Desember lalu, DJI bersama dengan perusahaan kecerdasan buatan (AI) SenseTime dan Megvii, ditambahkan ke daftar hitam oleh Departemen Keuangan AS karena dugaan keterlibatan dalam pengawasan minoritas Muslim Uighur di Xinjiang. Setelah Rusia menginvasi Ukraina bulan lalu, banyak perusahaan Cina juga terjebak di tengah perpecahan antara Cina dan Barat, dengan Beijing menentang sanksi Barat terhadap Moskow.
JERNIH—Perusahaan pembuat drone Cina, DJI, membantah tuduhan bahwa drone yang mereka produksi digunakan tentara Rusia sebagai bagian dari invasi militer di Ukraina. DJI melakukan bantahan tersebut setelah raksasa ritel Jerman yang merupakan peritel terbesar Eropa, MediaKart, menurunkan barang-barang produksi DJI dari rak.
“Kami menyadari bahwa pada 24 dan 25 Maret, akun media sosial mitra bisnis kami menjadi sasaran kampanye terkoordinasi yang membuat tuduhan palsu terhadap DJI melalui ribuan pesan spam yang berisi konten yang sama,” kata perusahaan yang berbasis di Shenzhen, Cina, itu, Senin (28/3) lalu.
“Tuduhan yang dibuat terhadap kami tidak didasarkan pada fakta dan sama sekali tidak benar,” kata perusahaan komunikasi yang mewakili DJI.
Tanggapan itu muncul setelah jaringan ritel multinasional Jerman, MediaMarkt, mengumumkan pada Jumat (25/3) lalu bahwa mereka telah menghapus barang dagangan DJI dari rak, seiring merebaknya tuduhan di Twitter bahwa militer Rusia menggunakan produk dan data dari perusahaan Cina untuk menyerang Ukraina.
Tuduhan bahwa drone DJI digunakan dalam perang Ukraina mulai muncul di internet awal bulan ini.
Pada 16 Maret, Wakil Perdana Menteri Ukraina, Mykhailo Fedorov, mengatakan dalam sebuah surat terbuka yang ditujukan kepada pendiri dan CEO DJI, Frank Wang, bahwa pasukan Rusia telah menggunakan produk perusahaan itu untuk menavigasi rudal di negaranya. Dia meminta perusahaan untuk berhenti berbisnis dengan Rusia.
DJI membantah tuduhan itu, menyebutnya “omong kosong” dalam sebuah wawancara dengan situs berita nasionalis Cina, Guancha pada hari Senin. “Drone sipil DJI tidak dapat mengarahkan rudal secara langsung, dan Rusia tidak perlu bergantung pada DJI untuk melacak lokasi operator drone,” kata perusahaan itu seperti dikutip Guancha.
MediaMarkt, pengecer elektronik konsumen terbesar di Eropa, dengan lebih dari 850 toko di 13 negara, mengatakan keputusannya untuk berhenti menjual produk DJI didasarkan pada berbagai sumber, tanpa menjelaskan lebih lanjut.
Penghapusan produk DJI mengirimkan “sinyal yang jelas untuk nilai-nilai yang memiliki prioritas tertinggi bagi kami dan yang kami lihat diserang dengan cara yang tidak dapat diterima oleh perang agresif Rusia melawan Ukraina”, kata perusahaan itu.
Dalam balasannya di Twitter, DJI menyebut tuduhan ini “sangat salah”. “Semua produk DJI dirancang untuk keperluan sipil dan tidak dapat memenuhi persyaratan spesifikasi militer,” kata perusahaan itu, Senin.
DJI mengatakan sedang berkomunikasi dengan MediaMarkt dan akan terus bekerja dengan mitra global mereka untuk mengembangkan teknologi drone sipil.
Didirikan pada tahun 2006 di kota Shenzhen, Cina selatan, DJI telah berkembang menjadi penjual drone komersial terbesar di dunia yang menganggap individu dan pemerintah sebagai pengguna. Namun, perusahaan itu semakin terhimpit oleh meningkatnya ketegangan antara AS dan Cina.
Desember lalu, DJI, bersama dengan perusahaan kecerdasan buatan (AI) SenseTime dan Megvii, ditambahkan ke daftar hitam oleh Departemen Keuangan AS karena dugaan keterlibatan dalam pengawasan minoritas Muslim Uighur di Xinjiang.
Setelah Rusia menginvasi Ukraina bulan lalu, banyak perusahaan Cina juga terjebak di tengah perpecahan antara Cina dan Barat, dengan Beijing menentang sanksi Barat terhadap Moskow.
Tidak seperti beberapa perusahaan Barat yang telah membuat pengumuman penting tentang keputusan mereka untuk berhenti atau menangguhkan operasi di pasar Rusia, perusahaan teknologi Cina dari vendor smartphone besar dan pembuat chip hingga platform ride-hailing Didi Global dan DJI terus beroperasi di negara tersebut. [Jiaxing Li/South China Morning Post]
Jiaxing Li adalah reporter teknologi yang berbasis di Hong-Kong. Dia sebelumnya meliput tren teknologi Cina dan kebijakan yang berkembang di KrASIA. Li lulus dari Universitas Hong Kong dengan gelar master dalam jurnalisme.