Mengenang Rick Davies dan Warisan Supertramp bagi Generasi Indie

JERNIH – Komplikasi penyakit multiple myeloma, jenis kanker darah yang telah didiagnosis lebih dari satu dekade lalu itu tak kuasa ia lawan. Rick Davies yang tahun ini berusia 81 tahun meninggal dan meninggalkan banyak kenangan tentang Supertramp.
Davies, yang dikenal dengan suara bariton soulful-nya dan permainan keyboard bergaya jazz, meninggalkan warisan musik yang mendalam, memengaruhi jutaan penggemar di seluruh dunia. Melalui Supertramp, ia tidak hanya menciptakan hits abadi, tetapi juga menyampaikan pesan-pesan reflektif tentang kehidupan, masyarakat, dan perjuangan manusia.

Rick Davies lahir pada 21 Mei 1944 di Swindon, Inggris. Sejak muda, ia tertarik pada musik, terutama piano dan keyboard. Pada akhir 1960-an, Davies bertemu dengan pengusaha Stanley August Miesegaes, yang mendanai pembentukan bandnya.
Pada 1969, Supertramp resmi dibentuk, terinspirasi dari buku The Autobiography of a Super-Tramp karya William Henry Davies. Awalnya, band ini mengalami kesulitan, dengan album debut Supertramp (1970) yang gagal secara komersial. Namun, kedatangan Roger Hodgson sebagai gitaris dan vokalis kedua pada 1971 mengubah segalanya.
Era keemasan Supertramp dimulai dengan album Crime of the Century (1974), yang menandai pergeseran ke suara progresif rock dengan elemen pop yang cerdas. Davies, sebagai songwriter utama bersama Hodgson, berkontribusi pada lirik-lirik penuh makna. Album-album selanjutnya seperti Crisis? What Crisis? (1975), Even in the Quietest Moments (1977), dan puncaknya Breakfast in America (1979) membawa band ke puncak popularitas global.

Setelah Hodgson meninggalkan band pada 1983 karena perbedaan visi kreatif, Davies melanjutkan Supertramp dengan formasi baru, merilis album seperti Brother Where You Bound (1985) dan Free as a Bird (1987). Ia sempat hiatus panjang pada 1980-an karena masalah pribadi, termasuk kecanduan alkohol, tetapi kembali dengan tur pada 2010. Pada 2015, rencana tur dibatalkan karena kesehatannya yang memburuk akibat kanker.
Sepanjang karirnya, Davies dikenal sebagai tulang punggung Supertramp, menjaga esensi band meski melalui perubahan personel. Ia pensiun dari panggung pada 2010-an, fokus pada perawatan kesehatan, tetapi musiknya tetap hidup melalui rilis ulang dan pengaruhnya pada generasi baru.
Melalui musik Supertramp, Rick Davies melakukan banyak hal baik yang melampaui hiburan semata. Lirik-liriknya sering kali reflektif dan kritis terhadap masyarakat, mendorong pendengar untuk merenungkan identitas diri, tekanan sosial, dan pencarian makna hidup. Misalnya, lagu-lagu seperti “Give a Little Bit” mempromosikan kebaikan dan empati, menginspirasi filantropi di kalangan penggemar. Davies juga menggunakan platformnya untuk menyuarakan isu-isu seperti alienasi modern dan kehilangan kepolosan, yang resonan dengan generasi muda yang bergulat dengan perubahan sosial.
Secara pribadi, Davies mendonasikan royalti untuk amal, termasuk inisiatif kesehatan mental, terinspirasi dari perjuangannya sendiri. Musiknya telah menjadi soundtrack bagi jutaan orang dalam menghadapi tantangan hidup, memberikan harapan dan perspektif baru. Bahkan setelah pensiun, ia tetap menjadi inspirasi bagi musisi indie yang mengadopsi gaya progresifnya, membuktikan bahwa musik Davies adalah alat untuk kebaikan emosional dan sosial.

Supertramp yang menjelma menjadi superband progresif melahirkan banyak prestasi. Album Breakfast in America (1979) mencapai posisi nomor satu di Billboard 200 dan terjual lebih dari 20 juta kopi secara global, menjadi salah satu album terlaris sepanjang masa. Hits seperti “The Logical Song”, “Goodbye Stranger”, “Take the Long Way Home”, dan “Bloody Well Right” (yang dinyanyikan Davies) mendominasi chart, dengan “The Logical Song” mencapai top 10 di AS dan Inggris. Supertramp memenangkan beberapa penghargaan, termasuk nominasi Grammy, dan diakui sebagai pionir dalam menggabungkan prog rock dengan pop yang mudah diakses.
Davies sendiri dihargai atas kontribusinya sebagai musisi serba bisa: keyboardis berpengaruh dengan sentuhan jazz, vokalis karismatik, dan produser. Bandnya tur dunia berkali-kali, mengisi stadion-stadion besar pada 1970-an dan 1980-an. Pada 2025, sebelum kematiannya, warisannya dirayakan melalui dokumenter dan tribute, menegaskan peranannya dalam membentuk landscape rock Inggris. Supertramp terjual lebih dari 60 juta album, dan Davies sering disebut sebagai “otak” di balik sukses komersial band.
Perseteruan dengan Hodgson memang berlangsung lama. Perpecahan dengan Roger Hodgson pada 1983, yang disebabkan oleh perbedaan visi: Hodgson ingin eksplorasi spiritual, sementara Davies lebih condong ke rock konvensional. Hodgson menuduh Davies “mengendalikan” band, dan hubungan mereka renggang hingga kematian Davies.
Pada 2015, saat Davies merencanakan tur Supertramp, Hodgson menolak bergabung dan mengkritik Davies karena menambahkan lagu-lagunya ke setlist tanpa izin penuh, menyebabkan perseteruan publik di media. Selain itu, masa awal karir Davies sempat diwarnai rumor kecanduan, yang ia akui memengaruhi produktivitas band pada 1980-an. Namun, kontroversi ini justru menambah kedalaman narasi Supertramp sebagai band yang autentik dan manusiawi.

Kendati Davies dan Hodgson kerap bersilang pendapat, namun ada satu tembang yang pernah mereka berdua ciptakan. Adalah tembang Fool’s Overture dari album Even in the Quietest Moments (1977). Lagu epik ini, yang ditulis oleh Davies dan Hodgson, mengandung elemen refleksi mendalam tentang kematian, warisan, dan penebusan.
Dimulai dengan pidato Winston Churchill tentang perjuangan, kemudian beralih ke tema bagaimana seseorang yang diremehkan (“called the man a fool”) baru dihargai setelah kematiannya. Ini mencerminkan perjalanan Davies sendiri, dari band yang awalnya gagal hingga ikon yang dirayakan setelah pensiun panjang dan kini, setelah kematiannya.
Berikut satu bait potongan liriknya;
“Menyebut orang itu bodoh, melucuti harga dirinya
Oh, semua orang tertawa hingga hari kematiannya
Oh, meskipun lukanya begitu dalam
Dia tetap memanggil kita dari tidur kita
Sahabatku, kita tidak sendirian
Dia menunggu dalam diam untuk menuntun kita semua pulang.”(*)
BACA JUGA: Film Perang Gaza ‘The Voice of Hind Rajab’ Raih Silver Lion di Festival Film Venesia