Crispy

Prajogo Pangestu Orang Terkaya di Asia Tenggara

Forbes kembali merilis deretan orang terkaya sejagad. Di Asia Tenggara orang terkaya tersebut adalah Prajogo Pangestu.

JERNIH – Di antara gedung-gedung tinggi Jakarta, nama Prajogo Pangestu bergema seperti legenda yang lahir dari disiplin dan intuisi bisnis. Bukan tokoh muda, bukan pula sosok yang lahir dari privilese. Namun, dalam usianya yang telah melampaui delapan dekade, ia justru menempati singgasana baru: orang terkaya se-Asia Tenggara versi Forbes (Oktober 2025), dengan kekayaan menembus 41,5 miliar dolar (sekitar Rp 688 triliun).

Pencapaian itu bukan kebetulan. Ia dibangun dari cerita panjang—sebuah perjalanan yang bermula di Bengkayang, Kalimantan Barat, saat Prajogo muda bekerja di perusahaan kayu milik pengusaha Liem Sioe Liong. Dari sanalah ia belajar arti kerja keras, intuisi pasar, dan pentingnya membangun jaringan. Semua itu kelak menjadi fondasi berdirinya Barito Pacific Group, konglomerasi yang kini menjadi jantung dari industri petrokimia, energi, hingga tambang di Indonesia.

Dari Petrokimia ke Panas Bumi

Perjalanan Prajogo bukan sekadar kisah sukses bisnis, tetapi juga transformasi visi. Ia memulai dari sektor petrokimia dengan Chandra Asri Petrochemical, perusahaan yang menjadi simbol industri kimia nasional. Namun, ketika dunia beralih ke energi bersih, Prajogo tidak menolak perubahan. Ia justru menjemputnya dengan berani.

Lewat Barito Renewables Energy (BREN) dan Star Energy, ia menancapkan tonggak baru: energi panas bumi sebagai masa depan Indonesia. Banyak yang meragukan langkah itu pada awalnya—panas bumi dianggap sektor berat, mahal, dan tidak seksi bagi investor. Tetapi ketika Forbes menyoroti “windfall” Prajogo dari investasi di energi terbarukan, dunia mulai menyadari sesuatu: pria ini tidak mengikuti tren, ia menciptakan tren.

Kini, saham BREN menjadi incaran investor hijau dan menjadi simbol pergeseran arah ekonomi menuju energi bersih. Dalam pasar modal yang cepat berubah, langkah Prajogo terasa seperti angin panas bumi itu sendiri—tenang di permukaan, tapi penuh kekuatan di bawah tanah.

Nama Prajogo tidak hanya mengisi daftar Forbes; ia juga menjadi penggerak di lantai bursa.

Saham-saham dari kerajaan bisnisnya seperti CUAN (Petrindo Jaya Kreasi), CDIA (Chandra Daya Investasi), dan PTRO (Petrosea) menciptakan gelombang besar di pasar modal. BREN sempat melonjak tinggi setelah IPO, menarik arus modal asing yang besar. CUAN—emiten tambang batu bara di bawah naungannya—naik berkali lipat, hingga ia sendiri melepas sebagian sahamnya dan meraup dana Rp 1,45 triliun. Sementara itu, CDIA, perusahaan investasi barunya, melakukan IPO dengan valuasi fantastis dan langsung menjadi saham favorit investor asing.

Bahkan pada satu sesi perdagangan di Oktober 2025, investor asing mencatat net buy hingga Rp 2,11 triliun, sebagian besar mengalir ke saham-saham milik Prajogo. Pasar menyebut fenomena ini sebagai Efek Barito—sebuah sinyal bahwa konglomerasi ini bukan hanya stabil, tetapi juga menarik arus kepercayaan global.

Namun, di balik grafik saham yang menanjak, Prajogo tidak pernah menjual mimpi kosong. Ia memadukan energi fosil dan energi hijau dalam satu filosofi sederhana: transisi bukan berarti meninggalkan, tapi menyeimbangkan.

Ketika banyak pengusaha terburu-buru mengibarkan bendera “energi hijau”, Prajogo memahami bahwa batu bara masih menopang industri dan ekonomi nasional. Maka, ia tidak menutup tambang—ia mengelolanya dengan efisien melalui Petrindo Jaya Kreasi. Sementara itu, Barito Renewables menjadi transisi tanpa mengguncang fondasi ekonomi.(*)

BACA JUGA: FORBES: Elon Musk Jadi Orang Pertama di Dunia yang Punya Kekayaan 500 Miliar Dolar AS

Back to top button