Rendahkan Soal Islamofobia, Profesor Jerman di Prancis Panen Kritikan
“Tapi di mana jutaan kematian akibat Islamofobia?”tanyanya. Namun dia juga menjelaskan: “Saya tidak menyangkal bahwa orang-orang beragama Islam didiskriminasi. Saya hanya menolak untuk mengatakannya pada level yang sama. Saya pikir ini adalah penipuan yang tidak masuk akal.”
JERNIH– Seorang profesor asal Jerman di sebuah universitas di Grenoble, Prancis, menjadi sasaran kampanye kebencian karena tidak ingin membandingkan anti-Semitisme dengan Islamofobia.
“Kaum fasis di ruang kuliah kami! Singkirkan Profesor Kinzler! Islamofobia membunuh,” bunyi tulisan di spanduk besar yang digantung di Universitas Grenoble. Aktivis dari serikat mahasiswa Prancis, Unef, juga memposting slogan-slogan tersebut secara online.
Lima bulan setelah pembunuhan brutal guru sejarah Samuel Paty, tuduhan Islamofobia bukanlah sesuatu yang dianggap remeh di Prancis. Setelah perdebatan panjang yang memicu kemarahan di Institut Studi Politik Grenoble, dua profesor kini berada di bawah perlindungan polisi.
Berawal dari kejadian beberapa bulan lalu, para mahasiswa dan dosen di Universitas Grenoble sedang mendiskusikan judul sebuah seminar yang rencananya akan mengangkat topik kesetaraan. Haruskah “Islamofobia” disejajarkan dengan “anti-Semitisme” dan “rasisme”?
Profesor Klaus Kinzler, yang mengajar bahasa dan budaya Jerman di universitas tersebut, merasa bahwa Islamofobia tidak sebanding dengan anti-Semitisme. Namun, dia dikeluarkan dari diskusi itu.
Kebetulan, profesor kelahiran Stuttgart itu menikah dengan wanita Muslimah.
Ketika profesor lain menunjukkan solidaritas dengan Kinzler, serikat mahasiswa Unef juga menarget mereka.
Menteri Dalam Negeri Prancis Marlene Schiappa bereaksi terhadap kasus ini. “Setelah pemenggalan kepala guru Samuel Paty, kampanye kebencian saat ini terhadap para profesor adalah tindakan yang sangat menjijikkan,” kata Schiappa dalam sebuah wawancara televisi. “Unef telah secara aktif membahayakan nyawa para profesor,”kata dia.
Sejarawan dan penulis Jerman, Philipp Blom, melihat diskusi tentang Islamofobia sebagai refleksi dari isu-isu sosial terkait dengan posisi Prancis yang merupakan negara bekas kekuatan kolonial, di mana aturan “rasisme fungsional” berdiri kuat.
“Di pinggiran Paris, Anda tidak merasa seperti tinggal di Prancis. Anda tidak memiliki kesempatan yang sama dengan orang lain,” kata Blom kepada DW.
Sempat mengalami marginalisasi dan penghinaan, seluruh generasi di Prancis telah tumbuh dewasa dalam lingkungan di mana para penjahat kecil-kecilan dan penganut Islam radikal bersaing untuk mendominasi keadaan. “Saya dapat memahami bahwa hal ini menimbulkan kemarahan, termasuk kemarahan yang mematikan,” kata Blom.
Klaus Kinzler mengatakan kepada surat kabar Jerman, Die Welt, bahwa ada bentuk aktivisme politik di Prancis yang menyamar sebagai akademisi.
Serupa dengan hal itu, ilmuwan politik Claus Leggewie menunjukkan bahwa para aktivis itu tidak berperang melawan yang berkuasa, kemapanan, sayap kanan atau fasis sejati, tetapi melawan orang-orang yang pandangannya dianggap “tidak cukup pro-Islam”.
Leggewie menggambarkan kasus ini sebagai upaya “membatalkan” pandangan orang-orang tertentu, membungkam mereka, dan “melarang diskusi.”
Media sosial juga telah menjadi ruang bagi kelompok identitas sosial, yang semakin mengecualikan orang-orang yang memiliki pandangan berseberangan. Dengan melancarkan kontroversi online, anggota kelompok ini segera mendapatkan pengakuan media, kata Leggewie. “Persis seperti itulah yang terjadi di Grenoble, dan Samuel Paty, dan kasusnya itu fatal,” tambah pakar politik itu.
Islamofobia dan anti-Semitisme
Klaus Kinzler telah menjadi profesor di Institut Studi Politik Grenoble selama 25 tahun. Dia “tidak terkejut” dengan slogan-slogan yang terpampang di gedung universitas.
Dalam pandangan Kinzler, rasisme dan anti-Semitisme – yang merupakan tindak pidana di Prancis–tidak ada hubungannya dengan Islamofobia. “Anti-Semitisme telah mengakibatkan jutaan kematian. Genosida tanpa akhir. Lalu ada rasisme, perbudakan. Itu juga telah menyebabkan puluhan juta kematian dalam sejarah,” katanya kepada Die Welt.
“Tapi di mana jutaan kematian akibat Islamofobia?”tanyanya. Namun dia juga menjelaskan: “Saya tidak menyangkal bahwa orang-orang beragama Islam didiskriminasi. Saya hanya menolak untuk mengatakannya pada level yang sama. Saya pikir ini adalah penipuan yang tidak masuk akal.”
Namun, Kinzler mengaku tidak terlalu tersinggung atas perbuatan para mahasiswa yang meluncurkan kampanye kebencian dibandingkan dengan rekan-rekan, para peneliti, dan professor– yang menjauh darinya tanpa berusaha menanyakan keadaan yang sebenarnya. [Die Welt/Deutsche Welle]