Crispy

Nada Anak-anak Gaza Menantang Bom Zionis

Anak-anak Gaza menghibur diri di tengah dentuman bombardir Israel yang brutal dan menghancurkan kehidupan warga. Musik membantu mereka bangkit, mengobati tekanan depresi yang telah berada di titik nol.

JERNIH – Di sebuah tenda di Kota Gaza, suara merdu seorang anak laki-laki melayang di udara. Lantunan itu berpadu dengan harmoni lembut para penyanyi latar dan iringan musik instrumental yang hangat—kontras yang tajam dengan irama mematikan bom dan peluru yang mengguncang jalanan di luar sana.

Anak-anak itu adalah murid Konservatorium Musik Nasional Edward Said. Pada 4 Agustus, para guru mereka tetap mengajar, berpindah dari kamp pengungsian ke bangunan-bangunan yang porak poranda, setelah serangan udara Israel memaksa mereka meninggalkan gedung utama sekolah.

“Saat bermain, rasanya seperti melayang,” tutur Rifan al-Qassas, 15 tahun, yang jatuh cinta pada oud—alat musik petik khas Arab—sejak usia sembilan tahun. Ia memimpikan suatu hari dapat menampilkan musiknya di luar negeri. “Musik memberi saya harapan, dan meredakan ketakutan saya,” tambahnya.

Konservatorium ini, yang didirikan di Tepi Barat, telah menjadi denyut nadi budaya Gaza sejak membuka cabang 13 tahun lalu. Mereka mengajarkan musik klasik hingga genre populer, membangun panggung bagi anak-anak Gaza untuk tampil, baik dalam konser tradisi Arab maupun Barat.

Dulu, para siswa terbaik kadang diberi izin Israel untuk bergabung dengan Palestine Youth Orchestra dan tampil di luar negeri. Kini, panggung itu hancur, bersama gedung yang runtuh rata tanah.

Sebagian siswa telah gugur. Lubna Alyaan, pemain biola 14 tahun, tewas bersama keluarganya di awal perang. Sebuah video yang beredar Januari lalu menunjukkan sekolah yang tinggal puing, dinding runtuh, ruang kelas berserakan, dan grand piano menghilang entah kemana.

Namun, kehidupan musik tak padam. Di bawah gemerisik plastik tenda, selusin anak berlatih dengan alat musik yang selamat dari perang, atau hasil buatan tangan dari kaleng bekas dan wadah kosong. “Tak ada daun ara yang akan layu di dalam diri kita,” nyanyi seorang bocah, mengutip syair ratapan tentang kehilangan Palestina sejak 1948.

Di luar tenda, tiga siswi memetik gitar melantunkan tembang Greensleeves. Sekelompok anak laki-laki lain memukul drum tangan Timur Tengah, mengisi udara dengan ritme yang tak kalah gagah dari deru perang.

Fouad Khader, koordinator kelas, menceritakan bagaimana para guru membeli alat musik dari pengungsi lain, atau merakitnya sendiri. Ahmed Abu Amsha—guru gitar dan biola—bahkan menghidupkan kembali kelas musik di antara tenda-tenda pengungsian di selatan Gaza, sebelum akhirnya kembali ke kota yang luluh lantak setelah gencatan senjata Januari lalu.

Kini, bersama rekan-rekannya, ia mengajar oud, gitar, drum, hingga ney (seruling buluh) di tenda dan bangunan berlubang di Gaza College. Mereka juga mengunjungi taman kanak-kanak, menyebarkan harmoni kepada anak-anak yang baru belajar berbicara.

Menurut pihak konservatori, pada Juni lalu, 12 musisi dan tiga tutor vokal masih mampu mengajar hampir 600 siswa di seluruh Gaza—dari utara yang terkoyak, hingga selatan yang sesak pengungsi.

Anak-anak Gaza menolak tunduk pada dentuman bom. Di tengah kabut mesiu dan trauma, mereka memilih memainkan nada, bukan kebisuan. Mungkin suatu hari, di panggung dunia, mereka akan menyanyikan kebenaran—tentang tanah air yang hancur, tentang masa kecil yang dirampas, dan tentang harapan yang tak pernah mati.

Kelak bisa jadi tercipta tembang-tembang yang bercerita tentang kebiadaban zionis Israel sebagai bukti sejarah dalam lantunan lagu.(*)

BACA JUGA: Dokter Indonesia di Gaza Memberikan Kesaksian Pembataian Wartawan Al Jazeera oleh Israel

Back to top button