Mayor Kido Shinichiro, Komandan Jepang Legendaris dari Semarang
- Ia menolak menyerahkan senjata ke pejuang Indonesia, melindungi tawanan di kamp interniran.
- Ia mengamuk ketika pejuang Indonesia membantai orang Jepang.
- Saat pejuang Indonesia menghadapi sekutu, Mayor Kido berbalik membantu Indonesia.
JERNIH — Saat menemukan foto ini di project2021.ntr.nl, saya segera teringat artikel The Secret of Major Kido: The Battle of Semarang, 15-19 October 1945 yang ditulis Han Bing Song. Sosok dalam foto ini adalah Mayor Kido Shinichiro (kanan), komandan pasukan Jepang di Semarang, dan Kapten Tomlison (Inggris).
Foto itu kemungkinan diambil setelah kedatangan pasukan Inggris di Semarang pada pertengahan Oktober 1945. Mayor Kido, komandan Kido Butai, sumringah menerima Kapten Tomlison. Perlucutan senjata Jepang oleh pasukan Inggris berlangsung mulus.
Bagi pelaku sejarah Semarang, terutama mereka yang terlibat dalam peristiwa sebelum dan setelah penyerahan kekuasaan dari tangan Jepang ke Inggris, Mayor Kido adalah sosok misterius dan mengejutkan semua pihak.
Pertempuran Semarang Pertama
Dalam De blik van een buitenstaander 2, penulis di project2021.ntr.nl, memaparkan singkat tentang Pertempuran Semarang yang berlangsung lima hari. Pertempuran dimulai ketika Gubernur Jawa Tengah Wongsonegoro menuntut Jepang menyerahkan senjata kepada Indonesia. Mayor Kido menolak karena ingin mematuhi perjanjian sekutu sebagai pemenang perang.
Pada 14 Oktober, pemuda Indonesia menangkap warga sipil Jepang dan mengangkutnya ke Penjara Boeloe. Malam hari, seluruh orang Jepang di Penjara Boeloe dibantai. Jumlahnya mencapai ratusan.
Tidak ingin pembantaian terhadap orang Jepang berlanjut, Mayor Kido keluar dari barak dengan seluruh pasukannya, memerangi Laskar Rakyat. Pertempuran berlangsung lima hari di hampir seluruh pelosok kota. Unggul segalanya, Mayor Kido kembali mengambil alih Semarang dalam lima hari.
Nugroho Notosusanto mengklaim Pertempuran Semarang adalah bentrokan paling sengit pertama di awal perjuangan mempertahankan kemerdekaan RI, dengan Mayor Kido sebagai sosok paling berkesan di mata pejuang Indonesia.
Sebagian pelaku sejarah mengenang pertempuran itu sebagai bentrok dua pasukan yang marah. Pihak Indonesia marah karena Jepang menolak menyerahkan senjata dan memicu pembantaian di Penjara Boeloe. Jepang marah karena Indonesia membantai dan Mayor Kido ingin memastikan tidak ada pembantaian lagi sampai Inggris datang.
Perdebatan muncul seputar kapan Pertempuran Semarang dimulai. Markas Besar AD Jepang mengatakan Pembantaian Boeloe mendahului aksi militer Mayor Kido. Namun sejarawan JJP de Jong mengatakan Pembantaian Boeloe terjadi sehari setelah aksi militer Jepang.
Kejelasan tentang waktu Pembantaian Boeloe disampaikan JE Helfrich, anggota tim Recovery of Allied Prisoners of War and Internees (RAPWI), dalam laporannya tentang penahanan Boeloe 14-16 Oktober. Laporan dianggap akurat karena ditulis sehari setelah Helfrich dibebaskan Mayor Kido.
Helfrich menulis; berbeda dengan orang-orang Belanda yang ditangkap pada 14 Oktober siang hari, tawanan Jepang dibawa masuk ke penjara oleh pejuang Indonesia pada malam hari. Pada malam 15 Oktober, tembakan dan teriakan terdengar dari dalam penjara. Sore 16 Oktober 1945, tembakan terdengar lagi dari dalam penjara.
“Malam tanggal 14-15 Oktober kami terbangun oleh suara senapan mesin dan lalu lintas yang ramai di sepanjang Jl Gadjah Moengkoer,” tulis Helfrich. Kolonel C Wishart, komandan RAPWI Jawa Tengah, menulis pada pukul 4:30 pagi kami diberitahu pihak Jepang bahwa mereka menembaki pejuang Indonesia yang menyerang kota.
Penelitian pihak Indonesia menyebutkan Pertempuran Semarang dimulai sehari lebih awal, atau pada 14 Oktober, bukan 15 Oktober. Pada hari itu, tentara Mayor Kido melucuti polisi Indonesia yang menjaga waduk air. Namun pihak Jepang tidak menyebut peristiwa ini. Muncul isu, waduk air diracun Jepang.
Dr Kariadi, dari RS Pusat, ditembak dan tewas di tempat dalam perjalanan ke waduk untuk menyelidiki kebenaran isu peracunan air. Tidak ada yang tahu pasti yang yang membunuh dr Kariadi di Jl Pandanaran 12. Yang pasti, di tempat dr Kariadi terbunuh sekelompok 339 warga sipil Jepang tak bersejata dipindahkan ke pabrik baja Tjepiring, dekat Kendal, pada 12 Oktober.
Pada larut malam 14 Oktober warga sipil Jepang bentrok dengan Polisi Khusus Indonesia. Betrokan terjadi saat seluruh tawanan akan dibawa pergi. Orang Jepang melawan dengan tongkat kayu, batang besi, dan senjata ringan yang diseludupkan.
Informasi lain dari pihak Indonesia menyebutkan Mayor Kido tidak tahu adanya pembantaian di Penjara Boeloe. Ia tahu setelah menyerbu Penjara Boeloe pada pukul 16:30. Penulis Belanda mengatakan enam orang Jepang yang lolos dari Penjara Boeloe memberi tahu Mayor Kido adanya pembantaian, dan penyerbuan dilakukan.
Hari pertama Pertempuran Semarang pada 15 Oktober 1945, antara pejuang Indonesia dan Jepang, tidak banyak korban jiwa di kedua pihak. Setelah informasi pembantaian merebak, Mayor Kido mengamuk. Han Bing Song menulis pasukan Jepang bertempur seperti Gengis Khan atau Tammerlane (Timur Lang – red).
Mayor Kido memberi kebebasan kepada komandan di garis depan untuk bertindak. Yang terjadi adalah pembantaian terhadap pejuang Indonesia yang ditangkap. Salah satunya terjadi di sebuah bukit. Sekitar 40 orang Indonesia diikat, diseret dan dijatuhkan ke jurang.
Jika demikian, Mayor Kido mengobarkan perang melawan pejuang Indonesia atas perintah siapa?
Mungkinkah dia bertindak sendiri. Sebab, pada 13 Oktober Mayjen Nakamura — komandan pasukan Jepang di Jawa Tengah — ditangkap pihak Indonesia di Magelang, dilucuti, dan ditawan. Informasi penangkapan Mayjen Nakamura disampaikan Letnan Ishida dari Ambarawa kepada Mayor Kido pada 14 Oktober.
Teori lain menyebut Mayor Kido bertindak atas perintah TS Tull, komandan AU Inggris. Namun laporan Mayor Kido dalam Bahasa Inggris, berjudul The Defence of Semarang, tidak menyebutkan hal itu.
Di Ambarawa, setelah mendengar tindakan Mayor Kido di Semarang, komanda pasukan Jepang menyerahkan diri kepada orang Indonesia dan dengan sukarela dipenjara. Jumlah tentara Jepang di Ambarawa sekitar 300 orang. Namun tiga truk orang Jepang yang disebut anggota Kido Butai menabrak pembatas dan bergerak menuju Semarang untuk terjun dalam pertempuran.
Mereka menghadapi pejuang Indonesia di Oengaran. Pertempuran sengit tak terhindarkan, yang membuat Yoshimora menjadi perwira Jepang pertama yang terbunuh. Yoshimora terbunuh oleh senjata yang diserahkan individu serdadu Jepang, atau direbut direbut dari gudang senjata pada 25 September 1945 dalam tiga kasus.
Senjata Jepang yang jatuh ke tangan Indonesia tidak berasal dari anggota Kido Butai, atau pasukan Jepang yang berada di bawah pengaruh Mayor Kido. Namun laporan lain menyebutkan sebagian anggota Kido Butai menyerahkan senjatanya ke pejuang Indonesia di Semarang.
Dalam wawancara dengan Han Bing Song di Kyoto, 19 Agustus 1986 Mayor Kido menjawab pertanyaan mengapa menolak menyerahkan senjata kepada orang Indonesia. Manurut Mayor Kido, senjata yang digunakan batalionnya adalah senjata asli AD Jepang, dengan ukiran bunga krisan berkelopak enam belas Kekaisaran di atasnya.
Jadi, senjata itu milik Kaisar Jepang. Menurut AD Jepang, penyerahan senjata itu sama sekali tidak mungkin. Adalah tugas setiap prajurit untuk bertempur sampai mati dengan senjata itu. Setiap prajurit Jepang telah belajar melindugi senjata dengan tubuhnya jika terluka.
Senjata-senjata yang diserahkan ke pejuang Indonesia adalah senjata yang digunakan mempersenjatai PETA. Senjata yang digunakan PETA diperoleh dari prajurit KNIL yang dilucuti. Artinya, Jepang tidak pernah menyerahkan senjata kepada pihak Indonesia.
Jadi, Mayor Kido bertindak atas dasar rasa kewajiban menolak dilucuti orang Indonesia. Tindakan Mayor Kido dibenarkan Panglima Tertinggi Jepang seperti dinyatakan dalam Hokokusho, atau laporan harian, bahwa setiap komandan berhak memutuskan mengambil tindakan terhadap orang Indonesia jika tidak dapat dihindari.
Inggris memuji Mayor Kido setinggi langit. Berkat keputusan Mayor Kido menghadapi pejuang Indonesia, tahanan di kamp interniran terlindungi. Pasukan Inggris di Semarang tidak bernasib mengenaskan seperti Brigade 49 di Surabaya. Tahanan kulit putih di Semarang berutang nyawa kepada Mayor Kido dan anak buahnya.
Brigair RBW Berthel, salah satu komandan Inggris, dalam suratnya kepada Mayor Kido memuji keberanian pasukan Jepang di Semarang. MW Dening, kepala penasehat politik Lord Mounbetten, mengatakan Kido Butai memperlihatkan keberanian dan pengabdian terhadap tugas atas perintah Inggris.
Gubernur Jenderal Hindia-Belanda Van Mook mengatakan kebencian tahanan kulit putih terhadap Jepang, akibat penganiayaan bertahun-tahun, berubah menjadi rasa terima kasih, berutang nyawa, dan kekaguman.
Pertempuran Semarang Kedua
Pertengahan November 1945, Pertempuran Semarang Kedua meletus. Pejuang Indonesia menyerbu Semarang dan berhadapan dengan Inggris. Mayor Kido, yang pasukannya telah dilucuti dan menjadi tawanan, melakukan sesuatu yang tak terduga.
Ia membiarkan tentaranya mengambil kembali senjata dan membantu pejuang RI melawan Inggris. Warga Semarang, terutama yang terlibat dalam Pertempuran Semarang Pertama dibuat terkejut ketika pasukan Kido Butai datang dan menyatakan membantu.
Mayor Kido mendapat apresiasi dari pejuang Indoneisa. Inggris menarik rencananya memberi penghargaan kepada Mayor Kido. Di pihak Belanda, kabar ini membingungkan. Bagaiman mungkin Mayor Kido dan pasukannya, yang sebelumnya menghadapi pejuang Indonesia dalam pertempuran sengit, tiba-tiba berbalik membantu Indonesia.
Padahal sebulan sebelumnya, Mayor Kido memerintahkan detasemen Yuda Budai di Purwokerto untuk bergerak ke Magelang, menyelamatkan pasukan Gurkha dari kepungan pejuang Indonesia. Mayor Kido juga memerintahkan Yagi Butai mengumpulkan makanan bagi kamp-kamp di Magelang. Yagi Butai juga menyelamatkan Kapten Wishart (Inggris) dan perwira Belanda yang diganggu pejuang Indonesia.
Tidak ada laporan rinci tentang Pertempuran Semarang Kedua. Yang pasti, pertempuran ini relatif sangat mengganggu pasokan militer untuk Brigade 49 yang betempur di Surabaya. Gangguan pasokan itu membuat pasukan Brigade 49 nyaris kalah akibat kelaparan dan kekurangan amunisi.
Maret 1946, Belanda mengambil alih Semarang dari Inggris. Kolonel Van Langen bertanggung jawab atas keamanan Semarang. Ia melakukannya dengan baik. Namun, pejuang Indonesia menguasai kawasan pinggir kota, yang membuat situasi Semarang tetap mencekam.
Agustus 1946, Pertempuran Semarang Ketiga meletus. Kali ini pejuang Indonesia berhadapan dengan Tentara Belanda yang dikirim dari Eropa dan KNIL yang dibebaskan dari kamp interniran.
Tidak ada lagi Mayor Kido, tapi sang komandan Jepang itu tetap menjadi legenda di kalangan prajurit Inggris, mantan penghuni kamp interniran, dan pejuang Indonesia.