Mengapa Pengunjuk Rasa Indonesia Mengagumi Para Demonstran Thailand? Ini Cerita Tentang Konsistensi dan Ketekunan
Mereka kebanyakan duduk-duduk di jalan, iseng mendengarkan pidato dan mengobrol dengan rekan-rekan mereka atau makan makanan yang dijual oleh pedagang kaki lima. Sampai telinga mereka tercengang ketika seorang pembicara dari kelompok buruh, di panggung darurat di atas truk pickup, berseru: “Para pengunjuk rasa di Thailand masih terus bertahan di jalanan, menuntut perubahan!”
JERNIH– Ketika aksi massa menentang RUU Cipta Kerja yang kontroversial semakin menipis dan berkurang, orang-orang Indonesia segera mengerti dan merasa hormat atas kegigihan rekan-rekan mereka yang menyerukan tuntutan reformasi di Thailand.
Para pengamat mengatakan, ada kesamaan antara gerakan protes kedua negara, dan peluang bagi mereka untuk belajar dari satu sama lain.
Pada 20 Oktober, setahun setelah Presiden Joko Widodo dilantik untuk masa jabatan keduanya, ratusan pengunjuk rasa berkumpul di jalan-jalan protokol Jakarta. Mereka adalah mahasiswa, aktivis sipil, dan anggota organisasi buruh, mengenakan jaket dan kaos warna-warni yang mewakili berbagai kelompok. Mereka kebanyakan duduk-duduk di jalan, iseng mendengarkan pidato dan mengobrol dengan rekan-rekan mereka atau makan makanan yang dijual oleh pedagang kaki lima. Sampai telinga mereka tercengang ketika seorang pembicara dari kelompok buruh, di panggung darurat di atas truk pickup, berseru: “Para pengunjuk rasa di Thailand masih terus bertahan di jalanan, menuntut perubahan!”
Di antara mereka yang berbagi kekaguman dan rasa hormat atas ketekunan pengunjuk rasa Thailand itu ada seorang pemuda Yazid Zinaidin Saputra, seorang mahasiswa arsitektur dari sebuah universitas di Jakarta.
“Saya sangat menghormati mahasiswa Thailand karena perjuangan mereka lebih keras daripada perjuangan yang dihadapi mahasiswa Indonesia,” kata pria berusia 21 tahun itu, merujuk pada pandangan bahwa demonstrasi di Thailand terus berlanjut bahkan setelah penggunaan pencegah seperti meriam air, sementara di Indonesia bisa dipastikan para pengunjuk rasa akan bubar. “Sungguh menginspirasi untuk dilihat, tetapi situasi kami di sini berbeda. Jika kami akan menggunakan strategi mereka, kami perlu melakukan penyesuaian dan meningkatkannya sehingga kami dapat lebih terorganisasi.”
Gerakan protes Indonesia memiliki satu tujuan: mendorong Jokowi untuk mencabut Omnibus Law, yang juga dikenal sebagai RUU Cipta Kerja, yang disahkan pada 5 Oktober dalam upaya untuk meningkatkan lapangan kerja dengan memotong birokrasi yang telah lama menghalangi investor asing.
Para kritikus mengatakan RUU itu, yang mengubah lebih dari 70 undang-undang yang ada, akan mengikis hak-hak pekerja dan masyarakat adat, mengurangi pendapatan mereka dan melemahkan perlindungan lingkungan. Datangnya RUU itu disambut dengan protes besar di seluruh negara kepulauan, didorong para mahasiswa, serikat buruh dan berbagai kelompok sipil.
Pada 8 Oktober, polisi bentrok dengan pengunjuk rasa di Jakarta setelah beberapa orang melemparkan batu ke pihak berwenang. Selain itu sejumlah fasilitas umum, termasuk halte bus dan pos polisi, dibakar. Polisi menggunakan peluru karet, gas air mata, dan meriam air untuk membubarkan massa, sementara berbagai rekaman tentang pihak berwenang yang memukuli para pengunjuk rasa dan jurnalis bermunculan.
Demonstrasi masih terus berlangsung di Indonesia, meski jumlah pesertanya menyusut dalam beberapa hari terakhir. Di Thailand, bagaimanapun, gerakan protes yang menyerukan penggulingan pemerintahan Perdana Menteri Prayuth Chan-ocha dan reformasi monarki terus meningkat. Semua itu sangat bertentangan dengan larangan pertemuan yang diumumkan pemerintah, serta tabu lama untuk secara terbuka mengkritik keluarga kerajaan dan keluarga kerajaan. Ada penangkapan lebih dari 70 orang, termasuk para pemimpin terkemuka dari protes tersebut.
Bagi Edward Aspinall, pengamat lama Asia Tenggara dan profesor politik di Coral Bell School of Asia Pacific Affairs Universitas Nasional Australia, kegigihan para pengunjuk rasa Thailand adalah tanda umur panjang gerakan itu.
“Itu adalah saat-saat ketika mobilisasi mahasiswa benar-benar dapat menopang diri mereka sendiri, sedangkan pola khas dalam protes berbasis isu di negara demokratis adalah Anda akan melihat protes menjadi lebih episodik,” katanya. “Ini seperti naik turun dan selaras dengan masalah tertentu. Dan ketika sebuah masalah muncul, dalam hal ini undang-undang penciptaan lapangan kerja [Indonesia], Anda sering melihat lonjakan protes yang cepat, tetapi itu mungkin sulit untuk dipertahankan jika tidak seburuk masalah fundamental desain rezim.”
Aspinall menunjuk pada apa yang disebut publik sebagai “Reformasi Dikorupsi”–atau “Reformasi yang Terkorupsi”– protes pada September tahun lalu terhadap undang-undang yang mengurangi kemandirian Komisi Pemberantasan Korupsi Indonesia, yang secara konsisten terpilih sebagai lembaga paling tepercaya di negara itu. Ribuan orang turun ke jalan dalam beberapa hari pertama, tetapi aksi unjuk rasa mereda segera setelah itu.
“Protes Reformasi Dikorupsi baru tahun lalu. Tampaknya aktivisme mahasiswa bisa memasuki babak baru di Indonesia dan bisa memunculkan jalan mobilisasi lebih jauh, tapi saya tidak heran jika sekarang [protes terhadap Omnibus Law] mulai mati, ”kata Aspinall.
Protes paralel
Namun, para analis mengatakan ada kesamaan dan kesempatan untuk belajar bersama antara gerakan protes di Thailand dan Indonesia, terutama penggulingan rezim Suharto yang berkuasa selama tiga dekade yang dipimpin oleh mahasiswa pada tahun 1998.
“Pelajar Indonesia memiliki lebih banyak waktu terbang dalam hal protes, mereka mengalami [protes besar pada] 1998 [yang menyebabkan pelajar terbunuh oleh tentara dalam kerusuhan Semanggi dan Trisakti,” kata Awani Irewati, peneliti pembangunan politik internasional di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. “Apa yang dituntut [para pengunjuk rasa Thailand] saat ini adalah paralel dengan tuntutan mahasiswa Indonesia pada tahun 1998, ketika mereka juga menolak elit politik yang sudah terlalu lama berkuasa.”
Aspinall dari Australian National University mengatakan, pergerakan mahasiswa di berbagai negara Asia telah belajar dari satu sama lain sejak awal 1970-an. “Saya pikir ada efek tidak langsung, di mana siswa saling menarik inspirasi satu sama lain, dan secara historis itulah yang selalu terjadi,” katanya. “Bahkan di akhir tahun 1990-an ketika terjadi protes mahasiswa besar di Indonesia, ada juga gerakan mahasiswa di Korea Selatan, dan bahkan di awal tahun 1970-an, ada koneksi antara pengunjuk rasa mahasiswa Thailand dan Indonesia, sehingga sejarah hubungan dan inspirasi ada di sana, tetapi tidak pernah menjadi pendorong utama protes. “
Ketenangan relatif dari protes di Thailand juga menarik kekaguman, dengan tweet seorang aktivis Indonesia menjadi viral setelah mereka menunjukkan bahwa protes baru-baru ini di Bangkok yang berlangsung hingga malam tanpa menggunakan gas air mata adalah “mimpi”.
“Kenapa tidak ada yang membakar, melempar batu, menembakkan gas air mata, juga yang dipukuli? Ini adalah impian saya untuk melakukan protes yang rapi dan nyaman ini, ”tulis pengguna Twitter lain sebagai tanggapan.
Yazid, mahasiswa pengunjuk rasa di Jakarta, mengaku mengapresiasi semangat dan tekad mahasiswa Thailand untuk menjadi agent of change di negaranya. “Mungkin yang bisa saya pelajari dari protes Thailand adalah perjuangan mereka untuk mewakili suara rakyat, perjuangan mereka untuk menyampaikan keprihatinan publik kepada pemerintah atau raja mereka, dan bahwa mereka tidak melakukan ini untuk keuntungan pribadi,” katanya.
Pembangkangan sipil
Sebagai pengganti protes jalanan besar-besaran di Indonesia, majalah investigasi TEMPO pada 17 Oktober menerbitkan editorial yang menyerukan bentuk-bentuk pembangkangan sipil lainnya sebagai keberatan terhadap Omnibus Law yang “buntu, tanpa harapan”– sebuah langkah langka untuk penerbitan, yang dua kali ditutup selama rezim Suharto karena sikapnya yang dianggap anti-pemerintah dalam penutupan yang menggembleng pengunjuk rasa dan membuka jalan bagi jatuhnya Orde Baru.
“Situasi menjadi semakin kacau setelah kelompok-kelompok tidak liberal seperti Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia dan gerakan 212 mendukung protes terhadap undang-undang penciptaan lapangan kerja untuk mencapai keuntungan politik jangka pendek,” tulis TEMPO. “Buruh, mahasiswa, aktivis masyarakat sipil, dan mereka yang prihatin dengan penurunan kualitas undang-undang di balik disahkannya undang-undang itu dipaksa untuk memilih di antara dua dikotomi, sisa Pemilu 2019: mendukung atau menentang kepemimpinan [Widodo],” tulisnya lebih lanjut.
“Terpojok di ujung jalan, masyarakat jangan hanya berdiam diri saja. Pembangkangan sipil harus dilakukan dengan sehormat mungkin. Ini bukanlah langkah yang sempurna, tetapi orang bijak pernah berkata: “Jika orang jahat menciptakan hukum yang buruk, adalah tugas orang baik untuk mengabaikannya,”” tulis media tersebut.
Namun, para analis mengatakan seruan TEMPO tidak mungkin membuahkan hasil, meskipun majalah itu penting dalam lanskap media Indonesia. “Saya ragu TEMPO memiliki pengaruh semacam itu pada individu, ini lebih merupakan tanda berbahaya dari keterasingan kelas menengah di dalam dan dari dirinya sendiri, daripada sebuah ajakan bertindak yang signifikan, tidak ada yang akan turun ke jalan sambil melambaikan salinan TEMPO atau apa pun,”kata Aspinall dari Australian National University.
“Makna pentingnya adalah urgensi yang dilihat oleh banyak demokrat kelas menengah tentang kemerosotan demokrasi Indonesia. [Ada] kekuatan yang secara historis cukup moderat secara politik, [menyuarakan] keprihatinan mereka, bahkan sampai menyerukan pembangkangan sipil terhadap apa yang mereka lihat sebagai penurunan serius dalam kualitas demokrasi Indonesia.” [Resty Woro Yuniar/South China Morning Post]
Resty Woro Yuniar adalah reporter SCMP yang berbasis di Jakarta. Sebelumnya adalah koresponden Indonesia di BBC dan reporter teknologi di The Wall Street Journal.