CrispyVeritas

Mantan Wakil Ketua KPK: Pasal Korupsi Bikin Pemberantasan Mandek

Dalam kasus yang kerugian negaranya dihitung sendiri jaksa KPK sebesar Rp 1,253 triliun itu, Amien menyatakan kasus ASDP perlu diselidiki ulang. Ia juga menyarankan agar penilaian nilai kapal diserahkan pada lembaga penilai resmi. “Kalau ingin menguji nilai kapal, tanya kepada penilai Perusahaan, Pusat Pembinaan Profesi Keuangan. Jangan tanya ke dosen atau akademisi,” ujarnya. Menurut pembela, proses akuisisi ASDP terhadap JN telah diawasi Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Jaksa Agung Muda Bidang Tata Usaha Negara (Jamdatun), serta Menteri BUMN. Semua pihak tersebut menyatakan tidak ditemukan kerugian negara.

JERNIH– Mantan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Amien Sunaryadi menyebut dua pasal dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menjadi penyebab mandeknya pemberantasan korupsi di Indonesia. Dua pasal itu, Pasal 2 dan Pasal 3, menurut Amien, justru menciptakan ketakutan baru bagi pejabat publik untuk bertindak.

“Tidak ada harapan perbaikan pemberantasan korupsi kalau pasal ini ada. Sejak KPK didirikan pada 2004 sampai sekarang, kita lihat korupsi di Indonesia tidak berkurang,” kata Amien dalam sidang kasus dugaan korupsi akuisisi PT Jembatan Nusantara (JN) oleh PT ASDP Ferry Indonesia, Jumat (17/10/2025), di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Pernyataan itu disampaikan Amien saat menanggapi pertanyaan dari tim pembela mantan direksi ASDP; Ira Puspadewi, M. Yusuf Hadi, dan Harry M.A.C. Para pembela mempersoalkan penetapan kerugian negara yang dalam perkara ini dihitung sendiri oleh jaksa penuntut umum KPK, tanpa melalui lembaga resmi.

Dalam kasus ini, jaksa KPK menetapkan kerugian negara sebesar Rp 1,253 triliun. Padahal, menurut pembela, proses akuisisi ASDP terhadap JN telah diawasi oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Jaksa Agung Muda Bidang Tata Usaha Negara (Jamdatun), serta Menteri BUMN. Semua pihak tersebut menyatakan tidak ditemukan kerugian negara.

Amien mengingatkan bahwa klausul “merugikan keuangan negara” hanya dikenal dalam hukum di Indonesia. “Di lembaga-lembaga pemberantasan korupsi di negara lain seperti Australia, Malaysia, dan Hongkong tidak ada aturan itu. Itu sebabnya kalau Indonesia bekerja sama dengan negara lain, kita tidak bisa menangkap tersangka korupsi yang kabur ke luar negeri karena kita memakai pasal ini,” kata Amien.

Menurutnya, kerja sama internasional dalam penegakan hukum kerap terhambat karena negara lain tidak mengenal konsep “merugikan keuangan negara”. “Mereka selalu bilang itu tidak ada dalam hukum pidana kami. Yang ada adalah klausul suap atau bribery,” kata Amien. Karena itu, ia menilai salah besar jika korupsi semata-mata diartikan sebagai perbuatan yang merugikan keuangan negara.

Amien berpendapat pasal tersebut harus dihapuskan karena tidak efektif memberantas korupsi. “Atau kalau masih digunakan, harus jelas adanya mens rea (niat jahatnya),” kata dia. Ia menilai fokus pemberantasan korupsi seharusnya diarahkan pada suap dan gratifikasi, bukan pada tafsir kerugian negara yang sering disalahgunakan.

Sejak diberlakukannya UU Nomor 31 Tahun 1999, penerapan Pasal 2 dan 3 memang menuai pro dan kontra. Banyak pengamat hukum menilai pasal-pasal itu telah menjelma menjadi “pasal karet” yang membuka peluang kriminalisasi terhadap kebijakan publik, terutama di BUMN. Ketakutan akan dijerat pasal itu membuat pejabat publik enggan mengambil keputusan strategis.

Amien mencontohkan dampaknya terhadap sektor energi nasional. Ia menyebut banyak pejabat di Pertamina yang enggan melakukan eksplorasi migas karena takut dianggap merugikan negara. “Mereka tahu Indonesia punya 128 cekungan minyak dan gas bumi. Dari 10 yang dibor, biasanya hanya tiga yang berhasil. Tapi hasil tiga itu bisa menutup biaya tujuh lainnya,” katanya. Namun kini, kata Amien, aparat hukum lebih fokus pada tujuh yang gagal ketimbang tiga yang berhasil. “Pertamina takut ngebor. Terakhir ngebor itu tahun 1967,” katanya. Akibatnya, Indonesia bergantung pada impor minyak. “Duit kita mengalir ke Menteri Keuangan Angola, karena kita impor dari sana,” ujar mantan Ketua SKK Migas itu.

Dalam sidang itu, Ketua Majelis Hakim Sunoto turut menanyakan pandangan Amien terkait perbedaan perhitungan nilai aset antara jaksa dan pembela. “Apakah kasus ini sebaiknya diselidiki ulang, atau diteruskan ke gugatan perdata, atau pidana?” tanya Sunoto.

Amien menjelaskan, saat ia menjabat pimpinan KPK pada 2004, semua perkara yang diajukan ke pengadilan diputuskan secara kolektif oleh lima pimpinan KPK agar berkas benar-benar matang. Karena itu, menurutnya, kasus ASDP perlu diselidiki ulang. Ia juga menyarankan agar penilaian nilai kapal diserahkan pada lembaga penilai resmi. “Kalau ingin menguji nilai kapal, ya tanya kepada penilai perusahaan itu, yakni P2PK (Pusat Pembinaan Profesi Keuangan). Jangan tanya ke dosen atau akademisi. Kalau ke dosen, kita tanya ujian saja,” ujarnya.

Hakim Sunoto kemudian menyinggung bukti percakapan WhatsApp yang disebut jaksa mengindikasikan pengkondisian harga. Amien menjawab, yang perlu dicermati adalah isi percakapan tersebut. “Yang harus dilihat dari chat-chat itu apakah ada kata-kata yang berisi tentang suap dan kickback. Kalau chat biasa pembeli dan penjual, itu wajar,” ujarnya.

Amien menambahkan, selama bertugas di KPK ia menyusun sekitar 3.000 daftar kata yang berasosiasi dengan suap dan kickback. “Contohnya kata durian, apel washington, kardus, dan lain-lain. Jadi dari 11 juta email yang kita sedot itu kita pelajari sehingga bisa menemukan kata yang mengarah pada suap,” ujarnya.

Amien menegaskan kembali, reformasi pemberantasan korupsi di Indonesia hanya bisa berjalan bila hukum dibersihkan dari pasal-pasal yang menimbulkan ketakutan dan kebingungan hukum. Ia meminta fokus dikembalikan pada substansi: suap, gratifikasi, dan niat jahat pelaku. [ ]

Back to top button