
Rindu pada Slank yang kritis dan lugas. Kangen pada kepedulian situasi bangsa yang acak-acakan disuarakan lewat musik. Dan, Slank kembali ke jati dirinya yang asli.
WWW.JERNIH.CO – Setelah bertahun-tahun dianggap sebagai “stempel” pemerintah akibat dukungan mesra mereka terhadap Presiden Jokowi sejak 2014, Slank akhirnya melepaskan sebuah peluru tajam yang mereka beri judul “Republik FufuFafa”.
Dirilis tepat pada momentum ulang tahun ke-42 mereka, lagu ini tampak menjadi upaya penebusan dosa masa lalu. Bimbim, sang motor band, dalam sebuah kesempatan menyatakan bahwa lagu ini adalah bentuk “kegelisahan yang sudah mentok,” sebuah sinyal bahwa nyali kritik mereka tidak sepenuhnya tumpul oleh kenyamanan kekuasaan.
Slank seolah ingin kembali ke “setelan pabrik” sebagai parlemen jalanan, DPR panggung yang kritis dan tak berkompromi.
Slank = Slengean
Lirik lagu ini tidak menggunakan metafora yang rumit; Slank kembali ke gaya slengean era 90-an yang lugas dan cenderung kasar. Pada bait pembuka, “Aku lahir di negeri kacau balau / Orang-orangnya pada sakau-sakau,” Slank mendiagnosis bangsa ini sedang tidak sehat.
Kata “sakau” mengalami perluasan makna, bukan sekadar ketergantungan narkoba fisik, melainkan kecanduan mental terhadap hal-hal destruktif. Sarkasme ini diperuncing dengan barisan kata, “Sakau kuasa, sakau narkoba / Sakau oiui ooai dan sakau berjudi,” yang secara spesifik menyentil fenomena judi online dan haus kekuasaan yang kini merusak hingga ke akar rumput.

Salah satu bagian paling provokatif dan sarkastis adalah lirik: “Negeri stunting dan kurang gizi / IQ rata-rata setara dengan monkey.” Ini bukan sekadar penghinaan, melainkan kritik pedas terhadap kegagalan struktural pemerintah dalam mengurus sumber daya manusia.
Dengan menyebut “IQ setara monkey,” Slank sedang meratapi kualitas literasi dan cara berpikir massa yang mudah dimanipulasi oleh hoaks dan narasi dangkal. Sarkasme ini diperkuat dengan sentilan tentang etika: “Pada gak sopan juga kurang ajar / Pada sok tahu dan juga belagu.”
Lirik ini menjadi cermin dari karakter akun “FufuFafa” yang viral—yang penuh dengan caci maki dan sikap merendahkan—sekaligus memotret degradasi moral di ruang digital kita.
Kembali ke Rakyat
Tentu saja, muncul paradoks yang tak terhindarkan. Publik tak lupa bahwa nama “FufuFafa” identik dengan Gibran Rakabuming Raka, putra sulung Jokowi yang dulu mereka dukung mati-matian. Dengan merilis lagu ini, Slank seolah melakukan manuver “cuci tangan” dari narasi dinasti politik yang mulai menguat.
Pesan yang ingin disampaikan sangat jelas: kesetiaan Slank bukan pada personel atau keluarga tertentu, melainkan pada nurani publik. Ini adalah upaya rekonsiliasi dengan basis penggemar (Slankers) yang sempat menjauh karena merasa band idolanya terlalu “jinak” di dalam istana.
Momentumnya tepat benar. Saat hari jadi, saat negara tengah dalam situasi yang tidak menentu, saat rakyat ingin meluapkan kemarahannya. Slank menangkap energi tersebut dan “Republik FufuFafa” adalag kombinasi sempurna seluruh luapan kegundahan rakyat. Slank kembali ke rakyat.
Secara musikalitas, “Republik FufuFafa” adalah ledakan Punk Rock/Hard Rock yang kental dengan energi garage band. Jangan harap ada nada pop manis; yang terdengar adalah distorsi kasar yang mengingatkan kita pada album Piss atau Generasi Biru.
Vokal Kaka terdengar frontal dan penuh teriakan sinis, seolah sedang berorasi di tengah demonstrasi massa. Ditambah dengan visualisasi video klip yang menggunakan kostum badut, Slank menegaskan bahwa kondisi politik saat ini hanyalah sebuah sirkus atau satire gelap (dark satire) yang menyedihkan.
Slank sejatinya adalah corong kemarahan publik. Jejak itu bisa dilihat dari karya-karyanya yang sebagian merupakan kritik pada situasi yang sadar atau tidak merupakan buah dari kelemahan penguasa.
Tembang “Republik FufuFafa” adalah alarm darurat dari Gang Potlot. Slank mencoba merebut kembali identitas mereka sebagai penyambung lidah rakyat. Meski publik mungkin tetap mencibir karena perubahan sikap ini dianggap terlambat, lagu ini membuktikan bahwa di usia 42 tahun, Slank masih memiliki taji untuk mengganggu kenyamanan mereka yang sedang mabuk kekuasaan.
Mereka ingin menegaskan bahwa di “Republik FufuFafa”, kebenaran tidak boleh mati ditelan kepatuhan politik. Suara telah disemburkan. Liriknya pedas dan “Republik FufuFafa” tidak peduli dengan “mulut manis”. Slank langsung menghantam dengan kata-kata kasar. Jika kuping-kuping penguasa tidak pula panas dan segera introspeksi, barangkali negeri ini perlu revolusi.(*)
BACA JUGA: Slank akan Konser Akbar di NTT Mirip Festival Woodstock

