Mesir dan Israel Bersiap Menuju Konfrontasi Militer?

- Pembunuhan yang disengaja terhadap para pemimpin Hamas di Qatar telah menambah ketegangan antara Mesir dan Israel atas perang Tel Aviv di Gaza.
- Batasan yang diberlakukan Israel terhadap masuknya bantuan kemanusiaan ke Gaza juga telah meresahkan Kairo, yang sedang berada di bawah tekanan hebat di dalam dan luar negeri.
JERNIH – Serangan udara Israel terhadap Qatar minggu lalu telah menambah ketegangan dengan Mesir. Kairo memandang pembunuhan yang ditargetkan terhadap para pemimpin Hamas sebagai eskalasi mengkhawatirkan yang berpotensi menempatkan Mesir menjadi sasaran rudal Tel Aviv.
Mesir sudah memperingatkan jika Israel menyerang para pemimpin Hamas di wilayahnya, “gerbang neraka” akan terbuka. Mesir kemudian memutuskan untuk mengurangi koordinasi keamanan dengan Tel Aviv.
Mengutip laporan The New Arab (TNA), sebelum serangan Israel di Doha, ketegangan antara Kairo dan Tel Aviv sebenarnya telah meningkat, memicu spekulasi tentang arah hubungan mereka di masa mendatang. Kedua ibu kota ini terikat oleh perjanjian damai yang rapuh yang ditandatangani pada 1979, setelah empat kali perang di antara mereka.
Hampir 45 tahun kemudian, kesepakatan tersebut masih belum mendapatkan penerimaan publik maupun integrasi ekonomi. Perkembangan dalam beberapa bulan terakhir telah memicu perdebatan lebih lanjut tentang keberlangsungan kesepakatan tersebut.
Mesir baru-baru ini meningkatkan kritiknya terhadap perang Israel di Gaza, mengecam pembatasan yang diberlakukan tentara Israel terhadap masuknya bantuan kemanusiaan ke wilayah Palestina yang porak-poranda akibat perang. Mesir juga telah berulang kali memperingatkan tentang konsekuensi dari pengusiran penduduk Gaza ke selatan, dekat perbatasan Mesir.
Presiden Mesir Abdel Fattah al-Sisi, yang menggambarkan perang Israel di Gaza sebagai “genosida sistematis”, mengatakan negaranya tidak akan menjadi pintu gerbang bagi pengungsian penduduk wilayah tersebut.
Kemarahan Kairo jelas berdampak di Tel Aviv. Israel mengancam akan membekukan kesepakatan gas bernilai miliaran dolar dengan Mesir. Kesepakatan tersebut, yang diperkirakan bernilai $35 miliar, akan menjembatani kesenjangan yang menganga antara produksi dan konsumsi gas alam Mesir.
“Ketegangan telah meningkat antara kedua belah pihak selama beberapa waktu, yang berpotensi memengaruhi keamanan dan stabilitas regional,” kata peneliti politik Mesir Mohamed Rabie al-Dehi kepada TNA. Perang brutal Israel di Gaza dan pernyataan Netanyahu tentang apa yang dikenal sebagai visi Israel Raya, semuanya memicu kemarahan Mesir.
Awal Mulai Kemarahan Mesir
Kemarahan Mesir berakar pada rencana Israel untuk menggusur warga Gaza, sebuah ide yang pertama kali dilontarkan pada awal perang oleh beberapa politisi Israel, dan sekarang menjadi kebijakan negara yang didukung pemerintahan Trump.
Tentara Israel kini memaksa ratusan ribu orang meninggalkan Kota Gaza menuju selatan ke zona kemanusiaan dekat perbatasan Mesir, tempat ratusan ribu warga Palestina lainnya telah mengungsi. “Kekhawatiran Mesir tentang eksodus penduduk Gaza ke Sinai cukup beralasan,” kata al-Dehi. “Eksodus seperti itu akan menempatkan Mesir dalam situasi yang sangat sulit dan mengancam keamanan regional secara umum.”
Para pengamat mengatakan pasukan Mesir yang ditempatkan di sepanjang perbatasan dengan Gaza akan menghadapi dilema. Menembak warga sipil tak berdosa yang melarikan diri dari kematian, kehancuran, dan kelaparan akan menjadi bencana, sementara pengungsian permanen warga Palestina di Sinai akan menciptakan masalah keamanan dan ekonomi yang tak terelakkan.
Pada bulan Maret tahun ini, Sisi menyinggung apa yang ia sebut sebagai pelanggaran perjanjian damai jika Israel secara paksa memindahkan warga Palestina ke Sinai. Untuk mencegah skenario seperti itu, Mesir meningkatkan kehadiran pasukannya di Sinai, tetapi hal ini justru menambah ketegangan dengan Israel, yang memandang pengerahan militer tersebut sebagai pelanggaran Camp David.
Batasan yang diberlakukan Israel terhadap masuknya bantuan kemanusiaan ke Gaza juga telah meresahkan Kairo, yang sedang berada di bawah tekanan hebat di dalam dan luar negeri.
Kedutaan Besar Mesir di sejumlah negara telah menyaksikan serangkaian protes dalam beberapa minggu terakhir. Para demonstran menuduh otoritas Mesir gagal berbuat cukup banyak untuk menawarkan bantuan kepada Palestina.
Demonstrasi tersebut telah mengusik Mesir pada level tertinggi, memicu serangkaian reaksi dari Kairo. Presiden Mesir sampai harus tampil di televisi, menuduh Israel, yang telah menduduki sisi Gaza di perbatasan dengan Mesir sejak Mei tahun lalu, menghalangi masuknya bantuan.
Pemerintah Mesir juga telah menyelenggarakan kunjungan ke perlintasan Rafah di perbatasan dengan Gaza bagi pejabat asing dan media untuk memberikan mereka laporan langsung tentang upaya Kairo dalam mengirimkan bantuan kemanusiaan ke Gaza.
Titik Api Potensial
Para analis di Kairo mengatakan, semua isu ini merupakan titik api potensial yang dapat memicu eskalasi cepat. “Mesir sangat prihatin dengan apa yang terjadi di Gaza, terutama rencana Israel mengusir penduduk ke perbatasan Mesir,” ujar pensiunan jenderal militer Mesir, Mohamed al-Ghabari, kepada TNA. “Israel juga menggunakan bantuan kemanusiaan untuk memperketat jeratan di sekitar Kota Gaza.”
Sementara itu, Israel telah waspada terhadap peningkatan kehadiran pasukan Mesir di Sinai, dengan semakin banyak pejabat dan penulis Israel yang memperingatkan terhadap penempatan tambahan tersebut.
Ada kekhawatiran bahwa Israel mungkin mulai memandang pengerahan pasukan ini bukan sebagai tindakan Mesir terhadap pemindahan warga Palestina atau infiltrasi elemen militan dari Gaza ke Sinai, tetapi sebagai bentuk persiapan untuk serangan.
Tindakan pencegahan apa pun yang dilakukan Israel terhadap pasukan Mesir di Sinai akan berakibat buruk, karena dapat memicu respons Mesir, yang mungkin memicu perang besar-besaran antara kedua belah pihak.
Serangan udara Israel terbaru di Qatar juga telah meningkatkan kemungkinan Mesir mengambil alih seluruh tugas mediasi gencatan senjata di Gaza, terutama jika Doha memutuskan untuk mengakhiri peran mediasinya.
Bersama AS dan Qatar, Mesir telah berupaya sejak awal perang di Gaza untuk membantu kedua belah pihak mencapai gencatan senjata dan kesepakatan pertukaran tahanan. Jika Mesir memikul tanggung jawab penuh atas hal ini, berarti Kairo harus menerima para pemimpin politik Hamas di Kairo.
Mengingat peringatan Netanyahu sebelumnya bahwa negaranya akan menargetkan kepemimpinan Hamas di mana saja, serangan terhadap pemimpin Hamas di Kairo dapat membuka pintu bagi konfrontasi militer yang lebih luas.
Terlepas dari semua ketegangan ini, Mesir dan Israel kemungkinan besar tidak ingin melihat perbedaan mereka berkembang menjadi konfrontasi militer. Perjanjian damai Mesir-Israel telah memberikan manfaat selama 45 tahun terakhir dan berhasil mencegah perang baru antara kedua negara.
“Perjanjian damai tersebut menekan reaksi Mesir dalam menghadapi sikap keras kepala Israel di kawasan tersebut,” ujar Ahmed Youssef, seorang profesor ilmu politik di Universitas Kairo, kepada TNA . “Hal ini mengikat Mesir untuk tidak menggunakan opsi militer dalam menangani pelanggaran Israel di negara-negara Arab lainnya.”
Namun, ia mencatat bahwa Mesir akan dipaksa untuk mempertahankan diri jika terjadi serangan Israel, sebuah kemungkinan yang dapat menghancurkan perjanjian damai 1979. Namun, eskalasi memerlukan tindakan yang disengaja untuk melewati batas merah, dengan tren saat ini menunjukkan permusuhan yang terkendali daripada konflik terbuka.
Pada saat yang sama, keterlibatan AS yang berkelanjutan dan berakhirnya perang di Gaza dapat mencegah keretakan antara Kairo dan Tel Aviv di masa mendatang, terutama jika Washington memberikan tekanan nyata pada Israel.