Presiden Erdogan : Muslim Eropa Hadapi Diskriminasi Sistematis
Menurut Erdogan, perlu dilakukan perang melawan sentimen anti-Muslim yang berkembang hari ini, sama seperti perang yang dilancarkan melawan sikap anti-Semitisme setelah Holocaust
JERNIH— Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan membuka fakta yang selama ini ditutup-tutupi berkaitan dengan warga Muslim Eropa yang tinggal di berbagai negara. Menurut Erdogan, hingga hari ini Muslim di berbagai negara Eropa menghadapi diskriminasi yang sistematis di negara masing-masing.
Pernyataan tersebut disampaikan Erdogan menyambut Konferensi Internasional “Genocide: We Said Never Again” yang dilakukan pada 1 November 2020 secara daring senyampang pandemi Covid-19. KTT internasional tersebut digelar Sycamore Foundation for Global Leadership, bekerja sama dengan Srebrenica Memorial Center di Potocari, menandai 25 tahun “Kesepakatan Dayton” yang mengakhiri Perang Bosnia di akhir abad 20 lalu.
“Muslim Eropa menghadapi diskriminasi sistematis. Hak serta kebebasan mereka banyak dirampas. Ini adalah waktu yang tepat untuk mengatakan “Stop!” pada keadaan ini dan tindakan lain yang mengancam masa depan umat manusia serta etos hidup berdampingan antara agama dan budaya yang berbeda,” kata Erdogan. Erdogan menambahkan, perlu dilakukan perang melawan sentimen anti-Muslim yang berkembang hari ini, sama seperti perang yang dilancarkan melawan sikap anti-Semitisme setelah Holocaust.
“Saya berharap KTT yang bermakna dan tepat waktu ini, yang diselenggarakan pada kesempatan ulang tahun ke-25 Genosida Srebrenica dan awal pembicaraan untuk Perjanjian Perdamaian Dayton, akan menjadi sarana untuk kebangkitan seluruh dunia –terutama negara-negara Eropa,” kata Presiden Turki yang sangat peduli dengan dunia Muslim tersebut.
KTT sendiri mengumpulkan berbagai kepala lembaga dan pemerintah, menteri, dan para pemikir terkemuka dunia untuk berpartisipasi dalam forum online tingkat tinggi tersebut. Selain akan mengeksplorasi akar penyebab genosida, dan merinci langkah-langkah praktis untuk memastikan hal itu tidak akan pernah terjadi lagi, KTT tersebut juga berambisi meletakkan dasar untuk “Kesepakatan Dayton Baru” yang akan menjadi mandat terbentuknya sebuah LSM Internasional baru pada tahun mendatang. LSM tersebut bekerja untuk mengambil segala langkah yang diperlukan guna untuk mencegah terjadinya genosida di masa depan.
“KTT tingkat tinggi daring yang mencerminkan genosida Srebrenica (1995), genosida Rwanda (1994), dan Holocaust (1941-45) ini menyatukan para pemimpin dunia dalam langkah pertama menuju deklarasi global baru,” tulis panitia dalam pernyataan pers yang diterima Jernih.co, semalam.
Dalam KTT itu sendiri, selain Erdogan, akan berbicara pula mantan Staf Kepresidenan Bosnia dan Herzegovina, Bakir Izetbegovic; Perdana Menteri Malaysia, Tan Sri Muhyiddin Yassin; penulis, aktivis dan putri Malcolm X, Ilyasah Shabazz; Mandla Mandela,ketua Dewan Adat Mvezo dan cucu Nelson Mandela; mantan kepala staf Rt Hon Tony Blair, Jonathan Powell, dan sebagainya.
Bakir Izetbegovic, mantan anggota Staf Kepresidenan Bosnia dan Herzegovina, putra presiden pertama dan satu-satunya Republik Bosnia dan Herzegovina, Alija Izetbegovic, merefleksikan kemajuan yang telah dibuat dunia. “Dua puluh lima tahun yang lalu, ayah saya, Alija menandatangani Kesepakatan Dayton. Meskipun itu adalah pencapaian bersejarah yang mengakhiri perang di Bosnia dan kengerian genosida Srebrenica, sayangnya kita melihat hal-hal serupa terjadi berulang kali di bagian lain dunia sejak saat itu,” kata Bakir. Untuk itu ia menegaskan agar warga dunia fokus pada langkah-langkah pencegahan untuk mengatasi perpecahan dan secara aktif memerangi penyebaran kebencian dan intoleransi.
“Waktunya sangat tepat bagi generasi baru untuk mengatakan dengan lantang dan jelas, bahwa genosida, “Jangan pernah ada lagi!”
KTT ini digelar tepat pada saat Ratko Mladic—penjagal berhati dingin ‘pembantaian Srebrenica–tengah mengajukan banding di Den Haag untuk menentang hukumannya atas genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan.
“Pelajaran dari genosida kemarin tidak bisa menjadi pencegah yang efektif jika kita buta terhadap diskriminasi hari ini,”kata Ilyasah Shabazz. “Jika bahasa kita dipenuhi dengan kebencian dan intoleransi; jika tindakan kita berusaha untuk memenuhi keinginan berkelebihan dalam hidup dengan mengorbankan tetangga kita; dan jika tujuan kita adalah untuk mencari kebebasan individu sebelum pembebasan kolektif kita semua, maka kita bisa yakin bahwa janji kita semua agar genosida “tidak pernah ada lagi” pada akhirnya akan gagal.”
Sementara cucu Nelson Mandela, Mandla Mandela, menegaskan sikapnya bahwa KTT itu adalah tempat semua warga dunia berkumpul bersama untuk merenungkan dan belajar dari pelajaran genosida. “Serangan terhadap martabat manusia ini merupakan kerusakan serius bagi kesadaran kolektif kita,” kata Mandela. [ ]