Perdana Menteri Bangladesh, Sheikh Hasina, Abaikan Protes Atas Kematian Seorang Penulis di Penjara
Namun duta besar dari 13 negara, termasuk Amerika Serikat, Prancis, Inggris, Kanada, dan Jerman, telah menyatakan “keprihatinan besar” atas kasus tersebut. “Kami menyerukan kepada pemerintah Bangladesh untuk melakukan penyelidikan yang cepat, transparans dan independen atas keadaan lengkap kematian Mushtaq Ahmed,” kata para duta tersebut dalam sebuah pernyataan bersama yang dirilis Jumat malam.
JERNIH– Perdana Menteri Bangladesh, Sheikh Hasina, mengabaikan kritik yang muncul di hari kedua protes ratusan atas kematian seorang penulis terkemuka di penjara.
Demonstran berbaris di Universitas Dhaka, meneriakkan slogan-slogan yang mengutuk perlakuan buruk pemerintah terhadap Mushtaq Ahmed serta penulis, jurnalis, dan aktivis lainnya.
Protes lain digelar di National Press Club, sementara puluhan orang membawa peti mati simbolis di sekitar Universitas Dhaka menuntut pembatalan Undang-Undang Keamanan Digital (DSA), alat yang dipakai untuk menangkap Ahmed Mei lalu.
DSA telah digunakan untuk memberangus perbedaan pendapat sejak diberlakukan pada tahun 2018.
Protes itu menyusul bentrokan antara polisi dan pasukan keamanan di ibu kota pada Jumat malam. Polisi mengatakan enam orang ditangkap, sementara para aktivis mengatakan sedikitnya 30 orang terluka. Lebih banyak protes terhadap kematian dan penangkapan itu direncanakan digelar hari Minggu (28/2) ini.
Berbicara pada konferensi pers, Sabtu (27/2), yang jarang terjadi untuk menandai rekomendasi PBB agar Bangladesh diklasifikasikan ulang sebagai ekonomi ‘berkembang’, Perdana Menteri Hasina–yang telah menjabat selama 12 tahun– mengesampingkan kekhawatiran internasional atas hukum dan kematian Ahmed.
“Apa yang bisa kami lakukan jika seseorang meninggal setelah jatuh sakit di penjara,” kata PM. “Tidak ada kematian yang diinginkan. Juga tidak diinginkan bahwa kerusuhan akan tercipta.”
“Apakah hukum telah disalahgunakan atau tidak tergantung pada sudut pandang Anda. Saya pikir hukum mengambil jalannya sendiri dan akan melakukannya. Jika seseorang tidak melakukan kejahatan, dia tidak akan dihukum,” kata Hasina, enteng.
Ahmed pingsan dan meninggal di Penjara Berkeamanan Tinggi Kashimpur, Kamis malam lalu.
Pria 53 tahun, seorang petani buaya dan penulis yang terkenal dengan gaya satirnya itu, didakwa menyebarkan rumor dan melakukan “kegiatan anti-negara” setelah mengkritik penanganan pemerintah terhadap pandemi virus corona di Facebook.
Para pengunjuk rasa mengatakan kematiannya adalah “pembunuhan kustodian” setelah dia ditolak untuk membayar jaminan enam kali dalam 10 bulan terakhir.
Pihak berwenang mengatakan mereka telah memerintahkan komite untuk menyelidiki apakah ada kelalaian oleh petugas penjara dalam kematian itu.
Namun duta besar dari 13 negara, termasuk Amerika Serikat, Prancis, Inggris, Kanada, dan Jerman, telah menyatakan “keprihatinan besar” atas kasus tersebut. “Kami menyerukan kepada pemerintah Bangladesh untuk melakukan penyelidikan yang cepat, transparans dan independen atas keadaan lengkap kematian Mushtaq Ahmed,” kata para duta tersebut dalam sebuah pernyataan bersama yang dirilis Jumat malam.
Mereka mengatakan negara mereka akan mengejar “kekhawatiran yang lebih luas tentang ketentuan dan implementasi DSA, serta pertanyaan tentang kompatibilitasnya dengan kewajiban Bangladesh di bawah hukum dan standar hak asasi manusia internasional”.
Kelompok hak asasi juga telah menyuarakan keprihatinan tentang kasus dan penahanan Kabir Kishore, seorang kartunis yang ditangkap pada saat yang sama dengan Ahmed.
PEN America mengatakan, pihak berwenang Bangladesh harus membatalkan dakwaan terhadap Kishore, sementara Komite Perlindungan Jurnalis (Committee for Protect Journalist) yang berbasis di AS mengatakan, saudara Kishore telah memberikan catatan bahwa Kishore telah mengalami penyiksaan fisik yang parah dalam tahanan. [South China Morning Post]