Pengadilan di Paris mengadili 13 orang, berusia 18 hingga 30 tahun yang didakwa melecehkan Mila “Si Peleceh Islam”, dengan beberapa di antaranya mengirimkan ancaman pembunuhan kepadanya. Salah satu dari mereka mengatakan kepada gadis itu bahwa lehernya ‘pantas digorok’.
JERNIH—Alih-alih menghukum penyebab awal, pengadilan Prancis justru menjatuhkan hukuman penjara percobaan antara empat hingga enam bulan kepada 11 orang. Ke-11 orang itu pada Rabu (7/7) lalu yang dinyatakan bersalah melecehkan seorang remaja secara online atas video anti-Islamnya di media sosial.
Jaksa mengadili 13 orang, setelah seorang remaja, yang hanya dikenal sebagai Mila, dipaksa pindah sekolah dan menerima perlindungan polisi karena ancaman terhadap nyawanya. Mila, sekarang berusia 18 tahun, memicu kemarahan dengan komentar provokatifnya tentang Islam, yang dibuat pada saat usia 16 tahun. Kenyinyiranya itu menyebabkan dirinya terkepung ancaman pembunuhan, sementara Presiden Prancis, Emmanuel Macron, membela dirinya.
Gadis Mila itu baru-baru ini menulis sebuah buku yang disebutnya sebagai pembelaan atas kebebasan berbicara. Dia juga muncul dan memposting video online yang mengatakan: “Al-Qur’an tidak berisi apa-apa selain kebencian, Islam adalah agama yang s****y.”
Pengadilan di Paris mengadili 13 orang dari beberapa wilayah Prancis, berusia 18 hingga 30 tahun yang didakwa melecehkan Mila, dengan beberapa di antaranya mengirimkan ancaman pembunuhan kepadanya. Salah satu dari mereka mengatakan kepadanya bahwa gadis itu pantas ‘digorok lehernya.’
Dalam putusannya pada hari Rabu, salah satu terdakwa dibebaskan karena kurangnya bukti, sementara yang lain dibebaskan karena masalah prosedural.
Sisanya 11 orang dijatuhi hukuman percobaan, yang berarti mereka tidak akan menjalani hukuman penjara kecuali mereka dihukum karena pelanggaran lain.
Mila, yang sejak itu menolak untuk mundur atas pernyataannya, mengatakan dia telah menerima lebih dari 100.000 pesan kebencian dan buku barunya, berjudul “I Am the Price of Your Freedom”, melanjutkan pesan provokatifnya.
Dia menulis: “Jika saya diserang maka saya akan membela diri. Kita tidak lagi memiliki hak untuk mengejek, mengkritik atau menghina agama, bahkan ketika mereka tidak toleran, seksis atau homofobia.”
Kehebohan meletus pada Januari 2020, ketika Mila, yang saat itu berusia 16 tahun, yang menggambarkan dirinya sebagai panseksual, yang berarti dia tertarik pada orang-orang dari semua jenis kelamin, ditanya apakah dia lebih menyukai orang kulit putih, Arab, atau kulit hitam.
“Saya hanya menjawab bahwa orang Arab dan kulit hitam bukan tipe saya dan mereka tidak menarik saya secara fisik,” katanya. Seorang anak laki-laki yang telah menunjukkan minat padanya kemudian menghinanya ‘atas nama Allah’.
Setelah menerima ancaman, dia melontarkan omelan anti-Islam, menyatakan: ‘Islam itu s*** (…) Agamamu s***. Aku memasukkan jariku ke dalam pantat Tuhanmu. Terima kasih dan sampai jumpa.”
Ledakannya memicu banjir hinaan, dengan satu orang menulis: ‘Kamu pantas digorok.’
Gadis itu mengatakan, dia kemudian terpaksa meninggalkan sekolah dan tidak ada perusahaan lain yang menginginkannya karena alasan keamanan, dengan mengatakan hidupnya menjadi ‘neraka’.
Agar tidak diperhatikan selama bepergian ke luar rumah, dia mengenakan penyamaran yang membuatnya merasa seperti ‘Inspektur Gadget’, katanya dalam sebuah wawancara televisi Prancis baru-baru ini. “Bahkan ketika saya pergi ke luar, saya di penjara,” katanya, menyatakan dia hanya ‘ingin hidup bebas’.
Kisahnya menjadi inti perdebatan tentang kebebasan berekspresi yang telah berkecamuk di Prancis sekuler sejak 2015 ketika orang-orang menyerang majalah satir Charlie Hebdo karena menerbitkan kartun Nabi Muhammad.
Kontroversi semakin intensif ketika guru Samuel Paty–yang telah menunjukkan karikatur di kelas kewarganegaraannya–dipenggal oleh seorang remaja tanggung di luar sekolahnya di Paris pada Oktober 2020.
Mila telah dipuja oleh beberapa orang sebagai pahlawan perjuangan kebebasan berekspresi di Prancis, meskipun para kritikus menuduhnya memprovokasi Muslim yang taat dengan sia-sia.
Dalam perjalanan studi bahasa ke Malta musim panas lalu, dia diancam akan dibunuh dan diperkosa oleh sesama siswa yang mengenalinya. Dia ditangkap dan dihukum di pulau itu.
Tetapi pada bulan November Mila menerbitkan video baru, menegaskan kembali omelan sebelumnya.
Ke-13 orang yang diadili di Paris karena menjadikan dia pelecehan online, termasuk ancaman pembunuhan, semuanya berusia antara 18-30 tahun. Sebagian besar belum pernah berurusan dengan hukum sebelumnya.
“Dia menerima lebih dari 100.000 pesan kebencian dan ancaman pembunuhan yang mengatakan dia akan diikat, dipotong, dipotong empat, dirajam, dipenggal, disertai dengan gambar peti mati, dan foto-montase kepalanya yang dipenggal dan berlumuran darah,”kata pengacaranya, Richard Malka, yang juga mewakili Charlie Hebdo, di pengadilan.
Ketika kontroversi meletus, tagar #JeSuisMila (Saya Mila) menjadi viral dalam solidaritas dengannya, menggemakan slogan #JeSuisCharlie di mana jutaan orang berunjuk rasa setelah serangan tahun 2015 terhadap kartunis Charlie Hebdo.
Presiden Emmanuel Macron termasuk di antara mereka yang membela Mila, dengan mengatakan: “Hukumnya jelas. Kami berhak menghujat, mengkritik dan membuat karikatur agama.”
Namun, tidak semua menggemakan sentimen seperti itu, terutama di kalangan kiri. Ditanya televisi Prancis ‘Are You Mila?’ Mantan presiden sosialis Francois Hollande menjawab dengan penuh keyakinan,”Tidak, saya Francois Hollande.”
Dia menambahkan: “Kita memiliki hak untuk mengkritik agama. Mila punya hak untuk mengkritik agama. Tapi, seperti orang lain, dia tidak boleh terlibat dalam ujaran kebencian tentang mereka yang menjalankan agama mereka.”
Mila mengatakan dia menemukan Prancis sekarang sebagai ‘bangsa yang rapuh dan pengecut’ yang mengklaim bahwa ‘mayoritas diam’ yang mendukungnya ‘tidak melakukan apa-apa’. “Bahkan jika saya memiliki pisau yang ditempatkan di bawah leher saya, saya tidak akan berhenti berbicara,” katanya kepada saluran TF1. ‘Tapi saya masih seorang wanita muda yang tidak tahu apa yang harus dipikirkan tentang masa depannya.”
Pembelaan Prancis terhadap nilai-nilai sekulernya dan tindakan keras terhadap ekstremisme agama telah memicu protes sengit oleh banyak Muslim di seluruh dunia, yang menuduh negara itu mendorong penghinaan terhadap keyakinan mereka.
Tetapi pengacara ke-13 orang yang diadili tersebut menyesalkan ketidakadilandengan adanya ribuan orang yang mengambil keuntungan dari anonimitas yang ditawarkan oleh platform media sosial.
“Klien saya benar-benar kewalahan dengan urusan ini,” kata Gerard Chemla, pengacara salah satu terdakwa. “Dia memiliki reaksi instan yang cukup bodoh, jenis yang terjadi setiap hari di Twitter.”
Kliennya menghadapi ancaman dua tahun penjara dan denda 30.000 euro (36.600 dolar AS) untuk pelecehan online yang dilakukannya. Ancaman pembunuhan via online dituntut hukuman maksimum tiga tahun penjara . Dua orang yang sebelumnya dihukum karena ancaman pembunuhan terhadap Mila, telah menerima hukuman penjara. [Al-Bawaba]