
Rentetan pengungkapan ini terjadi di tengah laporan baru mengungkap pola pelanggaran lebih luas, termasuk penodaan jasad, pencurian sisa-sisa, dan laporan pengambilan organ, melampaui wilayah Palestina yang diduduki hingga ke tindakan di luar negeri.
JERNIH – Di tengah luka mendalam pendudukan puluhan tahun, satu lagi kekejian terkuak dari balik dinding Israel yakni penahanan ratusan jasad warga Palestina, termasuk anak-anak. Ini bukan sekadar isu hak asasi manusia, ini adalah penodaan terakhir terhadap kemanusiaan, bahkan setelah kematian.
Kampanye Nasional untuk Pemulihan Jenazah Korban Perang Palestina dan Arab serta Pengungkapan Nasib Orang Hilang telah mengungkapkan angka yang memilukan: Israel masih menahan 735 jenazah warga Palestina, termasuk 67 anak-anak.
Dari angka tersebut, 256 jenazah ditahan di tempat yang dikenal sebagai “kuburan nomor”: kuburan massal yang hanya ditandai dengan batu dan plat logam berukir angka, bukan nama. Setiap angka mewakili file rahasia yang disimpan otoritas Israel, menyembunyikan identitas dan kisah hidup di balik deretan nomor dingin. Ini adalah bentuk ekstrem dari dehumanisasi, bahkan di akhir perjalanan hidup.
Tragisnya, 479 jenazah telah ditahan sejak awal 2025 saja. Di antaranya adalah 86 warga Palestina yang meninggal dalam tahanan Israel, 67 anak-anak yang tak berdosa, dan 10 wanita. Praktik-praktik ini bukan insiden terisolasi, melainkan bagian dari “pelanggaran sistematis dan berkelanjutan oleh Israel terhadap rakyat Palestina,” demikian tudingan Kampanye Nasional.
Lebih dari itu, tuduhan serius muncul terkait penodaan jenazah martir, pencurian sisa-sisa jasad dari situs pemakaman, dan yang paling mengerikan, dugaan pencurian organ vital. Kantor Media Pemerintah di Gaza mengonfirmasi bahwa Israel telah lebih dari sekali mencuri organ dari jenazah warga Palestina selama perang genosidanya. Sebuah tuduhan yang jika terbukti, akan mengoyak batas-batas moralitas.
Fasilitas Neraka di Gurun Pasir
Pada Agustus lalu, harian Israel Haaretz mengungkap fakta mengejutkan: Israel menahan sekitar 1.500 jenazah warga Palestina di fasilitas penahanan Sde Teiman yang terkenal kejam di gurun al-Naqab sejak 7 Oktober 2023.
Seorang tentara Israel yang bertugas di lokasi tersebut memberikan kesaksian mengerikan. Jenazah-jenazah itu disimpan dalam kontainer berpendingin, diidentifikasi hanya dengan nomor, bukan nama. Kondisi digambarkan suram; banyak jenazah menunjukkan tanda-tanda dekomposisi, sementara yang lain kehilangan anggota badan atau wajah mereka sebagian tidak dapat dikenali.
Haaretz memperkirakan sebagian besar jenazah kemungkinan adalah pejuang Hamas elite yang melakukan operasi 7 Oktober. Yang lebih mencengangkan, laporan itu menyatakan tidak satu pun jenazah ditransfer ke pusat forensik untuk otopsi atau prosedur identifikasi. Ini memicu pertanyaan besar tentang transparansi dan akuntabilitas.
Jasad Manusia untuk Latihan Perang
Rentetan pengungkapan ini terjadi di tengah laporan baru mengungkap pola pelanggaran lebih luas, termasuk penodaan jasad, pencurian sisa-sisa, dan laporan pengambilan organ, melampaui wilayah Palestina yang diduduki hingga ke tindakan di luar negeri.
Annenberg Media baru-baru ini meninjau kontrak federal dan menemukan fakta mengejutkan: University of Southern California (USC) telah menerima hampir $1,1 juta dari Angkatan Laut AS selama tujuh tahun terakhir untuk pengadaan kadaver manusia. Kadaver-kadaver ini digunakan dalam pelatihan medis militer, termasuk kursus yang dirancang khusus untuk Pasukan Pendudukan Israel (IOF).
Sejak 2017, Angkatan Laut AS telah membayar USC lebih dari $860.000 untuk setidaknya 89 “jasad kadaver segar”, 32 di antaranya digunakan oleh tim medis IOF di Los Angeles General Medical Center. Satu kontrak masih aktif, memungkinkan pembelian kadaver tambahan senilai $225.000 hingga September 2026.
Meski kontrak kadaver ini kurang dari 1% dari perjanjian Angkatan Laut USC yang lebih luas, para peneliti tidak dapat mengidentifikasi universitas AS lain yang memasok jasad untuk pelatihan IOF.
Navy Trauma Training Center (NTTC), yang beroperasi dari L.A. General, mengawasi kursus-kursus ini. Sementara dokter, perawat, dan korps Angkatan Laut AS menjalani program medis tempur 30 hari, tim bedah IOF menjalani 96 jam pelatihan trauma intensif. Dokumen menunjukkan bahwa personel IOF berlatih pada kadaver yang non-perfused (tanpa sirkulasi darah) dan perfused (dipompa darah buatan untuk mensimulasikan kondisi medan perang).
Pengungkapan ini melukiskan gambaran kelam tentang praktik-praktik yang melampaui batas-batas perang konvensional, merambah ke wilayah etika dan kemanusiaan paling dasar. Penahanan jenazah, “kuburan nomor” yang anonim, dugaan pencurian organ, hingga penggunaan kadaver manusia untuk pelatihan militer pihak ketiga, semuanya menuntut perhatian serius dan investigasi internasional.
Ketika kehormatan orang mati pun tak lagi dihargai, apa yang tersisa dari nilai-nilai kemanusiaan di tengah konflik yang berkepanjangan ini?