Crispy

Menuju Kota Sunyi: Membaca Diri Lewat Mata Imam Ma’arif

oleh Emi Suy

Membaca tulisan Imam Ma’arif tentang perjalanan saya, saya merasa seperti menatap cermin yang tak hanya memantulkan wajah, tapi juga masa lalu, kegagalan, kerikil-kerikil kecil yang pernah menggores telapak, bahkan cahaya redup yang dulu saya kira tak akan pernah menjadi terang. Imam seperti sengaja menaruh cermin itu di hadapan saya, agar saya tak lupa bahwa perjalanan seorang penyair selalu berhutang pada luka-luka yang ia lalui, pada keraguan yang ia rawat, dan pada keberanian untuk tetap menulis meski kata-kata terasa tumpul.

Saya masih bisa mengingat malam itu—Planet Senin, 2008—ketika saya membawa segepok puisi, atau tepatnya segepok kegagapan yang saya sebut puisi. Di wajah saya, kata Imam, terlihat harapan agar ia segera mengomentari. Saya, perempuan muda yang masih penuh ragu, menyerahkan kertas-kertas itu seperti orang yang menyerahkan rahasia paling rapuh dari dirinya. Saya menunggu, dengan hati yang berdegup, sambil berharap ada secercah pengakuan. Imam, dengan kebijaksanaannya, tidak mematahkan. Ia memilih jalan Pak Tino Sidin—menepuk bahu, memberi kata sederhana: teruslah belajar.

Kini, setelah bertahun-tahun, saya menyadari: yang menyelamatkan bukanlah pujian atau kritik, melainkan kelembutan untuk tidak membunuh langkah awal seseorang. Seandainya saat itu Imam berkata, “ini bukan puisi,” mungkin saya akan pulang membawa luka yang terlalu berat. Tapi Imam memilih jalan lain—jalan yang membuat saya tetap percaya pada kata, meski kata-kata saya saat itu masih compang-camping.

Imam membaca saya dengan istilah yang indah: “menuju kota sunyi.” Saya merenungkannya lama. Sunyi, bagi saya, memang telah berubah wujud. Dulu, sunyi adalah keluhan, semacam ruang pelarian dari bising dunia. Sunyi adalah jeda untuk menenangkan napas, tempat saya meletakkan lelah. Tapi semakin jauh saya berjalan, sunyi berubah menjadi kota yang harus saya masuki dengan penuh keberanian. Kota itu bukan lagi pelarian, melainkan rumah. Di dalamnya ada jalan-jalan sepi, lampu-lampu redup, pintu-pintu yang berderit, bahkan taman kecil yang hanya mekar ketika saya diam.

Di kota itu, saya belajar membedakan dua macam sunyi yang disebut Imam: sunyi karena situasi, dan sunyi karena batin. Sunyi situasi lahir dari sekeliling yang gaduh, tapi tubuh memilih diam. Sunyi batin lahir dari keterasingan, dari pertanyaan-pertanyaan eksistensial yang tak kunjung usai: siapa aku, dari mana aku datang, mau ke mana aku menuju? Sunyi batin adalah luka yang berubah menjadi doa. Dan saya tahu, di kota itulah saya kini tinggal.

Imam melihat dalam puisi-puisi saya—Alarm Sunyi, Ayat Sunyi, Api Sunyi—sebuah proses bergerak. Dari keluhan menuju perenungan, dari permukaan menuju kedalaman. Ia menyebut saya telah memegang tiket menuju kota sunyi. Tiket itu, bagi saya, bukan tanda masuk, melainkan tanda kesiapan untuk kehilangan. Sebab di kota sunyi, kita belajar melepaskan segalanya: nama, kebanggaan, bahkan suara sendiri. Yang tersisa hanya percakapan hening antara jiwa dengan sesuatu yang lebih besar.

Saya teringat kata-kata Imam tentang membaca. Ada membaca kecil—membaca buku, karya orang lain. Ada membaca besar—membaca peristiwa, membaca dunia, membaca kehidupan. Barangkali perjalanan saya memang seperti itu: dari membaca buku ke membaca tubuh ibu, dari membaca penyair senior ke membaca wajah-wajah nelangsa di jalan, dari membaca sejarah di lembaran kertas ke membaca luka sejarah yang menetes di tubuh bangsa. Puisi bagi saya lahir dari pertemuan keduanya: membaca kecil memberi saya kosa kata, membaca besar memberi saya jiwa.

Ketika Imam menyebut Danarto dan Rabiah Adawiyah, saya merasa beliau sedang memberi arah. Saya belum sampai ke kedalaman mereka. Namun saya tahu, di ujung jalan sunyi selalu ada pintu menuju Yang Ilahi. Rabiah mengajarkan cinta tanpa syarat, cinta yang tak lagi dihitung dengan neraka dan surga. Danarto menemukan ayat-ayat Allah yang membacakan dirinya sendiri. Bukankah itu yang juga saya cari lewat puisi? Sebuah bahasa yang bisa melampaui kata, sebuah doa yang tak lagi harus diucapkan.

Saya tersenyum ketika Imam bertanya: apakah Emi masih butuh ruang lain untuk berekspresi? Fotografi, esai, rupa, gunung. Saya tak tahu pasti jawabannya. Tapi saya merasa semua ruang hanyalah lorong. Pada akhirnya, lorong-lorong itu menuju ke kota yang sama: kota sunyi. Di sanalah saya menambatkan diri.

Tulisan Imam bukan sekadar catatan tentang perjalanan saya. Ia adalah cermin yang membuat saya harus jujur kepada diri sendiri: bahwa saya masih terus belajar, masih terus mencari, masih terus jatuh dan bangkit. Bahwa puisi bukanlah tujuan, melainkan jalan. Jalan yang kadang lengang, kadang terjal, kadang penuh cahaya, kadang hanya diliputi kabut.

Dan pada jalan itulah saya berjalan—menuju kota sunyi, tempat di mana akhirnya saya belajar: diam pun bisa berbicara, luka pun bisa menyembuhkan, dan kehilangan pun bisa menjadi rumah.

Epilog

Pada akhirnya, saya sadar: setiap orang punya kotanya sendiri, dan saya dipanggil untuk menetap di kota sunyi. Kota ini bukan tempat asing, melainkan bagian terdalam dari diri saya sendiri. Imam Ma’arif hanya menunjukkan jalan, sementara saya yang harus terus melangkah, meski kadang tersesat di lorongnya.

Jika benar, seperti yang Imam tulis, saya baru sampai di gerbang, maka saya akan terus belajar mengetuk pintu-pintu berikutnya. Saya percaya, di balik tiap pintu ada cahaya, ada kesunyian yang lebih jernih, ada bahasa yang tak lagi berbentuk kata, ada doa yang tak lagi memakai suara.

Mungkin itulah takdir saya: berjalan tanpa peta, tapi tetap percaya bahwa setiap langkah menuju pulang. Dan puisi adalah bekal yang tak pernah habis, meski tubuh saya kelak lenyap ditelan bumi.

Di kota sunyi ini, saya belajar satu hal yang paling sederhana sekaligus paling sulit: diam, dan mendengarkan bagaimana semesta membacakan dirinya.

Jakarta, 7 September 2025

Back to top button