CrispyVeritas

P3M UNAS: Politik Luar Negeri Indonesia Tidak Berpihak Pada Rakyat

Menurut Robi, setiap pemerintahan memang dituntut memenangkan kepentingan nasional di pentas internasional. Namun kepentingan nasional Indonesia, sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945, tidak semata-mata soal posisi geopolitik, melainkan perlindungan segenap bangsa, kesejahteraan umum, kecerdasan bangsa, serta kontribusi pada ketertiban dunia. “Politik luar negeri seharusnya menjadi instrumen untuk mencapai tujuan-tujuan itu, bukan justru berpotensi menggerusnya,” katanya.

JERNIH– Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Masyarakat (P3M) Universitas Nasional (UNAS), Robi Nurhadi, menilai arah politik luar negeri Indonesia sepanjang 2025 masih belum sepenuhnya berpihak pada kepentingan rakyat. Dalam catatan akhir tahunnya bertajuk “Politik Luar Negeri Indonesia 2025”, Robi menyoroti kecenderungan bandul diplomasi Indonesia yang dinilai makin condong ke satu blok kekuatan global, terutama Tiongkok, dengan berbagai implikasi strategis yang perlu diwaspadai.

Menurut Robi, setiap pemerintahan memang dituntut memenangkan kepentingan nasional di pentas internasional. Namun kepentingan nasional Indonesia, sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945, tidak semata-mata soal posisi geopolitik, melainkan perlindungan segenap bangsa, kesejahteraan umum, kecerdasan bangsa, serta kontribusi pada ketertiban dunia. “Politik luar negeri seharusnya menjadi instrumen untuk mencapai tujuan-tujuan itu, bukan justru berpotensi menggerusnya,” katanya.

Dalam catatan tersebut, Robi menyinggung intensitas hubungan Presiden Prabowo Subianto dengan Tiongkok sepanjang 2025. Ia mencatat, Presiden Prabowo dua kali melakukan pertemuan khusus dengan Presiden Tiongkok Xi Jinping pada September dan November 2025, di luar rangkaian pertemuan dengan Perdana Menteri Li Qiang dan Ketua Kongres Rakyat Nasional Zhao Leji di Beijing. Menurut Robi, kecenderungan ini menunjukkan keberlanjutan arah politik luar negeri yang sebelumnya juga ditempuh pada era Presiden Joko Widodo.

“Pertanyaannya bukan sekadar siapa yang ditemui atau berapa kali pertemuan dilakukan, tetapi apakah orientasi ini benar-benar melindungi segenap bangsa dan memajukan kesejahteraan umum,” kata dosen Hubungan Internasional FISIP UNAS itu. Ia mengingatkan bahwa kedekatan berlebihan dengan satu kekuatan global berisiko menempatkan Indonesia dalam posisi tawar yang lemah.

Robi mencontohkan kasus Bandara IMIP di kawasan industri Morowali yang mencuat menjelang akhir 2025 sebagai alarm serius. Kasus tersebut, menurutnya, memperlihatkan potensi persoalan kedaulatan ketika kerja sama ekonomi tidak diimbangi dengan pengawasan negara yang kuat. “Ketika satu negara diperlakukan sebagai ‘mitra karpet merah’, selalu ada ekses yang harus dihitung dengan cermat,” ujarnya.

Masuknya Indonesia ke dalam kelompok BRICS juga tidak luput dari sorotan. Robi menilai, dengan dinamika internal BRICS saat ini, sulit mengabaikan fakta bahwa Tiongkok menjadi pemain kunci yang sangat menentukan arah kelompok tersebut. “Dalam situasi tertentu, Indonesia berisiko terjebak sebagai negara semi-periferi, bahkan menjadi the sitting duck jika keseimbangan geopolitik tidak dikelola dengan hati-hati,” katanya.

Meski demikian, Robi mengakui adanya capaian positif dalam politik luar negeri Indonesia sepanjang 2025, khususnya terkait peran Indonesia dalam isu Palestina. Ia menyebut pidato Presiden Prabowo pada Sidang Umum PBB ke-79, 22 September 2025, yang menegaskan dukungan pada solusi dua negara, sebagai langkah penting dalam kontribusi Indonesia terhadap ketertiban dunia. Namun Robi menilai, langkah diplomatik lanjutan dalam isu Israel-Palestina masih perlu sensitivitas lebih tinggi terhadap perasaan umat Islam di dalam negeri.

Ujian lain bagi diplomasi Indonesia, menurut Robi, terjadi saat pemerintah merespons tawaran bantuan asing pascabencana besar di Sumatra. Ia menilai, penafsiran “harga diri” yang digunakan pemerintah kala itu cenderung elitis dan kurang mencerminkan nilai kemanusiaan universal. “Harga diri bangsa justru terletak pada keberanian menyelamatkan warganya, bukan pada gengsi politik semata,” katanya.

Robi juga memberikan catatan kritis terhadap pengelolaan diplomasi di tingkat kementerian. Ia menyebut, politik luar negeri ibarat senjata yang harus dipegang oleh tangan yang piawai. Dalam konteks ini, ia mendorong evaluasi terhadap efektivitas kepemimpinan Kementerian Luar Negeri. “Jika pada era sebelumnya menteri luar negeri terlihat sangat dominan karena lemahnya kepemimpinan presiden, kini justru muncul kesan sebaliknya: menteri luar negeri tampak terlalu subordinatif,” ujarnya.

Secara keseluruhan, Robi menilai kehadiran Indonesia di panggung global sepanjang 2025 tetap merupakan modal penting. Namun ia mengingatkan agar capaian tersebut tidak berujung pada subordinasi kepentingan nasional terhadap kepentingan blok negara tertentu. “Dalam hubungan internasional, tidak ada makan siang gratis. Indonesia harus berani menentukan posisi yang benar-benar pro rakyat, bukan pro asing atau oligarki yang berkelindan dengan kepentingan asing,” kata Robi.

Catatan akhir tahun ini, menurut Robi, diharapkan dapat menjadi bahan refleksi bagi pemerintah untuk menata ulang arah politik luar negeri ke depan, agar lebih seimbang, berdaulat, dan selaras dengan kepentingan rakyat Indonesia. [ ]

Check Also
Close
Back to top button