CrispyVeritas

Refleksi Akhir 2025, MMS Tegaskan Kedaulatan Sosial, Ekologis, dan Fiskal Sunda Raya

Refleksi MMS mencatat, sepanjang 2025 muncul banyak anomali dalam praktik bernegara. Dewan Pakar MMS, Jumhur Hidayat, menyoroti ketimpangan peran antara negara dan swasta. Ia mencontohkan BUMN yang masuk ke bisnis properti—wilayah yang selama ini digarap swasta—sementara sektor swasta justru menguasai tambang bernilai triliunan rupiah yang seharusnya berada dalam kontrol negara. “Saya juga melihat ada gap execution dalam pemerintahan Presiden Prabowo. Apa yang menjadi kehendak di tingkat pusat, di lapangan belum sepenuhnya berjalan ideal,” kata Jumhur.

JERNIH– Menutup tahun 2025, Majelis Musyawarah Sunda (MMS) menyampaikan refleksi akhir tahun sekaligus menetapkan resolusi strategis 2026 yang menyoroti arah kebangsaan, kebudayaan, serta tata kelola wilayah Sunda Raya.

Refleksi tersebut menegaskan kembali Manifesto MMS hasil Musyawarah Tahunan II pada 22 November 2025, sekaligus memperlihatkan pergeseran posisi MMS dari ruang diskursus kultural menuju agenda kebijakan dan kerja lintas komunitas.

Ketua Badan Pekerja MMS, Andri P. Kantaprawira mengatakan, ruang musyawarah kultural-politik yang dibangun MMS tidak boleh direduksi semata-mata sebagai alat legitimasi kekuasaan. Menurut dia, dalam situasi ruang digital yang kian bising, negara dan pemerintah justru dituntut lebih dewasa membaca suara publik.

“Tuntutan publik jangan dianggap ancaman legitimasi negara, sebagaimana dukungan publik juga tidak boleh serta-merta dijadikan pembenaran kinerja. Yang penting, kinerja teknokrasi pemerintah mampu dijelaskan ke publik secara baik, holistik, dan terintegrasi lintas sektor,” kata Andri, di Bandung, Selasa, 30 Desember 2025.

Refleksi MMS mencatat, sepanjang 2025 muncul banyak anomali dalam praktik bernegara. Dewan Pakar MMS, Jumhur Hidayat, menyoroti ketimpangan peran antara negara dan swasta. Ia mencontohkan BUMN yang masuk ke bisnis properti—wilayah yang selama ini digarap swasta—sementara sektor swasta justru menguasai tambang bernilai triliunan rupiah yang seharusnya berada dalam kontrol negara.

“Saya juga melihat ada gap execution dalam pemerintahan Presiden Prabowo. Apa yang menjadi kehendak di tingkat pusat, di lapangan belum sepenuhnya berjalan ideal,” kata Jumhur.

Sementara itu, Pinisepuh MMS, Burhanuddin Abdullah, menilai Indonesia masih kekurangan sumber daya manusia untuk mewujudkan visi-visi besar negara. Ia menyebut, kebutuhan ideal Indonesia adalah minimal 30 persen penduduk bergelar sarjana, sementara saat ini baru sekitar 7 persen. Di tingkat global, daya saing Indonesia juga masih tertinggal, tercermin dari posisi peringkat 72 indeks daya saing global dan rendahnya jumlah paten.

“Kondisi ini menjelaskan mengapa Presiden Prabowo mendorong pendirian sekolah dan institusi pendidikan di berbagai daerah untuk memperkuat kualitas SDM nasional,” kata Burhanuddin.

Refleksi MMS juga memberi perhatian khusus pada cara negara memandang solidaritas sipil, terutama dalam situasi krisis dan bencana. Andri menilai, dalam banyak pengalaman global, solidaritas warga justru menjadi aset demokrasi, bukan ancaman legitimasi negara.

“Negara yang percaya diri tidak takut dibantu rakyatnya sendiri. Dalam bencana besar, solidaritas sipil justru memperkuat legitimasi,” kata dia.

Menurut MMS, bencana seharusnya menjadi momentum membangun kembali kepercayaan sosial bahwa bangsa ini adalah satu komunitas dengan nasib yang saling terikat. Kedaulatan, kata Andri, tidak cukup dinyatakan lewat pidato, melainkan dibuktikan melalui kehadiran negara yang nyata di lapangan.

Ia menegaskan, kedaulatan hari ini harus dimaknai secara utuh: berdaulat secara ekonomi, berkeadilan secara sosial, dan berkelanjutan secara ekologis. Ketiganya menjadi fondasi persatuan nasional yang melampaui batas suku, wilayah, dan kelompok keumatan.

“Rakyat tidak membutuhkan retorika. Mereka membutuhkan dapur umum yang berfungsi, pengungsian yang layak, distribusi logistik yang adil, dan kehadiran negara yang bisa dirasakan langsung.”

Dalam refleksi budaya-ekonomi, MMS mengingatkan bahwa jauh sebelum istilah ekonomi berbagi dan ekonomi sirkular populer secara global, masyarakat Nusantara telah lama mempraktikkan sistem ekonomi kolaboratif. Gotong royong di Jawa, sasi di Maluku dan Papua, subak di Bali, mapalus di Minahasa, serta sistem rantau di Minangkabau disebut sebagai bukti kuat bahwa budaya Nusantara memiliki fondasi ekonomi yang berkeadilan dan berkelanjutan.

Fase Kelembagaan MMS

Secara kelembagaan, MMS memandang 2025 sebagai fase inisiasi revitalisasi peran. Organisasi ini mencatat capaian penting dalam konsolidasi gagasan melalui penyusunan Policy Brief dan Manifesto Sunda yang komprehensif. Namun, MMS juga mengidentifikasi kesenjangan implementasi yang masih signifikan.

Kesenjangan tersebut antara lain terlihat pada belum seimbangnya kontribusi ekonomi dengan alokasi anggaran untuk Jawa Barat dan Banten, lemahnya kolaborasi lintas aktor politik dan kultural yang masih bersifat ad hoc, serta lambannya respons birokrasi terhadap agenda kebudayaan dan kurikulum muatan lokal.

Meski demikian, MMS menilai terdapat capaian strategis dalam membangun dialog lintas komunitas suku. Kolaborasi akhir tahun MMS melibatkan tokoh Aceh, Batak, Minang, Manado, Palembang, dan Makassar di Jawa Barat sebagai fondasi solidaritas kebangsaan yang setara dan saling menghormati.

Resolusi 2026

Memasuki 2026, MMS menetapkan sejumlah resolusi strategis. Di antaranya penyelenggaraan Idul Fitri Sa-Tatar Sunda di Jakarta pada April 2026, dialog rutin mengenai relasi Sunda, masyarakat, dan negara, serta pengoperasionalan Manifesto Sunda ke dalam ranah kebijakan.

Pinisepuh MMS, Indra Prawira, menekankan pentingnya hukum sebagai pedoman pembangunan masyarakat. Ia merujuk pemikiran pahlawan nasional asal Sunda Mochtar Kusumaatmadja, bahwa hukum harus menjadi instrumen rekayasa sosial, keadilan, dan kemakmuran bersama.

“Agar bangsa ini sejajar dengan bangsa lain, ketegasan pemerintah menegakkan konstitusi dan perundang-undangan yang berpihak pada rakyat dan negara menjadi kunci keluar dari berbagai paradoks Indonesia,” kata Indra.

MMS juga berencana mendorong pembentukan Sekretariat Bersama Sunda Raya yang melibatkan Jawa Barat, Banten, dan Daerah Khusus Jakarta untuk menyusun Regional Masterplan Sunda Raya, dengan fokus pada penanganan banjir, pengelolaan daerah aliran sungai, dan integrasi transportasi.

Agenda lingkungan menjadi pilar penting resolusi 2026, melalui advokasi moratorium alih fungsi lahan, audit lingkungan proyek strategis nasional, serta perlindungan lahan pertanian dan kawasan resapan air. MMS menilai kegagalan mengelola alam tidak hanya melahirkan bencana ekologis, tetapi juga krisis legitimasi politik.

Di bidang fiskal, MMS akan membentuk Gugus Kerja Keadilan Fiskal bersama komunitas Banten dan Betawi untuk memetakan kesenjangan fiskal Sunda Raya serta mendorong revisi kebijakan perimbangan keuangan negara. Sementara di sektor ekonomi, MMS menargetkan penguatan Ekonomi Juara melalui koperasi modern dan jejaring Simpay Saudagar Sunda yang menghubungkan produsen desa dengan pasar perkotaan.

“Resolusi 2026 adalah panggilan untuk bekerja lebih terukur, lebih berani, dan lebih kolaboratif. Sunda Raya tidak boleh berhenti sebagai identitas kultural, tetapi harus tampil sebagai subjek kebijakan yang adil dan berdaulat,” kata Andri. [rls]

Back to top button