Crispy

Membaca Diri Melalui Tulisan Riri Satria

oleh Emi Suy

Membaca tulisan Riri Satria tentang saya—Kisah Sepuluh Buku Emi Suy—seperti menyusuri arsip yang tidak saya tulis dengan tangan sendiri, tetapi dituliskan oleh mata seorang sahabat. Ada semacam jarak sekaligus kedekatan di sana: jarak yang lahir dari sudut pandang orang lain, dan kedekatan karena jejak hidup saya ditangkap dalam kalimat-kalimatnya.

Sepuluh buku, katanya. Saya sendiri kadang terkejut ketika menengok ke belakang. Bagi saya, setiap buku bukan sekadar “karya” atau “produk”, tetapi tubuh-tubuh lain yang pernah saya lahirkan. Mereka berdiri di luar diri saya, tapi masih menyimpan denyut yang tak lepas dari asalnya: luka, diam, doa, kehilangan, kerinduan, sekaligus harapan.

Riri menulis dengan detail peristiwa—tentang kopi sore di Central Park, senja di Ancol, percakapan di Ubud, buku yang gagal, buku yang menang penghargaan, sampai buku yang masih dalam proses lahir. Tetapi ketika saya membaca, saya menangkap sesuatu yang lebih dalam dari sekadar catatan biografis. Saya menangkap sebuah kesaksian bahwa perjalanan saya tidak pernah sendirian. Selalu ada mata yang menyaksikan, ada telinga yang mendengar, ada tangan yang mencatat.

Saya pernah berusaha menghapus jejak buku pertama saya. Riri menolak. Katanya: jangan hapus sejarah. Pada titik itu saya sadar, bahkan kegagalan pun adalah guru. Justru dengan kegagalan, saya bisa sampai pada buku-buku berikutnya. Sunyi yang saya tulis hari ini tak mungkin ada tanpa riuh yang dulu pernah saya hindari.

Tentang sunyi, Riri membacanya dengan caranya sendiri. Ia menyandingkan saya dengan Emily Dickinson, Helena Blavatsky, hingga Justin Zorn. Saya tersenyum ketika membacanya. Saya tidak pernah berpikir sejauh itu. Saya hanya tahu, sunyi bagi saya adalah ruang yang menyembuhkan sekaligus menegangkan. Sunyi bukanlah kesepian, melainkan pintu menuju keheningan yang membuat saya mampu mendengar sesuatu yang tak diucapkan siapa pun. Sunyi itulah yang kemudian menuntun saya menjahit luka, menanak usia, dan menuliskan apa yang sulit diucapkan.

Tulisan Riri ini membuat saya seperti bercermin pada cermin yang lain. Saya melihat diri saya, tetapi melalui cahaya orang lain. Kadang terasa lebih terang, kadang terasa menyilaukan, kadang justru menyingkap bagian-bagian yang selama ini saya sembunyikan.

Saya bersyukur, perjalanan saya tidak hanya diingat oleh diri saya sendiri, tapi juga oleh seorang sahabat yang telaten mencatat. Buku-buku saya boleh jadi akan dilupakan, tetapi jejak yang dituliskan orang lain seringkali justru menjadi penopang agar kisah itu tetap bertahan.

Menutup esai ini, saya ingin mengatakan: setiap orang membutuhkan penulis lain untuk menuliskan dirinya. Saya beruntung, salah satunya bernama Riri Satria.


Menjahit Luka dalam Puisi Bersama

KONTEMPLASI

biarkan dia meninggalkan jejak puisi
sebelum dihabisi
biarkan dia menciptakan telaga
menampung anak-anak hujan
merayakan kesepian
di depan cermin
ditemani angin dingin
sepi itu terdiri-aku-kau saat sendiri
mendengar desah nafas dan degup jantung ini
memeluk sunyi
di tengah malam
berteman nyanyian alam
melihat bayangan berbicara
melintas masa lalu
juga masa depan
bisikan lirih derap langkah-mengais jaman
wacana kehidupan
suara sepanjang jalan
suara itu akan menuntun langkah di jalan setapak
bernama kehidupan
kehidupan
menghidupkan
menghidupi
hidup adalah perjalanan sementara
menuju kehidupan kekal
biar saja doa-doa yang mendekap

di awal dan penghujung perjalanan
merenung
kontemplasi
tentang sunyi
hakikat diri dengan segala ingatan dan rancangan
ketika waktu tak pernah kembali
kita ada di pusaran narasi besar kehidupan

(Emi Suy dan Riri Satria, 2015)

Persahabatan kami tidak hanya hadir dalam bentuk catatan dan esai. Ada saat-saat di mana kata-kata kami berjumpa, berjalin di halaman yang sama, dan menjelma puisi bersama. Puisi itu lahir tanpa rencana besar, hanya dari percakapan sederhana yang akhirnya menemukan jalannya sendiri.

Menulis puisi bersama Riri seperti duduk di meja yang sama, menenun dua benang dari gulungan yang berbeda. Ada suaranya, ada suara saya, lalu keduanya bersilangan, bertukar, dan saling melengkapi. Saya menemukan bagian dari diri saya yang belum pernah saya ucapkan, tetapi justru keluar melalui kalimat yang ia tuliskan. Demikian juga sebaliknya: barangkali ia menemukan cermin dirinya di kata-kata yang saya sisipkan.

Puisi bersama itu bagi saya bukan sekadar teks. Ia adalah jejak kepercayaan. Saya percaya membiarkan kata-kata saya disentuh dan disambung oleh orang lain, dan saya pun mempercayai kata-katanya untuk saya teruskan. Dalam puisi bersama, ego penyair diuji: kita belajar meredam keakuan agar suara bisa menyatu.

Saya teringat satu larik yang kami tulis berdua: “Di antara luka dan doa, kita hanya menitipkan kata.” Kalimat itu sederhana, tetapi bagi saya menyimpan inti dari kolaborasi kami. Luka dan doa—dua hal yang sering menjadi benang utama dalam puisi saya—menemukan tempatnya dalam kebersamaan. Kata menjadi jembatan, bukan milik satu orang, melainkan milik dua hati yang saling berhadapan.

Puisi bersama ini mungkin tidak sebanyak buku-buku saya atau esai-esai Riri, tetapi ia menempati ruang khusus. Ia adalah tanda bahwa persahabatan bisa menemukan bentuk lain, lebih intim, lebih cair, dan lebih sunyi. Sunyi, sebab ketika kami menulisnya, yang terdengar hanya ketikan di papan tombol, seolah dua jari dari dua dunia sedang mengetuk pintu yang sama.


Epilog

Sunyi, bagi saya, bukan sekadar ruang hampa. Ia adalah halaman kosong yang selalu menunggu ditulisi, sebuah tanah lapang tempat saya bisa meletakkan beban dan menanam benih kata. Di dalam sunyi, suara-suara kecil yang sering diabaikan justru terdengar lebih jelas: derit pintu, desah angin, bahkan detak jantung sendiri. Sunyi mengajarkan saya bahwa tidak semua hal butuh keramaian untuk bermakna. Kadang yang paling jujur justru lahir dari keheningan yang panjang.

Tulisan Riri Satria membuat saya kembali menyusuri jalan sunyi itu, tetapi kali ini bukan dengan mata saya sendiri. Ia mengajak saya menengok ke belakang, ke tahun-tahun yang sering saya biarkan mengendap. Dari buku pertama yang ingin saya hapus, hingga buku-buku berikutnya yang menjadi tonggak perjalanan, semuanya hadir kembali—bukan sekadar data atau peristiwa, melainkan semacam kesaksian bahwa kata-kata yang sudah dituliskan tidak akan pernah benar-benar hilang.

Saya teringat, betapa banyak malam yang saya lalui hanya dengan ditemani lampu redup dan secangkir teh yang dingin. Betapa banyak doa yang saya bisikkan pada halaman kosong sebelum akhirnya berubah menjadi puisi. Betapa sering saya ragu, apakah kata-kata ini pantas disebut puisi, atau sekadar catatan hati yang terlalu remeh. Tetapi ketika Riri mencatat perjalanan itu, saya melihat sesuatu yang berbeda: ternyata setiap keraguan pun punya tempat dalam sejarah kepenyairan saya.

Sunyi yang saya pilih bukanlah pelarian, melainkan pilihan untuk tetap waras. Dalam riuh dunia yang semakin bising, saya belajar diam agar bisa mendengar. Saya menulis bukan untuk menjadi lantang, tetapi untuk menemukan irama paling lirih yang bisa menenangkan jiwa saya sendiri. Dan kini, melalui tulisan Riri, saya sadar bahwa diam pun bisa dibaca, bahwa sunyi pun bisa bersuara, sepanjang ada orang yang bersedia mendengarnya.

Ada rasa haru sekaligus gentar ketika menyadari bahwa karya saya dibaca dengan begitu serius. Sebab setiap buku, bagi saya, lahir dari luka yang tidak selalu ingin saya buka kembali. Tetapi Riri justru berani menyentuh luka itu, membicarakannya, bahkan menautkannya dengan tokoh-tokoh besar. Saya yang hanya ingin menyulam kata demi bertahan hidup, tiba-tiba menemukan diri saya berdiri dalam percakapan yang lebih luas. Rasanya seperti bercermin pada cermin yang diperbesar: saya melihat diri saya, tapi juga melihat dunia yang memantul di belakang saya.

Mungkin inilah arti dari sebuah persahabatan intelektual dan emosional: ada orang yang menjaga kisah kita, bahkan ketika kita sendiri ingin melupakannya. Ada orang yang menolak ketika kita hendak membuang sebagian sejarah, karena ia percaya bahwa sejarah itu yang justru membentuk kita. Dalam hal ini, saya berutang pada Riri Satria. Ia tidak hanya membaca buku saya, tetapi juga menuliskan ulang perjalanan saya dengan ketekunan seorang pengarsip sekaligus dengan kelembutan seorang sahabat.

Akhirnya, saya kembali pada sunyi. Sunyi yang dulu menakutkan, kini menjadi ruang yang bisa saya syukuri. Di sana saya bisa bertemu kembali dengan kata-kata, dengan luka yang tidak lagi menakutkan, dan dengan diri saya sendiri yang terus tumbuh. Setiap buku adalah jejak kaki di jalan sunyi itu. Dan tulisan Riri membuat saya sadar, jejak itu ternyata tidak berjalan sendirian—ada orang lain yang mengikuti, menandai, bahkan memberi cahaya pada jalan yang kadang terasa terlalu gelap.

Maka biarlah saya terus berjalan di jalan sunyi ini. Biarlah saya tetap menulis dengan ritme saya sendiri, dengan cara saya sendiri. Sebab saya tahu, selama masih ada mata yang membaca dan hati yang mendengar, sunyi ini tidak akan pernah sia-sia.

Biodata

Emi Suy adalah nama pena dari Emi Suyanti, lahir di Magetan, Jawa Timur, 2 Februari 1979. Dia adalah perempuan penyair di Indonesia yang namanya terdapat dalam buku Apa dan Siapa Penyair Indonesia yang diterbitkan oleh Yayasan Hari Puisi Indonesia pada tahun 2018, serta Apa Siapa Perempuan Pengarang Penulis Indonesia yang diterbitkan oleh Kosa Kata Kita atau KKK pada tahun 2024.

Emi telah menerbitkan sejumlah buku, yaitu Tirakat Padam Api (kumpulan puisi, 2011), Alarm Sunyi (kumpulan puisi, 2017), Ayat Sunyi (kumpulan puisi, 2018), Api Sunyi (kumpulan puisi, 2020), Ibu Menanak Nasi Hingga Matang Usia Kami (kumpulan puisi, 2022), Interval (kumpulan esai, 2023), serta Algoritma Kesunyian (kumpulan puisi bersama Riri Satria, 2023). Selain itu, puisinya juga telah tersebar di sejumlah media massa, antara lain Kompas, Media Indonesia, Banjarmasin Post, Suara Merdeka, serta Pikiran Rakyat. Puisi karya Emi Suy juga diterbitkan di lebih dari 200 buku antologi bersama para penyait lainnya.

Selain menulis puisi, Emi juga menekuni fotografi dan melukis. Karya fotografinya terpilih untuk ikut pameran Fotografi Nasional bertajuk The Power of Woman yang digelar di Bandung tahun 2016. Sementara itu lukisannya terpilih untuk ikut pameran lukisan Kecil itu Keren (KIK) 2025 yang diikuti 500 perupa dari 13 negara, yang diselenggarakan oleh Dinas Kebudayaan Provinsi DKI Jakarta, bersama Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) serta Indonesian Visual Artists Community (IVA).

Emi Suy juga menerima sejumlah penghargaan, yaitu 6 Besar Buku Terbaik Perpustakaan Nasional RI Kategori Buku Puisi tahun 2019 melalui Buku Ayat Sunyi, Basa-Basi Award 2019 melalui buku Ayat Sunyi, serta 25 Nominasi Sayembara Buku Puisi Yayasan Hari Puisi Indonesia 2020 melalui buku Api Sunyi.

Emi tampil baca puisi pada beberapa festival sastra antara lain Pertemuan Penyair Nusantara XII di Kudus, Jawa Tengah, Festival Sastra Internasional Gunung Bintan di Tanjung Pinang, Kepulauan Riau, serta Temu Penyair Asia Tenggara II di Padangpanjang, Sumatera Barat.

Emi Suy adalah salah seorang pendiri dan aktivis sosial kemanusiaan di Komunitas Jejak Langkah, serta salah seorang pendiri Jagat Sastra Milenia (JSM). Sekarang bergiat di Komunitas Kosakata Jakarta Barat.

Back to top button