Crispy

Perang Afghanistan: Kebohongan Bernilai Satu Triliun Dolar

Washington — Pekan ini, The Washington Post — salah satu surat kabar terkemuka di AS — mempublikasikan laporan berjudul Makalah Afghanistan. Laporan memicu kemarahan publik, karena berisi kebohongan bernilai satu triliun dolar AS.

Perang Afghanistan dimulai 1999, Tragedi 11 September yang menghancurkan menara kembar World Trade Center. Presiden AS George W Bush menanda-tangani joint resolution penggunaan militer terhadap pihak yang bertanggung jawab atas insiden 9/11, yaitu Al Qaeda dan pemerintahan Talibah Afghanistan.

Inggris, Prancis, Jerman, Australia, dan Kanada, mendukung dengan mengirim pasukan dan peralatan tempur. Pekan-pekan berikut selama hampir 20 tahun Perang Afghanistan adalah kabar menggembirakan tentang musuh-musuh terbunuh, tapi Taliban tidak pernah benar-benar musnah.

Februari 2019 lalu, AS dan Taliban duduk bersama, saling berhadapan, dan membicarakan perdamaian. Taliban masih ada, menguat lagi, dan AS tidak punya alasan menggelar carpet bombing untuk memusnahkannya.

Yang terjadi justru sebaliknya. Taliban punya potensi meledakan bom di sekujur Kabul, memicu ketakutan serdadu AS yang ditempatkan di negara itu. Di AS, publik tak tahan lagi melihat keluarga menangisi kehilangan anak-anak mereka.

Ben Armbruster, managing editor ResponsibleStatecraft.org, menulis sejak 2011 publik AS melihat ada yang tak beres dengan Perang Afghanistan. Pew Research Center, yang menyurvei pandangan publik AS pada akhir 2011, membuktikan betapa opini warga terhadap Perang Afghanistan bergeser. Dua tahun kemudian orang mulai melihat tulisan di tembok-tembok kota.

Situasi itu memicu The Washington Post menginvestigasi bagaimana pejabat-pejabat AS menyesatkan publik tentang semua kemajuan perang. Namun, laporan itu hanya memicu sedikit kemarahan.

Kemarahan dipicu dua hal; kebodohan para pemimpin yang terus berperang tanpa pernah tahu bagaimana perang dimenangkan, serta keengganan bertanggung jawab atas kebijakan yang gagal dan memicu banyak kematian anggota keluarga AS yang mengabdikan diri untuk negara.

Di sisi lain, warga sipil Afghanistan terperangkap dalam siklus perang tanpa akhir yang tidak ada hubungan dengan mereka. Seperti orang Vietnam, penduduk Afghanistan mungkin tidak pernah menyebut perang di negara mereka dengan nama Perang Afghanistan, tapi Perang AS di Afghanistan.

Afghanistan, dengan pemerintahan Taliban di dalamnya, tidak pernah memicu perang dengan AS. Justru AS yang datang memerangi mereka, setelah menempelkan stigma teroris.

Makalah Afghanistan nyaris sama dengan pengungkapan New York Times terhadap Perang Vietnam, hampir setengah abad lalu. Koran itu juga menuliskan cerita berdasarkan dokumen pemerintah yang mengurai seberapa banyak pejabat AS membohongi publiknya.

Perang Vietnam sedemikian mahal. Perang yang tidak perlu, berdampak luar biasa bagi kehidupan publik AS, dan tanpa solusi militer.

Berbeda dengan Perang Vietnam, Perang Afghanistan tidak memiliki dampak langsung bagi kehidupan sehari-hari publik AS. Jadi, bukan tidak mungkin laporan ini melayang begitu saja di belantara berita, seperti lusinan kisah di era Trump.

Namun, ada pertanyaan tak terjawab dari Makalah Afghanistan. Yaitu, mengapa begitu banyak orang, dan kontraktor perang pemerintah dan perwira tinggi, merasa perlu berbohong tentang bagaimana Perang Afghanistan berlangsung?

Mungkin sudah menjadi tradisi di Washington betapa mengakui kegagalan dan bertanggung jawab adalah dua hal yang tidak boleh dilakukan. Setiap orang boleh saja berbohong, dan bertindak kejam terhadap orang lain, tapi masih akan mendapat pekerjaan di departemen negara.

Budaya Washington yang tidak pernah salah memainkan peran dalam Perang Afghanistan. Mereka tidak pernah salah telah mengeluarkan satu triliun dolar, mungkin lebih, untuk perang yang tidak dimenangkan.

Back to top button