Muslimat NU Harus Berperan Berikan Vaksinasi Ideologi ke Keluarga dan Masyarakat
“Vaksinasi ideologi melalui menanamkan nilai-nilai nasionalisme dan wawasan kebangsaan dengan pendekatan agama, yaitu aspek spiritualitas (ihsan) yang tercermin dalam perilaku dan budi pekerti luhur serta akhlakul karimah”
JAKARTA – Muslimah Nahdlatul Ulama (NU) harus berperan maksimal memberikan vaksinasi ideologi kepada keluarga, jamaah, dan masyarakat di lingkungan sekitarnya. Peranan Muslimat NU menjadi pencegahan radikalisme dan terorisme, guna menciptakan Indonesia menjadi negara yang damai, aman, religius, dan menjunjung tinggi toleransi.
Demikian dikatakan Direktur Pencegahan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Brigjen Pol. R. Ahmad Nurwakhid, di Jakarta, Rabu (15/12/2021) saat menjadi narasumber Launching Buku “Majelis Taklim Cegah Radikalisme” dan Penandatangan MoU antara PP Muslimat NU dengan BNPT RI.
“Vaksinasi ideologi melalui menanamkan nilai-nilai nasionalisme dan wawasan kebangsaan dengan pendekatan agama, yaitu aspek spiritualitas (ihsan) yang tercermin dalam perilaku dan budi pekerti luhur serta akhlakul karimah,” ujarnya.
Menurut Nurwakhid, peran Muslimat NU tidak bisa diremehkan. Pasalnya kaum wanita adalah pilar utama dalam sebuah keluarga. Dengan begitu, Muslimat NU harus mengawali kiprahnya memberikan vaksinasi ideologi itu mulai dari keluarganya sendiri. Setelah itu, baru ke lingkungan dan masyarakat luas.
Ia yakin bila itu terjadi, maka berbagai ancaman ideologi takfiri transnasional tidak akan mampu menggoyahkan Indonesia dan Pancasila. Sebab ideologi radikalisme dan terorisme adalah sebuah gerakan politik yang memanipulasi agama untuk mengganti ideologi negara dengan ideologi lain yang bertentangan dengan Pancasila.
Ia menegaskan tidak ada kaitannya aksi radikal terorisme dengan agama apapun. Sejatinya, radikalisme dan terorisme mengatasnamakan agama adalah fitnah dalam agama, sehingga menjadi musuh agama dan musuh negara.
“Musuh agama, karena semua tindakan dan perbuatannya bertentangan dengan visi agama yang rahmatan lil alamin, akhlaqul karimah, menimbulkan perpecahan didalam agama dan antar agama, serta menimbulkan Islamofobia,” kata dia.
Ia mengingatkan kepada para peserta yang hadir untuk terus meningkatkan upaya dan kewaspadaan. Menurutnya, meskipun kelompok seperti Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Jamaah Islamiyah (JI) dan Jamaah Ansyarut Daulah (JAD) sudah dibubarkan dan menunjukkan tren penurunan pasca ditetapkannya Undang-Undang No.5 Tahun 2018, namun ideologinya masih bergentayangan di masyarakat.
“Kedepannya sangat penting untuk dibuat peraturan yang melarang eksistensi setiap ideologi yang bertentangan dengan Pancasila,” katanya.
Nurwakhid menjelaskan, ada tiga aspek pencegahan yang dilakukan BNPT, yaitu kesiapansiagaan nasional, kontra radikalisasi, dan deradikalisasi.
Kesiapsiagaan Nasional, kata dia, melibatkan seluruh elemen masyarakat hingga aparat. Selain itu, kesiapsiagaan secara ideologi yang moderat, melalui vaksinasi ideologi, yaitu wawasan kebangsaan dan agama yang moderat.
Kemudian kontra radikalisasi meliputi kontra narasi, kontra propaganda, dan kontra ideologi. “Kontra radikalisasi adalah untuk memutus upaya radikalisasi baik di dunia nyata maupun di dunia maya,” ujar dia.
Sudah banyak yang dilakukan BNPT untuk melakukan kontra radikalisasi, lanjut dia, seperti membentuk gugus tugas pemuka dalam rangka pencegahan radikalisme dan terorisme. Kemudian duta duta damai dunia maya, dan juga pembentukan Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) yang sudah di 32 Provinsi di Indonesia.
Strategi ketiga adalah deradikalisasi yang sasarannya adalah narapidana terorisme (napiter), mantan napiter, dan keluarganya.
“Deradikalisasi didefinisikan sebagai upaya atau proses untuk mengembalikan seseorang yang sudah terpapar paham radikal untuk kembali menjadi moderat, atau minimal untuk mengurangi kadar keterpaparannya,” ujarnya.