Militer Myanmar Ancam Berangus Aksi Demo
- Seorang aktivis mengatakan tidak ingin lagi hidup dalam ketakutan di bawah rejim militer.
- Rakyat harus melawan, dan mengenyahkan militer dari politik.
- Pembangkangan sipil kian meluas, dengan PNS turun ke jalan.
JERNIH — Pemerintah militer Myanmar mengancam akan menindak keras pengunjuk rasa yang melanggar hukum, tapi pembangkangan sipil kian meluas.
Polisi menembakan meriam air ke arah demo damai di Naypyidaw, ibu kota Myanmar, saat ribuan orang turun ke jalan. Aksi demo tidak hanya terjadi di ibu kota, tapi juga di seluruh kota di Myanmar.
Dalam pernyataan yang dibacakan penyiar MRTV, televisi pemerintah Myanmar, milter mengatakan telah terjadi pelanggaran hukum dan ancaman kekerasan oleh kelompok-kelompok yang menggunakan dalih demokrasi dan hak asasi manusia.
“Tindakan harus diambil sesuai hukum dengan efektif untuk mencegah penghancuran stabilitas negara, keamanan publik, dan demi supremasi hukum,” demikian pernyataan otoritas Myanmar.
Di hampir semua kota, seruan untuk bergabung dalam protes dan pembangkangan sipil semakin keras. Sejumlah pegawai negeri sipil (PNS) juga mulai turun ke jalan.
Di pertambangan tembaga, buruh menolak kerja dan bergabung dalam aski pembangkangan sipil. Biksu keluar dari kuil dan berparade di jalan-jalan.
“Katakan tidak pada kediktatoran,” kata seorang biksu yang mengibarkan bendera Buddha warna-warni di samping spanduk Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD).
Petugas kesehatan dan dokter mengajak rekan-rekan yang masih bekerja untuk meninggalkan rumah sakit, dan hanya merawat pasien darurat.
“Pesan kami kepada publik adalah sepenuhnya menghapus rejim militer dan kami harus berjuang untuk takdir kami,” kata Aye Mian, seorang perawat.
Tidak Takut Lagi
Kyaw Zin Tun, seorang insinyur yang turun ke jalan, mengatakan dia masih ingat bagaimana ketakutan yang ditimbulkan rejim militer di tahun 1990-an.
“Dalam lima tahun terakhir, di bawah pemerintahan demokrasi, ketakutan kami hilang,” kata Zin Tun. “Kini, ketakutan itu akan kembali lagi. Kami harus menyingkirkan junta militer demi masa depan anak-anak kami.”
Aksi protes kali ini adalah yang terbesar sejak 2007, atau ketika Revolusi Saffron yang digerakan para biksu. Saat itu, pemerintah militer menindas aksi damai para biksu.
Setahun kemudian para jenderal menggelar referendum tentang rancangan konstitusi, yang memastikan militer mempertahankan kekuasaan tapi membuka pintu bagi pemerintahan sipil.
Proses demokrasi terbalik pada 1 Februari lalu, ketika Jenderal Min Aung Hlaing merebut kekuasaan, setelah menuduh terjadi kecurangan dalam pemilu yang dimenangkan NLD.