anak dan satu cucu WVH van Riemsdijk dari rahim budak, yang berhak atas tanah itu.
- Sengketa berlangsung seratus tahun dan pewaris tanah itu berkembang menjadi 300 orang.
JERNIH –Tahun 1913, seperti dilaporkan Bataviaasch nieuwsblad edisi 10 Februari, Landhuis Tjampea menggelar ‘Sedekah Boemi’ — tradisi tahunan petani di Pulau Jawa. Penyelenggara pesta adalah N.V. Bataviasche Exploitatie Maatschappij van Vaste Goederen yang menyewa Land Tjampea mulai 1 Januari 1913. Sebelumnya, selama 20 tahun, Land Tjampea disewa NV Maatschappij Rijstlanden Michiels Arnold.
Perayaan untuk penduduk sebenarnya telah dimulai malam sebelumnya. Perayaan malam kedua berlangsung di Landhuis Tjampea, yang akan diisi dengan berbagai acara menarik. Ada gamelan dengan enam bayadere (penari wanita – red), proyektor film dengan ribuan meter film yang akan menampilkan pertunjukan di udara terbuka alias layer tancep, kembang api, makanan dan minuman dengan banyak pilihan.
Cuaca sedikit tak bersahabat. Gunung Salak berselimut awan dan langit menebar janji akan hujan, angin dingin bertiup ke arah Landhuis Tjampea. Jalan berlumpur, akibat hujan dua hari sebelumnya, tak menghalangi siapa pun untuk sampai ke rumah pedesaan yang terletak sepuluh kilometer dari Buitenzorg. Satu gerobak penuh wanita Sunda yang berpakaian paling bagus, sado dengan pria Tionghoa berpakaian hitam, dan sepanjang dua sisi jalan yang dipenuhi orang berjalan kaki, menambah suasana kemeriahan.
Di Landhuis Tjampea, JC Kievits — penyewa lahan atas nama N.V. Bataviasche Exploitatie Maatschappij van Vaste Goederen — menyambut tamu-tamu kulit putih, pejabat lokal dari kalangan pribumi, dan P.R. Feith — asisten residen Buitenzorg dan sosok yang memahami sejarah Tjampea. Tidak jauh dari tempat para penggede, sekelompok infanteri terdiri dari 40 orang dan dipimpin seorang letnan menikmati suasana.
Nyaris tidak ada ruang di halaman depa Landhuis Tjampae yang luas. Penduduk berdesak-desak, tapi situasi kondusif. Di belakang dan dua sisi landhuis, puluhan pelayan sibuk mempersiapkan dan mengantar hidangan; makanan dan minuman kepada para tahu. Di luar, khususnya di halaman rumah pedesaan, tersedia makanan dan minuman untuk penduduk.
Sedekah Boemi berlangsung sampai larut malam. Setelah pertunjukan orkestra asal Italia berakhir, tamu-tamu mulai beranjak pulang. Penduduk yang menyemut di halaman rumah pedesaan mulai beranjak pergi, menyusuri jalan-jalan kecil, menuju rumah masing-masing. Di jalan menuju Buitenzorg, mobil-mobil para penggede, sado yang ditumpangi orang Tionghoa berjalan beriringan diterangi puluhan obor yang dibawa penduduk.
Itulah kemeriahan di Land Tjampea yang dibawa JC Kievits, mantan perwira menengah KNIL yang menjadi pebisnis. Ia tidak hanya menyewa Tjampea, tapi juga Tjitrap, dan memberi keuntungan kepada keluarga pemegang saham perusahananya. Sebagai penyewa, Kievits juga tuan rumah Landhuis Tjampea.
Landhuis Van Riemsdijk
Dalam foto tahun 1890 di situs digitalcollections.universiteitleiden.nl, Landhuis Tjampea sedemikian megah. Bangunan satu lantai berastitekur oud Indische itu memiliki dua bangunan tambahan di kiri dan kanan. Teras depan digapai lewat tangga tiga undak. Tiang-tiang bulat putih menopang kemiringan atap bagian depan, membuatnya tampak indah.
Satu pintu ganda sedemikian besar menjadi akses utama ke ruang dalam yang luas. Jendela-jendela besar terdapat di sisi kiri dan kanan pintu, yang memungkinkan sirkulasi udara tak terhambat. Atap bangunan yang tinggi dipastikan memberi kenyamanan penghuni dam tamu-tamu yang berada di alamnya. Sayangnya, tidak ada gambar utuh galeri samping dan belakang. Kemungkinannya, kedua galeri itu juga berhias tiang-tiang bulat putih dan jendela-jendela yang besar.
Bangunan tambahan di sisi kanan Landhuis Tjampea tampaknya bangunan untuk penjaga. Sedangkan bangunan tambahan di isi kiri adalah akses masuk dari arah samping ke galeri depan rumah pedesaan. Halaman depan Landhuis Tjampea sedemikian luas, yang membuatnya layak menggelar pesta-pesta besar melibatkan penduduk.
Gambaran dalam foto tahun 1890 ini bertolak belakang dengan narasi singkat Andries Teisseire tahun 1790-an. Teisseire menulis; “….sekitar lima belas tahun lalu sebuah rumah batu besar dibangun dengan biaya mahal, dan sekarang benar-benar bobrok.” Muncul pertanyaan, apakah Landhuis Tjampea yang muncul dalam foto tahun 1890 tidak lagi asli, alias telah mengalami berbagai renovasi?
Situs stamboom.nesvadba.net, dalam artikel berjudul ‘Tjampea’, menulis Willem Vincent Helvetius (WVH) van Riemsdijk menjadi pemilik Land Tjampea — satu dari tiga Compagniesland saat itu — tahun 1778. Pada 15 September tahun yang sama, ia membayar 67.400 rijksdalder untuk sejumlah bidang, dan mengeluarkan 13.100 rijksdalder lagi untuk dua bidang lainnya, dan seluruh bidang-bidang tanah itu secara koleltif disebut Tjampea.
Luas permukaan Tjiampea sebanding dengan Propinsi Utrecht di Belanda, berupa hutan lebat, hamparan sawah, perbukitan kapur dengan sarang burung walet, dan puluhan ribu penduduk yang keras kepala. Van Riemsdijk membangun sistem hukum sendiri, dengan perangkat yang keras, untuk menjinakan penduduk, tapi penulis artikel ‘Tjampea’ tidak bercerita putra Gubernur Jenderal VOC Jeremias van Riemsdijk membangun landhuis.
Jika mengacu pada narasi Teisseire, WVH van Riemsdijk membangun rumah pedesaan tak lama setelah mengakuisisi Land Tjampea. Namun, ia kemungkinan meninggalkan rumah itu karena khawatir sistem hukum yang dibangun untuk menjinakkan penduduk Tjampea menjadi boomerang dan menempatkan diirnya dalam bahaya serius.
Kemungkinan lain, seperti ayahnya, WVH van Riemsdijk terlanjur hidup dekaden, bergelimang kemewahan, dan kerap menandai sukses dalam bisnis dengan membangun rumah megah. WVH van Riemsdijk punya uang untuk semua itu. Sebab, sejak usia sembilan tahun — saat anak-anak pegawai VOC masih bermain dan minta uang jajan kepada orang tua — WVH van Riemsdijk telah mendapatkan gaji dari VOC. Adalah Jeremias van Riemsdijk, sang ayah, yang memasukan namanya ke dalam daftar gaji kongsi dagang multinasional itu.
Tidak ada catatan berapa lama WVH van Riemsdijk menempati rumah itu. Jika mengacu pada catatan Teisseire, ia kemungkinan tidak lagi menyambangi Landhuis Tjampea sebelum 1790-an. Akibatnya, rumah pedesaan merana tanpa penghuni, dan kemungkinan hancur.
Tulisan di Bataviaasch nieuwsblad edisi 10 Februari 1913 tampaknya membuat kita berasumsi bahwa Landhuis Tjampea yang terlihat dalam foto 1890 bukan rumah pedesaan yang dibangun WVH van Riemsdijk. Landhuis Tjampea, menrut Bataviaasch nieuwsblad, semula dibangun sebagai gereja. Tidak ada gamelan di dalamnya, yang ada adalah organ. Tidak ada bayadere atau penari perempuan, tapi khutbah tentang kefanaan.
Setiap dua pekan, pendeta datang dari Buitenzorg untuk berbicara kepada jamaan. Namun, hal-hal rohoani tidak mendatangkan kedamaian dan memunculkan ketidak-puasan. Pemilik rumah kesal dan memerintahkan mimbar dibongkar, dan pendeta mendapati gerejanya ditutup. Setelah itu perdamaian kembali ke Land Tjampea.
Sengketa Riemsdijk vs Kijdsmeir
Membentang seluas 51.000 bouw atau 36 ribu hektar, Land Tjampea adalah lahan sengketa dan pertarungan hukum sepanjang abad. Ini terlihat dalam Regeerings Almanak voor Nederlandsch Indie, yang lebih banyak mencantumkan Erven (ahli waris) van Riemsdijk sebagai pemilik. Sepeninggal WVH van Riemsdijk, Land Tjampea jatuh dari satu ke lain tangan penyewa jangka panjang dan pergantian administratur, tapi tanpa pemilik tunggal.
Konflik dimulai tahun 1815, ketika WVH van Riemsdijk menulis surat wasiat di depan notaris. Isi surat wasiat itu, mewariskan Land Tjampea kepada enam putra, tiga putri, dan seorang cucu perempuan. Dua tahun setelah menulis surat wasiat itu, WVH van Riemsdijk meninggal dunia. Pengadilan Hindia Belanda menggunakan aturan fideicommis pada surat wasiat itu. Hasilnya, harta warisan hanya dapat dijual oleh keturunan generasi keempat.
Setahun setelah kematian WVH van Riemsdijk, surat wasiat itu diperluas. Artinya, tidak hanya enam putra, tiga putri, dan satu cucu, yang berhak atas Land Tjampea, tapi 14 anak dan satu cucu lainnya juga berhak atas tanah partikelir itu. Sebanyak 14 anak WVH van Riesmdijk itu lahir dari rahim perempuan tak dinikahi dan gundik. Mereka tak berhak menyandang nama Van Riemsdijk, dan mengadopsi nama Kijdsmeir — kebalikan dari Riemsdijk.
Terjadilah pertarungan Riemsdijk vs Kijdsmeir, atau anak-anak sah Van Reimsdijk melawan anak-anak di luar nikah sang tuan tanah hedonis.
Sampai 1913, saat Land Tjampea disewa N.V. Bataviasche Exploitatie Maatschappij van Vaste Goederen, pengadilan masih menetapkan pemilik tanah itu adalah ahli waris (erven) Van Riemsdijk. Lebih jelas lagi, yang dimaksud ahli waris adalah mereka yang tertera alam surat waris yang diperluas, bukan yang ditulis WVH van Riemsdijk.
Namun, Regeerings Almanak voor Nederlandsche Indie mencatat sebaliknya. Tahun 1888, saat muncul isu pemberontakan petani, A. R . ten Houte de Lange-Benjamins tercatat sebagai pemilik Land Tjampea, dengan Frederik Hendrik Constant (FHC) van Motman sebagai penyewa dan administratur. Yang aneh dari catatan itu adalah luas wilayah Land Tjampea hanya 11.315 bouw, atau seperlima dari luas keseluruhan. Asumsinya adalah A. R . ten Houte de Lange-Benjamins hanya memiliki beberapa bidang tanah di bawah nama kolektif Land Tjampea.
A. R . ten Houte de Lange-Benjamins punya nama asli Wilhelmus Diederik. Ia dalah putra WVH van Riemsdijk dari rahim perempuan budak bernama Dekkan van Mandhaar. Wilhelmus Deiderik diadopsi Keluarga Benjamin, dan menolak menggunakan nama Kijdsmeir seperti anak-anak WVH van Riesmsdijk di luar perkawinan lainnya. A.R ten Houte de Lange-Benjamins memiliki sepuluh anak dari pernikahan dengan Johana Henriette Nesvadba-Wetters, yang semuanya menuntut kepemilikan atas Land Tjampea.
Daniel Cornelis (DC) Ament juga sempat tercatat sebagai pemilik Land Tjampea. JC Schonstedt tercatat di Regeerings Almanak voor Nederlandsch Indie antara 1903 sampai 1910. Setelah itu, Land Tjampea kembali di bawah Fed commissaire landen, dan milik ahli waris WVH van Riemsdijk. Sesuai turan fideicommis, harta warisan hanya dapat dijual oleh keturunan generasi keempat.
Thung Tjoen Ho, mantan Luitenant der Chinezen van Buitenzorg, juga sempat tercatat di Regeerings Almanak voor Nederlandsch Indie 1914-1916 sebagai pemilik Land Tjampea. Tidak ada cerita bagaimana nama Tionghoa ini muncul dalam sengketa tanah partikelir yang melibatkan anak-anak Vam Riemsdijk.
Tahun 1920, setelah penghapusan perbudakan dan pembangunan infrastruktur yang gencar, pemerintah Hindia Belanda memutuskan — melalui surat keputusan Gubernur Jenderal Johan Paul van Limburg Stirum — untuk mengambil alih Land Tjampea, dan ahli waris diminta menentukan nilainya. Namun, krisis ekonomi global menghambat rencana pemerintah.
Tahun 1927 rencana itu dihidupkan lagi. Bagi ahli waris Land Tjampea, terutama mereka yang tak tahu apa-apa tentang sejarah tanah itu, uang yang akan dibayarkan pemerintah adalah rezeki nomplok yang bikin mereka kaya mendadak. Pemerintah mengajukan penawaran untuk Land Tjampea, dan ahli waris — yang jumlahnya membengkak menjadi 300 orang dan diwakili pengacara PR Feith — memperkirakan Land Tjampea bernilai 10 juta gulden.
Alih-alih akan mendapat rezeki nomplok, ahli waris Land Tjampea gigit jari ketika Kementerian Keuangan menyatakan keberatan mengeluarkan 10 juta gulden untuk membeli tanah itu. Tahun 1940, seperti diberitakan Nieuwe Haarlemsche courant edisi 4 Januari, Mahkamah Agung memanggil seluruh pemilik Land Tjampea pada 28 Februari untuk didengar tanggapan atas permintaan Maatschappij tot Exploitatie van Onroerende Goederen Tjampea atas penjualan tanah partikelir itu dan menetapkan mekanisme pembagian hasil penjualan.
Sengketa Land Tjampea berakhir di sini, tapi kenangan akan konflik atas tanah itu tak pernah hilang dari benak semua ahli waris. Sampai tahun 2.000, anak-anak ahli waris yang mempelajari sejarah Land Tjampea akan selalu mengunjungi tanah nenek moyang mereka yang kini bernama Tjiampea.