CrispyVeritas

Revisi UU Sisdiknas Perlu Definisi Istilah Kunci

Namun, kenyataan menunjukkan bahwa semangat perubahan ini tidak sepenuhnya terwujud. Kurikulum nasional tetap menjadi acuan tunggal, bahkan diformalkan. Padahal UU Sisdiknas secara eksplisit memberi wewenang pengembangan kurikulum pada satuan pendidikan, lihat pasal 38 ayat (2). Hal ini bertolak belakang dengan semangat otonomi dan responsivitas terhadap kebutuhan lokal yang diusung desentralisasi. Pembelajaran masih lebih banyak berfokus pada materi.

Oleh     :  Ahmad Muchlis*

JERNIH– Dewan Perwakilan Rakyat telah mengajukan inisiatif revisi terhadap Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas). Langkah ini layak diapresiasi, mengingat Undang-undang tersebut telah berlaku sejak 2003 tanpa membawa perbaikan berarti pada kualitas pendidikan nasional. Setelah lebih dari dua dekade, tampak bahwa permasalahan utama terletak pada ketimpangan antara cita-cita normatif dan pelaksanaannya di lapangan.

UU Sisdiknas 2003 sebetulnya membawa harapan besar bagi perbaikan pendidikan Indonesia melalui tiga perubahan mendasar: orientasi pada kompetensi, sistem berbasis standar, dan penyelenggaraan pendidikan secara desentralistik.

Melalui kompetensi dan standar, implementasi proses pendidikan dan pengajaran menjadi lebih jelas dan terukur. Bukan lagi materi yang disampaikan oleh pendidik yang menjadi ukuran keberhasilan pendidikan, bukan pula semata-mata pengetahuan peserta didik, melainkan kemampuan peserta didik secara lebih lengkap dan utuh. Pengetahuan tetap penting karena kemampuan dimaksud mestilah berlandaskan pengetahuan yang sahih. Standar memberikan kualitas minimum pendidikan yang harus dicapai.

Desentralisasi memberi ruang inovasi dan penyesuaian terhadap kebutuhan lokal. Ini memungkinkan respon segera terhadap berbagai perubahan yang berlangsung cepat dan dapat bersifat disruptif. Tidak kalah pentingnya, desentralisasi memberikan peluang eksperimentasi kebijakan dan implementasi pendidikan pada berbagai tingkatan untuk mendapatkan praktik-praktik terbaik.

Namun, kenyataan menunjukkan bahwa semangat perubahan ini tidak sepenuhnya terwujud. Kurikulum nasional tetap menjadi acuan tunggal, bahkan diformalkan. Padahal UU Sisdiknas secara eksplisit memberi wewenang pengembangan kurikulum pada satuan pendidikan, lihat pasal 38 ayat (2). Hal ini bertolak belakang dengan semangat otonomi dan responsivitas terhadap kebutuhan lokal yang diusung desentralisasi. Pembelajaran masih lebih banyak berfokus pada materi.

Kegagalan implementasi ini tidak bisa semata-mata disalahkan pada pergantian pemerintahan atau perubahan regulasi turunan. Akar masalah yang lebih mendasar adalah kaburnya pemahaman terhadap istilah-istilah kunci dalam UU, terutama “kompetensi”.

Istilah kompetensi telah lebih dulu dikenal di lingkungan pendidikan vokasi. Ketika istilah ini diadopsi UU Sisdiknas 2003, ia diperluas ke pendidikan umum tanpa memberikan definisi operasional. Kita dapat menangkap kompetensi seorang juru las misalnya, tetapi apa kompetensi seorang lulusan SMA? Bagaimana kompetensi lulusan SMA ini dirumuskan?

Ketidakjelasan pengertian kompetensi membuat ia disalahpahami dan disalahgunakan oleh berbagai pihak untuk memasukkan berbagai muatan kurikulum yang tidak relevan. Sebagai contoh, usulan memasukkan materi pasar saham atau akal imitasi ke dalam kurikulum SD menunjukkan miskonsepsi mendasar. Tidak ada kejelasan mengenai kompetensi seperti apa yang diharapkan dari peserta didik SD dalam konteks materi tersebut. Tanpa definisi yang tajam, “kompetensi” berubah menjadi keranjang serba isi, memuat semua nilai dan keterampilan yang dipandang baik, tanpa mengindahkan urgensi, relevansi, atau kemampuan peserta didik.

Oleh karena itu, revisi UU Sisdiknas harus dimulai dengan menetapkan definisi kompetensi yang jelas. Pengertian ini harus memungkinkan perumusan capaian kompetensi yang realistis dan relevan untuk setiap jenjang pendidikan. Upaya global seperti proyek Defining and Selecting Competencies (DeSeCo) yang digagas oleh OECD di akhir dekade 1990-an dapat menjadi rujukan penting. DeSeCo merumuskan kompetensi kunci untuk kehidupan yang produktif dan partisipatif dalam masyarakat. Patut dicatat bahwa OECD adalah penyelenggara PISA (Programme for International Student Assessment).

Selain itu, perlu pelurusan pemahaman mengenai istilah “pendidikan” itu sendiri. UU Sisdiknas kerap mencampuradukkan antara pendidikan dalam pengertian umum (yang berlangsung sepanjang hayat) dengan pendidikan terstruktur seperti pendidikan formal. Campur aduk ini menyebabkan ekspektasi yang tidak realistis terhadap lembaga pendidikan formal, yang seolah-olah harus menjadi penyelesai seluruh persoalan sosial.

Sebagai contoh, kita menuntut sekolah untuk membentuk anak-anak yang taat hukum, namun mereka menyaksikan pelanggaran aturan lalu lintas yang sangat kasat mata di luar sekolah. Harapan ini tidak sebanding dengan daya jangkau lembaga pendidikan formal.

Juga muncul gagasan pencabutan ijazah bagi alumni yang melakukan korupsi. Gagasan ini sulit diterima. Perilaku seorang alumni bertahun-tahun setelah ia lulus lebih banyak dipengaruhi lingkungan tempat ia berkiprah ketimbang sekolah tempat ia belajar.

Pepatah Afrika “it takes a village to raise a child” dengan tegas mengingatkan bahwa masyarakat secara keseluruhan bertanggung jawab atas pendidikan. Ini membawa kita kembali kepada konsep tiga pusat pendidikan Ki Hadjar Dewantara: keluarga, sekolah dan masyarakat. Upaya pendidikan memerlukan sinergi antara ketiga pusat tersebut, khususnya menyangkut pendidikan nilai dan karakter.

Revisi UU Sisdiknas bukan hanya harus mempertahankan semangat kompetensi, standar, dan desentralisasi, tetapi juga harus menjamin bahwa prinsip-prinsip tersebut dapat diimplementasikan secara konsisten. Ini hanya bisa dicapai jika kita memperbaiki fondasi konseptual, menyelaraskan aturan-aturan turunan, dan menyederhanakan beban pendidikan formal.

Pendidikan adalah investasi jangka panjang. Namun tanpa landasan konseptual yang jernih dan kebijakan yang konsisten, investasi ini akan terus menghasilkan hasil yang di bawah harapan. Revisi UU Sisdiknas adalah kesempatan penting untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama. [ ]

*Dosen, Program Studi Magister Pengajaran Matematika ITB

Bandung, 12 Mei 2025

Back to top button