POTPOURRIVeritas

Apakah Jurnalisme Memiliki Masa Depan? [1]

Angka kematian surat kabar adalah berita lama, dan nostalgia untuk surat kabar mati itu sendiri menyedihkan, karena ada hal-hal prinsip yang terlibat. “Saya tidak akan menangisi pabrik sepatu atau cabang stasiun kereta api yang ditutup,” kata Heywood Broun, pendiri American Newspaper Guild, ketika New York World gulung tikar pada tahun 1931. “Tetapi surat kabar berbeda.”

Oleh   :  Jill Lepore*

JERNIH– Pintu belakang berpanel kayu dari station wagon Oldsmobile tahun 1972 itu menjuntai terbuka seperti rahang patah, membuat bangku tempat setidaknya empat anak bisa duduk itu goyah. Setiap Minggu pagi, jauh sebelum fajar, kami ditarik dari tempat tidur untuk mengisi mobil dengan tumpukan koran yang diikat tali, memanjat ke bak truk, memotong tali dengan gunting jahit ibu, dan berkeliling kota, terpantul-pantul di bangku itu, sementara ayah meneriakkan bberapa perintah dari kursi pengemudi.

“Hati-hati dengan anjing itu!” dia akan berteriak manakala bertemu seekor anjing yang masih asing.

“Masukkan ke pintu kasa!” “Masukkan ke kotak surat!” Saat mobil merayap, tidak pernah berhenti, kami masing-masing mengambil koran dan berlari dalam kegelapan melintasi jalan masuk yang tertutup es atau rumput yang terbungkuk digayuti embun, menabrak, secara musiman, manusia salju yang tak terduga ada.

“Serambi belakang!” “Uang di bawah keset!” Dia menyimpan daftar, digoreskan di belakang amplop, ditempel di dasbor: catatan piutang. “Mereka berutang tiga pekan!”

Dia sebenarnya tidak perlu mengingatkan kita. Kami tahu setiap Doberman dan setiap utang yang pelanggan bikin. Kami akan mengirimkan koran kami— Worcester Sunday Telegrams —dan kemudian berlari kembali ke mobil, bergegas ke bak truk, menjatuhkan koin yang telah kami kumpulkan ke dalam kaleng tembakau Briggs yang kosong saat kami berbelok ke belokan berikutnya, surat kabar itu mendikte kapan kami menikmati hari Sabat kami .

Worcester Sunday Telegrams didirikan pada tahun 1884, ketika telegram berarti sesuatu yang cepat. Dua tahun kemudian, koran itu menjadi harian. Koran itu tidak pernah menjadi koran yang sangat bagus,  tetapi selalu merupakan koran yang cukup bagus: berguna, bisa dijadikan bahan bergosip, dan tegas. Lagian, dia juga bisa membangun dan menumbuhkan bakat. Penyair Stanley Kunitz adalah seorang staf penulis untuk Telegram pada tahun 1920-an. Reporter The New York Times, Douglas Kneeland, yang meliput Kent State dan Charles Manson, memulai karirnya di sana pada tahun 1950-an. Joe McGinniss melaporkan untuk Telegram pada tahun 1960-an sebelum menulis “The Selling of the President.”

Dari politisi abad kesembilan belas yang berjanggut lebat hingga George W. Bush yang berwajah bayi, surat kabar itu dengan gigih mendukung Partai Republik, terutama jika berkaitan dengan skandal dan penjahat berkumis yang beroperasi di lingkungan kita, perbaikan perpustakaan umum yang terlambat, penggerebekan polisi pada perusahaan judi illegal. Pokoknya sesuai dengan pemeo, “anjing Worcester mengejar kucing Worcester di atas pagar Worcester,” yang kerap dijadikan lelucon korps pers Washington tentang tajuk utama surat-surat kabar lokal.

Sebagian besar surat kabar seperti itu tidak bertahan lama. Antara tahun 1970 dan 2016, tahun ketika American Society of News Editor berhenti menghitung, lima ratus atau lebih harian gulung tikar; sisanya mengurangi liputan berita, atau mengecilkan ukuran kertas, atau berhenti memproduksi edisi cetak, atau melakukan semua itu, dan itu masih belum cukup.

Angka kematian surat kabar adalah berita lama, dan nostalgia untuk surat kabar mati itu sendiri menyedihkan, karena ada hal-hal prinsip yang terlibat. “Saya tidak akan menangisi pabrik sepatu atau cabang stasiun kereta api yang ditutup,” kata Heywood Broun, pendiri American Newspaper Guild, ketika New York World gulung tikar pada tahun 1931. “Tetapi surat kabar berbeda.”

Dan pendarahannya belum berhenti. Antara Januari 2017 dan April 2018, sepertiga surat kabar terbesar di AS, termasuk Denver Post dan San Jose Mercury News, melaporkan telah melakukam PHK. Dalam tren yang lebih baru, demikian pula sekitar seperempat situs berita asli digital. BuzzFeed News memberhentikan seratus orang pada tahun 2017; spekulasi yang ada adalah memang  BuzzFeed sedang mencoba untuk membuang mereka. The Huffington Post tidak menggaji sebagian besar penulisnya selama bertahun-tahun, menaikkannya baru-baru ini menjadi hampir tidak ada apa-apanya, dan meskipun menerima puluhan juta dolar dalam pendapatan iklan pada tahun 2018, ia gagal menghasilkan keuntungan.

Yang juga membuat para insan pers kuatir, terutama tentang berita palsu (hoax) yang bangkit dari abu berita mati. “Kami, untuk pertama kalinya dalam sejarah modern, menghadapi kemungkinan bagaimana masyarakat berjalan tanpa adanya berita yang dapat dipercaya,” kata Alan Rusbridger, pemimpin redaksi Guardian selama dua puluh tahun, menulis dalam “Breaking News: The Remaking of Journalism and Why It Matters Now.”  

“Tidak banyak tempat tersisa yang menyajikan berita berkualitas dengan baik,” kata Jill Abramson, mantan editor eksekutif New York Times, menulis dalam “Merchants of Truth: The Business of News and the Fight for Facts.” Seperti kebanyakan reporter dan editor surat kabar besar yang menulis tentang krisis jurnalisme, Rusbridger dan Abramson hanya tertarik pada institusi-institusi pers nasional dan internasional. Cerita lokal tentu lebih buruk.

Pertama datang konglomerasi. Worcester, Massachusetts, kota terbesar kedua di New England, dulu memiliki empat harian: Telegram, di pagi hari, dan Gazette, di malam hari (di bawah kepemilikan yang sama), Spy, dan Post. Sekarang hanya ada satu.

Bertumbangannya surat-surat kabar Amerika awalnya terjadi pada dekade awal abad kedua puluh, terutama karena (a) radio dan (b) Depresi; jumlah harian turun dari 2.042 pada tahun 1920 menjadi 1.754 pada tahun 1944, meninggalkan 1.103 kota dengan hanya satu surat kabar.

Sirkulasi surat kabar meningkat antara tahun 1940 dan 1990, tetapi kemungkinan hanya karena lebih banyak orang membaca lebih sedikit surat kabar, dan, seperti yang pernah diamati oleh A. J. Liebling, tidak ada yang lebih buruk daripada kota satu koran. Pada tahun 1949, setelah satu lagi harian New York menutup usaha, Liebling meramalkan, “Jika tren ini berlanjut, New York akan menjadi kota dengan satu atau dua koran pada sekitar tahun 1975.” Dia tidak meleset terlalu jauh. Pada 1980-an dan 1990-an, seperti yang dilaporkan Christopher B. Daly dalam “Covering America: A Narrative History of the Nation’s Journalism,” “yang besar terus bertambah besar.”

Konglomerasi bisa baik untuk bisnis, tetapi umumnya buruk bagi jurnalisme. Perusahaan media yang ingin semakin besar cenderung menelan perusahaan media lain, menekan persaingan dan berutang, yang membuat penerbit menjadi pengecut. Pada tahun 1986, penerbit dari San Francisco Chronicle membeli Worcester Telegram dan Evening Gazette, dan tiga tahun kemudian, tepat ketika Time and Warner menjadi Time Warner, Telegram dan the Gazette menjadi Telegram & Gazette, atau T&G, kentang goreng yang lebih kecil ukurannya, tetapi dari kentang yang sama.

Berikutnya adalah dot-com. Craigslist  menjadi online di Bay Area pada tahun 1996 dan menyebar ke seluruh benua seperti rumput liar, mencekik sumber pendapatan paling andal surat kabar lokal: iklan baris. T&G mencoba mempertahankan bagian iklan barisnya dengan mengarungi perairan dangkal Internet, di telegram.com. Kemudian mulailah putaran lain pembelian perusahaan, kesepakatan yang sangat berpengaruh yang dilakukan oleh eksekutif yang bertanggung jawab kepada pemegang saham yang mencari dividen lebih tinggi, bukan surat kabar yang lebih baik.

Pada tahun 1999, New York Times Company membeli T&G dengan harga hampir 300 juta dolar. Pada tahun 2000, hanya 350 dari 1.500 surat kabar harian yang tersisa di Amerika Serikat yang dimiliki secara independen. Dan hanya satu dari setiap 100 kota di Amerika yang memiliki surat kabar harian lebih dari hanya satu koran.

Kemudian datanglah musim gugur, ketika surat kabar di seluruh negeri, yang dibelenggu oleh perusahaan raksasa dan model bisnis berusia seabad yang lamban, mendapati diri mereka tidak mampu bersaing dengan para pemula—pengumpul berita online seperti Huffington Post (2005) dan Breitbart News (2007), yang bagi pembaca, gratis. Agregator berita juga menjauhkan pengiklan tampilan dari media cetak;

Facebook dan Google menelan seluruh akun iklan. Koran besar menemukan cara untuk beradaptasi; ukuran kertas yang lebih kecil. Antara 1994 dan 2016, tahun-tahun ketika populasi Worcester County meningkat lebih dari 100 ribu, pengiriman T&G ke rumah setiap hari menurun dari lebih dari 120 ribu menjadi hampir 30 ribu. Dalam satu tahun saja, sirkulasi turun 29 persen. Pada tahun 2012, setelah satu putaran pemutusan hubungan kerja, T&G meninggalkan gedungnya, stafnya yang jauh berkurang cukup kecil untuk dijejalkan di dua lantai gedung perkantoran di dekatnya.

Tahun berikutnya, pemilik Boston Red Sox membeli koran, bersama dengan Boston Globe, dari New York Times Company seharga 70 juta dolar, hanya untuk menurunkan T&G kurang dari setahun kemudian, seharga 17 juta dolar ke Halifax Media  Group, yang memegangnya hanya setengah tahun sebelum Halifax sendiri dibeli dengan gaya pasar loak oleh entitas yang menyebut dirinya—tidak secara ironis, New Media Investment Group.

Angka-angka menutupi cerita yang lebih buruk. Dalam setengah abad terakhir, dan terutama dalam dua dekade terakhir, jurnalisme itu sendiri—cara berita diliput, dilaporkan, ditulis, dan diedit—telah berubah, termasuk cara yang memungkinkan munculnya berita palsu. Itu bukan hanya karena merger, akuisisi, urusan  kepemilikan perusahaan, kehilangan pekerjaan, Penelusuran Google, Facebook dan BuzzFeed.

Tidak ada kondisi kekurangan jurnalis yang luar biasa di tempat kerja, yang bermata jernih dan berani, yang berwawasan luas dan cemerlang. Tidak pula karena kehabisan inovasi menarik dalam hal bentuk, terutama dalam pengisahan cerita dan visual. Namun, jurnalisme, sebagai lapangan, sama bingungnya dengan para pecandu madat,  kurus, terbuang dalam gelisah, kantongnya kosong dengan malam-malamnya yang tampaknya diisi insomnia. Dan fenomena itu jauh lebih cepat dari sebelumnya. Sangat cepat. Yang terjadi juga lebih tegang, lebih membutuhkan, dan lebih membuat marah. Seolah ia makhluk serakah yang ingin lagi, lagi dan lagi. Tapi apa yang ia butuhkan?

Surat kabar harian adalah akar dari jurnalisme modern. Surat kabar harian membawa kita ke era 1830-an, dekade di mana kata “jurnalisme” diciptakan, yang berarti “pelaporan harian”, jurnal dalam jurnalisme. Koran harian awal bergantung pada pelanggan untuk bisa membayar tagihan. Pers saat itu adalah partisan, pembaca adalah pemilih, dan berita dimaksudkan untuk membujuk (dan mendongkrak tinggi partisipasi pemilih).

Tetapi pada tahun 1900 iklan menghasilkan lebih dari dua pertiga pendapatan di sebagian besar dari 18 ribu surat kabar nasional AS, yang pembacanya adalah konsumen, bukan lagi sekadar para pemilih. “Surat kabar bukanlah misionaris atau lembaga amal, tetapi bisnis yang mengumpulkan dan menerbitkan berita yang diinginkan dan bersedia dibeli oleh orang-orang,” kata seorang editor Missouri pada tahun 1892.

Surat kabar berhenti membangkitkan sentiment massa karena bisnis menginginkan pembaca, apapun pilihan politik mereka. “Ada sentimen yang berkembang bahwa publik menginginkan politiknya ‘lurus’,” tulis seorang jurnalis pada tahun berikutnya. Wartawan berjanji pada diri mereka sendiri untuk bicara “fakta, fakta, dan lebih banyak fakta”. Karena pers pun kian menjadi kurang partisan dan lebih berbasis iklan, surat kabar memilah diri mereka bukan berdasarkan kecenderungan politik pembacanya tetapi berdasarkan pendapatan mereka. Jika Anda memiliki banyak uang untuk dibelanjakan, Anda membaca St. Paul Pioneer Press; jika Anda tidak punya banyak, Anda bisa membaca St. Paul Dispatch.

Tidak mengherankan, para kritikus segera mulai menulis buku-buku besar, biasanya dakwaan, tentang hubungan antara bisnis dan jurnalisme. “Ketika Anda membaca koran harian Anda, apakah Anda membaca fakta atau propaganda?” Upton Sinclair bertanya pada jaket buku “The Brass Check,” pada tahun 1919. Dalam “The Disappearing Daily,” pada tahun 1944, Oswald Garrison Villard meratapi “apa yang dulu merupakan profesi tetapi sekarang hanya sekadar bisnis.”

Buku besar yang mengilhami Jill Abramson untuk menjadi jurnalis adalah “The Powers That Be” karya David Halberstam, dari 1979, sebuah sejarah kebangkitan media modern berbasis korporat di pertengahan dekade abad kedua puluh. Halberstam, yang memenangkan Hadiah Pulitzer pada tahun 1964 untuk liputannya dari Vietnam untuk New York Times, mengambil ceritanya kurang lebih di mana Villard tinggalkan.

Dia mulai dengan F.D.R. dan radio CBS; kemudian ditambah Los Angeles Times, Time Inc., dan televisi CBS; dan mencapai klimaks  dengan Washington Post dan New York Times dan publikasi Pentagon Papers, pada tahun 1971.

Halberstam berpendapat bahwa antara tahun 1930-an dan 1970-an, radio dan televisi membawa kedekatan baru untuk pelaporan, sementara sumber daya yang disediakan oleh pemilik perusahaan dan tuntutan yang dibuat oleh audiens nasional yang semakin canggih, menyebabkan pelaporan yang lebih keras, investigative dan bermusuhan, jenis yang bisa mengakhiri perang dan menjatuhkan seorang presiden. Richard Rovere menyimpulkannya dengan sangat baik: “Kesamaan yang dimiliki oleh The Los Angeles Times, The Washington Post, Time dan CBS adalah bahwa, di bawah tekanan yang ditimbulkan secara internal dan eksternal, mereka bergerak dari venality atau parokialisme atau biasa-biasa saja atau ketiganya, menuju sesuatu yang mendekati keunggulan jurnalistik dan tanggung jawab.”

Langkah itu datang dengan harga. “Watergate, seperti Vietnam, telah mengaburkan salah satu fakta sentral baru tentang peran jurnalisme di Amerika,” tulis Halberstam. “Hanya institusi perusahaan yang sangat kaya dan sangat kuat seperti ini yang memiliki dampak, jangkauan, dan terutama sumber daya untuk menantang Presiden Amerika Serikat.”

Jangkauan, dan urusan kemudian lebih kepada jangkauan. Ketika saya tumbuh dewasa, di tahun 1970-an, tidak seorang pun yang saya kenal membaca New York Times, Washington Post, atau Wall Street Journal. Tak seorang pun yang saya kenal bahkan membaca Boston Globe, sebuah media yang dulu memiliki aturan bahwa tidak ada karya yang boleh begitu kritis terhadap siapa pun sehingga “penulisnya tidak dapat berjabat tangan keesokan harinya dengan orang yang telah ditulisnya.”

Setelah jurnalisme memasang gaya tersebut, ayah saya hanya menyebut Globe sebagai “that communist rag,” paling tidak karena pada tahun 1967, dialah surat kabar besar pertama di Amerika Serikat yang menentang Perang Vietnam.

Pandangan jurnalisme baru yang dipegang oleh orang-orang seperti ayahku luput dari perhatian Halberstam. Pada tahun 1969, Wakil Presiden Nixon, Spiro Agnew, menyampaikan pidato yang disusun ajudan Nixon, Pat Buchanan, yang menuduh pers telah bias liberal. Ini “politik yang baik bagi kita untuk menendang pers,”demikian Nixon dikatakan telah berkata kepada stafnya. Pers, kata Agnew, mewakili “pemusatan kekuasaan atas opini publik Amerika yang tidak jelas keberadaannya dalam sejarah,” yang terdiri dari orang-orang yang “membaca surat kabar yang sama” dan “terus-menerus berbicara satu sama lain.” Beraninya mereka. Halberstam mengesampingkan ini karena PR hooey, tetapi, seperti yang kemudian terang benderang, Agnew menjangkau audiens yang siap, terutama di rumah-rumah seperti rumah saya.  [Bersambung—The New Yorker]

Jill Lepore, seorang staf penulis di The New Yorker, adalah seorang profesor sejarah di Harvard dan penulis empat belas buku, termasuk “If Then: How the Simulmatics Corporation Invented the Future.”

Back to top button