Mengharap Anak Sehat, Mendamba Internet Cepat
WWW.JERNIH.CO – Apa yang paling didambakan tenaga kesehatan di daerah, di kawasan terdepan, terpencil, terluar? Turunnya risiko penyakit, meningkatnya angka kesembuhan masyarakat. Ah, ini sudah pasti.
Tetapi coba dengar ungkapan dr. Sri Riyanti Wadesi, SpA, dokter yang bekerja di RSUD Sorong Papua Barat. “Hal yang paling membahagiakan bekerja di daerah terpencil adalah ketersediaan telekomunikasi. Karena kita bisa melakukan apa saja,” ujarnya.
Telkomunikasi tidak hanya dibutuhkan untuk keperluan mendukung pekerjaan sebagai tenaga medis di fasilitas layanan kesehatan macam rumah sakit dan puskesmas, Sebagai seorang dokter yang masih cukup muda, ia perlu mendapatkan akses informasi sebanyak-banyaknya dari dunia maya. Di sisi lain, sisi pribadinya memerlukan kontak dengan keluarga maupun mendukung hobinya fotografi.
Sebagai dokter anak, ia sangat peduli dengan misi pemerintah menurunkan angka stunting. Menurut dr. Riyanti, stunting didefinisikan sebagai perawakan pendek yang disebabkan oleh kekurangan gizi jangka panjang atau malnutrisi kronis. Dokter lulusan Universitas Airlangga yang kini bekerja di RSUD Sele Be Solu Sorong Papua Barat ini menemui banyak kasus gangguan tumbuh kembang anak.
Stunting terjadi pada anak-anak pada usia 0-2 tahun. Ini adalah periode emas anak karena pada saat anak mengalami pertumbuhan pada organ tubuh dan perkembangan susunan saraf pusat dengan organ tubuh yang dipengaruhinya. Kesalahan menjaga anak bisa berakibat terjadinya stunting.
Kisah serupa muncul pula di Kalimantan Utara. Kali ini dialami oleh dr. Sutrisno Tambunan. Dokter yang ditempatkan di desa Semunad, Nunukan, Kalimantan Utara ini menemukan pula kasus stunting. “Padahal ibunya gemuk,” ujar alumni FK Universitas Riau ini.
STUNTING
Stunting tidak hanya akan menyebabkan gangguan pada otak anak. Kata dr. Tjandraningrum, M. Gizi, SpGk lebih jauh lagi, stunting juga berakibat menurunnya daya pikir, menurunnya produktivitas dan kreativitas anak di saat usia produktif kelak, hingga munculnya berbagai penyakit metabolik lainnya.
Dokter yang juga dosen luar biasa di FK Universitas Indonesia ini bahkan menemukan sejumlah kasus di kota besar. Meskipun jumlahnya tidak sebanyak di daerah, namun hal ini menunjukkan bahwa pola asuh orang tua khususnya dalam memberikan asupan makanan sangat buruk.
Ia mengatakan, faktor nutrisi sangat penting untuk menghindarkan anak dari stunting. “Nutrisi itu memiliki empat manfaat bagi anak,” ujarnya. Di antaranya memberikan energi yang cukup, memelihara fungsi tubuh, juga sangat berperan dalam tumbuh kembang anak-anak. Bahkan nutrisi memiliki peran memelihara daya tahan tubuh.
Sebaran kasus stunting di Indonesia yang ditunjukkan oleh dr. Riyanti tampak bahwa masih ada beberapa provinsi yang persentase balita pendek di atas 40 persen. Sebut saja di antaranya di Aceh, Sumatera Utara, Sulawesi Tenggara, Lampung, Kalimantan Selatan, Papua Barat, NTB, Sulawesi Barat dan NTT adalah daftar provinsi yang hingga tahun 2013 masih di atas 40 persen.
Tahun 2020, menurut dr. Tjandraningrum, angka persentase stunting di Indonesia rata-rata masih berada di angka 24,1 persen. Angka ini akan terus ditekan, hingga pada 2024 tinggal 14 persen.
Untuk mengetahui anak-anak agar tidak mengalami stunting diperlukan pendeteksian sejak dini. “Harus ada deteksi dini terhadap anak-anak umur 0-2 tahun. Kemudian dilakukan pemenuhan gizi hingga sesuai dengan kebutuhan dengan umurnya,” kata dr. Tjandraningrum.
Mengukur panjang atau tinggi badan anak harus rutin dilakukan, menurut dr. Riyanti. Laju pertumbuhan merupakan parameter penting diagnosis perawakan pendek.
AKSES TELEKOMUNIKASI
Di sisi lain kebutuhan akan akses telekomunikasi sangat diharapkan oleh para tenaga kesehatan khususnya di daerah pinggir. Peran telekomunikasi tidak hanya sebagai akses untuk menjalankan komunikasi antara petugas pelayan kesehatan dan masyarakat. Namun juga berfungsi sebagai pintu akses untuk mendapatkan informasi.
“Pemahaman warga sangat kurang. Apa yang disampaikan tidak bisa sampai ke masyarakat,” cerita dr. Sutrisno. Padahal tidak setiap hari pula seorang dokter bisa bertemu dengan masyarakat. Terlebih di kala pandemi. Meskipun dr. Sutrisno melakukan upaya pendeteksian dini dari pintu ke pintu, namun jika fasilitas telekomunikasi tersedia boleh jadi akan lebih efektif.
Pengalaman dr. Riyanti di pedalaman Papua menyuguhkan fakta bahwa masih ada masyarakat yang harus melakukan perjalanan selama 2-3 jam untuk memperoleh fasilitas layanan kesehatan.
Pemerintah dalam hal ini melalui BAKTI Kominfo telah menggelar berbagai akses telekomunikasi dan internet khususnya di daerah terdepan, tertinggal dan terluar. Menurut Dr. Fadhilah Mathar, Direktur SDA BAKTI Kominfo, pemerintah berkomitmen menyediakan akses internet. Terlebih dalam menghadapi pandemi Covid-19 saat ini.
“Saat ini di Indonesia terdapat 13.000 fasilitas layanan kesehatan. Sementara yang belum mendapat jaringan infrastruktur internet sebanyak 2.941 fasyankes,” ujarnya. Hingga akhir 2020 diharapkan seluruh target terpenuhi.
Dengan dipenuhinya akses internet tentu memberi harapan segar bagi tenaga kesehatan di daerah untuk mengoptimalkan tugasnya.
Seperti yang diimpikan dr. Riyanti, “Jika sudah ada akses internet kita tidak perlu datang, Tetapi bisa dipantau menggunakan teknologi. Bisa berkomunikasi langsung dengan orang tua anak.”
Bagi dr. Sutrisno, ketersediaan akses internet memberi manfaat bagi banyak dokter di pedalaman untuk terus menimba ilmu. “Ketersediaan internet sangat membantu dokter untuk meng-update ilmu. Terutama dalam hal mencari informasi tentang stunting,” lanjutnya. Sekadar tahu saja, kadang dokter ini harus keluar jendela demi mendapatkan sinyal yang bagus.
Masyarakat di daerah, masih cerita dr. Sutrisno bukannya tak ingin memperoleh informasi dari berbagai sumber. Namun karena akses tak tersedia, mereka tak mendapatkan apa yang diinginkan. Bahkan untuk mengurus BPJS yang online pun sulit dilakukan.
“Padahal masyarakat ingin tahu tentang stunting dari media sosial atau Youtube, tidak hanya dari dokter,” jelasnya.
Informasi yang diperoleh dari internet bahkan juga bisa membantu masyarakat di daerah jika kesulitan memperoleh bahan makanan yang sebenarnya tersedia di daerahnya. Umpamanya jika tidak tersedia susu, maka sebenarnya ada alternatif pengganti. “Bisa berasal dari kacang-kacangan atau ikan,” terang dr, Tjandraningrum. Dan semua bahan itu, lewat informasi di internet, bisa diperoleh di daerah masing-masing. “Bahan pangan lokal harus dimanfaatkan. Tidak tergantung dari pasokan luar,” tambah dr. Riyanti. (*)