POTPOURRI

Rock N Roll Mom: episode 1

Pengantar:

Jernih.co akan memuat cerita bersambung, sekadar mengajak kalangan yang sudah senior—paling tidak 40 tahun ke atas, bernostagia membaca cerber dalam koran-koran di masa jaya media cetak.

Pada kesempatan pertama, kami akan muat bersambung cerber ‘Rock N Roll Mom’, yang bercerita tentang masa-masa kebangkitan grup band Slank. Selamat mengikuti.

Bab 1 Zombie

1998

TAK PERNAH sekalipun terpikirkan olehku untuk melihat sendiri pemandangan yang kuhadapi saat ini. Sesosok tubuh muda tergolek lemah di hadapanku, meringkuk di sempit kursi tamu kamar hotel ini. Wajahnya yang tirus, terkulai kuyu tanpa pancaran cahaya kehidupan.

Manik-manik keringat deras keluar dari sekian ratus lubang pori, sebelum kemudian berleleran membasahi wajah itu. Membuat kaos oblong yang dikenakannya basah, menempel pada tubuhnya yang kerempeng lemah.

Yang membuat kain panjang tak segera digelar menutupi sekujur tubuhnya, sebagai penanda lazim bahwa empunya jasad tak lagi ternaungi nyawa, selain banjir keringat barangkali karena tubuh itu sesekali menggeliat, menggigil. Setelah tubuhnya meliuk-liuk itu, bisa dipastikan ia akan tersengal-sengal  mencoba  merebut udara dengan tarikan nafas satu-satu. Berat kelihatannya, karena dadanya pun terguncang turun naik.  Saat itulah kita semua akan yakin bahwa ia masih bernyawa, meski barangkali akan banyak juga yang berpikir bahwa ia tengah meregang, bergulat melawan malaikat yang memaksa.

Keyakinan bahwa tubuh kurus kering yang nyaris hanya onggokan tulang berbalut kulit itu masih mendekap nyawa, lebih dikuatkan manakala ia mengerang. Saat itulah bola matanya seakan hendak mencelat keluar dari dua ceruk hitam dalam, seolah lobang perangkap tempat segala harapan terjebak tak mampu beranjak.

Tak ada vitalitas di bola mata itu, kecuali rasa nyeri yang tampak amat sangat, yang dengan sempurna tergambar lewat suara erangan dan mulut yang terbuka, meski tanpa daya. Sengau mengaduh dari lobang di wajah tirus pucat lesi itu wajar membuat anak-anak tanggung ketakutan dan teringat akan zombie.

YANG MEMBUAT dadaku terpukul sakit, zombie itu anakku !

Akulah ibu anak itu. Dan aku adalah satu dari sedikit ibu yang harus menyaksikan anak kandungnya, belahan jiwa yang kulahirkan di tubir pertaruhan hidup dan mati, kini bergulat dengan nyeri, bahkan mungkin sebenarnya bertarung dengan maut.

Barangkali, aku layak sebenarnya disebut Maryam di dunia modern. Ibu yang harus menyaksikan putra terkasih meregang nyawa disalib rasa cinta dan ketergantungannya akan putaw, barang celaka itu. Menyaksikan hari-hari Bimbim menenggelamkan diri ke dalam dunia bius itu tentu begitu melukakan hati. Tetapi melihat dirinya kelojotan saat tubuhnya menagih asupan haram itu, tentu saja lebih mendatangkan kepedihan tak berperi. 

Oh Stabat mater dolorosa…tetaplah tegak, Bunda yang menderita.

Bimo Setiawan Almachzumi, nama anakku yang terkapar tanpa daya itu. Bersama suamiku, Sidharta Soemarno, kuberi nama anak itu Bimo. Ayahnya yang mengusulkan, tentu saja. Suamiku orang Jawa. Dan sebagai orang Jawa yang dilahirkan di waktu-waktu itu, sangat mustahil ia tak kenal dunia pewayangan.

Sejak lama ia memang terobsesi dengan Bimo, alias Werkudara, tokoh terkuat diantara lima bersaudara Pandawa itu. Tidak hanya memiliki raga yang kukuh kuat, tinggi besar di atas rata-rata semua orang, Bimo juga terkenal karena sikap ksatrianya yang tinggi. Tak pernah ia diceritakan menghabisi lawan-lawannya kalau musuhnya itu sudah menyatakan menyerah.

Satu lagi karakter kuat Bimo yang membuat suamiku terpesona.  “Ia seolah menjadi cermin yang lebih baik bagi siapapun yang berhubungan dengannya,” kata suamiku, saat merangkai alasan mengapa ia kukuh menginginkan nama itu untuk anak kedua kami.

“Mereka yang memperlakukannya dengan hormat, akan dihormatinya jauh lebih baik daripada penghormatan yang ia terima. Sementara kepada mereka yang berbuat jahat dan aniaya padanya, Bimo takkan segan-segan untuk membalasnya disertai rente berlipat-lipat.” Suamiku menambahkan.

Aku masih ingat cerita suamiku tentang kematian Dursasana, tokoh paling degil dan licik diantara keluarga Kurawa, dinasti yang menjadi lawan sejak para Pandawa masih usia muda. Usai menancapkan kukunya yang setajam baja Damaskus, Pancanaka—seiring waktu dan bacaan aku kemudian membayangkan kuku-kuku itu seperti kuku yang dimiliki tokoh dunia komik Barat, Wolverine—Bimo segera membelah dada Dursasana. Merobek-robeknya untuk mencari jantung musuh yang sangat dibencinya sejak muda, ketika kedua keluarga Pandawa-Kurawa masih tinggal di Hastinapura. Jantung hangat yang masih berdegub itu dibetotnya lepas dari tali-temali urat tubuh pria raksasa itu. Dikunyahnya jantung itu dalam gigitan-gigitan  besar yang antusias, sebelum mendorongnya ke perut dengan regukan darah yang masih menyembur dari dada Dursasana.

“Itulah prosesi pembalasan Bimo atas dendam yang bertahun-tahun diendapkannya sejak peristiwa kekalahan Pandawa dalam adu dadu. Peristiwa yang benar-benar memalukan, manakala seorang sebijak Pandu Dewanata pun bisa sampai hati mempertaruhkan kehormatan istrinya, Drupadi, di meja judi. Pada malam kekalahan yang berakar dari kelicikan itu, raksasa Bimo hanya mampu berlinang ketika kakak iparnya itu dicoba telanjangi Dursasana di muka umum. Di balairung Istana Hastinapura.”

Suamiku memang mampu bicara sangat menarik, begitu dramatis kala menceritakan petikan kisah-kisah Mahabarata.

Dari cerita itulah kemudian aku tahu, mengapa suamiku  sangat anti dengan yang namanya judi. Di saat judi buntut merajalela, ia tidak  sekadar pasif menjauhi jenis perjudian massal itu untuk menghindar dari keburukan yang menyertainya. Suamiku juga tak segan-segan menyampaikan betapa buruknya perjudian dalam obrolan dengan tetangga-tetangga sekitar. Agak jarang memang, karena Mas Sidharta juga bukan tergolong orang yang senang mengobrol, apalagi bergunjing dengan tetangga.

Tetapi sikapnya yang antijudi itu dikenal luas di lingkungan kami. Di akhir 1960-an itu barangkali hanya rumah kamilah yang tidak pernah didatangi calo buntut, yang biasanya datang dari rumah ke rumah dengan sebentuk notes kecil berselipkan kertas karbon untuk mengopi bukti taruhan. Kehadirannya biasanya ditandai teriakan keras,” Nalo! Nalo!”  Nalo alias national loterij atau lotere nasional.

Bagi kami, terutama suamiku, nama permainan lotere itu lebih berdenging di kuping sebagai tawaran negara kepada warganya untuk berjudi secara massal.  [bersambung]

Back to top button