Crispy

RUU Omnibus Law Diprotes, Ini Penjelasan Pengusaha hingga Menteri Ketenagakerjaan

JAKARTA – Draf Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja belum selesai. Namun, rancangan itu telah mendapatkan protes dari serikat pekerja. Meski para pengusaha mengaku belum mendapat draf resmi dari pemerintah.

Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, yang sekaligus Ketua Satuan Tugas (Satgas) Omnibus Law, Rosan P Roeslani, mengatakan draf RUU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja belum rampung hingga saat ini.

“Belum final itu pembahasan cluster ketenagakerjaan. Jadi kami pun belum terima secara formal dari pemerintah karena tadi diharapkan final tapi belum,” ujarnya di Jakarta, Selasa (14/1/2020).

Ia menjelaskan, pemerintah masih melakukan dengar pendapat bersama pengusaha dan serikat pekerja. Sehingga, proses penyelesaian Omnibus Law direncanakan bakal lanjut apda Rabu (15/1/2020) besok.

“Nah kita kan beri masukan dan dari pemerintah juga. Pemerintah akan review dan mungkin Rabu kita duduk bareng lagi untuk membahas beberapa hal yg belum jelas,” katanya.

Pertemuan yang telah digelar pada Senin (13/1/2020), membahas sekitar 1.200 pasal yang akan diserderhanakan ke dalam Omnibus Law. Karena itu, diperlukan waktu yang cukup panjang. Sehingga setelah ditetapkan tak ada lagi kendala.

“Kita mau pastikan jangan sampai ada perbedaan pemahaman dan pengertian sehingga akan beda persepsinya,” ujar Rosan.

Soal protes buruh yakni terkait cluster ketenagakerjaan dalam omnibus cipta lapangan kerja, Rosan mengaku belum ada pambahasan sama sekali. Oleh karenanya, dirinya tak memahami apa yang di protes para buruh tersebut.

“Dari pemerintah aja belum final, makanya kita nggak bicarakan tenaga kerja, karena belum ada,” kata dia.

Sebelumnya, Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Said Iqbal, mengatakan pihaknya menggelar unjuk rasa menolak Omnibus Law dan kenaikan iuran BPJS Kesehatan. Demonstrasi tersebut bakal dilakukan serentak di seluruh Indonesia pada 20 Januari 2020 mendatang.

Said berharap, DPR RI mendengarkan aspirasi kaum buruh untuk menolak pembahasan Omnibus Law. Dari hasil kajian KSPI, beleid itu cenderung merugikan kaum buruh, karena hanya akan menghilangkan upah minimum, pesangon, pekerja outsourcing, dan kontrak kerja yang bebas (fleksibilitas pasar kerja).

“TKA yang tidak memiliki keahlian juga bisa masuk Indonesia,” kata Said.

Selain itu, hilangnya jaminan sosial dan dihapuskannya sanksi pidana bagi pengusaha yang tidak memberikan hak-hak buruh juga menjadi materi Said pada protes tersebut.

“Kami menilai Omnibus Law tidak akan meningkatkan investasi. Tetapi justru akan menurunkan tingkat kesejahteraan kaum buruh,” ujarnya.

Menteri Ketenagakerjaan, Ida Fauziyah, pada Jumat (10/1/2020), menjelaskan RUU Omnibus Law cipta lapangan kerja bertujuan menciptakan lapangan kerja melalui pengembangan investasi, perlindungan bagi pekerja atau buruh tetap diperkuat.

“Kita fokus pada penciptaan lapangan pekerjaan dan peningkatan pelindungan serta kesejahteraan pekerja dalam omnibus law,” ujarnya.

Oleh karena itu, pihaknya membuka ruang dialog perwakilan serikat buruh mengenai Omnibus Law . Menurutnya, pembahasan RUU tersebut yakni pekerja dengan hubungan kerja berdasarkan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) atau pekerja kontrak, dipastikan mendapatkan hak dan pelindungan yang sama dengan pekerja tetap atau Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT).

Hak tersebut antara lain, hak atas upah, jaminan sosial, perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja, dan hak atas pengakhiran atau putusnya hubungan kerja.

“Jadi tidak benar, habis kontrak nggak ada kompensasi bagi pekerja,” kata Ida.

Bahkan pekerja yang terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) tetap mendapatkan kompensasi PHK sesuai ketentuan. “Selain menerima kompensasi PHK, pekerja ter-PHK mendapat perlindungan jaminan sosial berupa Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP),” katanya.

Untuk sistem Upah Minimum (UM) tetap menjadi pembahasan omnibus law. Di mana UM hanya berlaku baki pekerja dengan masa kerja kurang dari satu tahun. Karena itu, perusahaan diwajibkan menerapkan Struktur dan Skala Upah dengan masa kerja di atas 1 tahun. Adapun, besaran upah di atas UM disepakati antara pekerja dan pengusaha.

Dalam RUU omnibus law, bakal membuat waktu kerja menjadi lebih fleksibel. Hal ini untuk memfasilitasi jenis pekerjaan tertentu yang sistem waktu kerjanya di bawah 8 jam per hari atau 40 jam per minggu.

“Ini untuk jenis pekerjaan tertentu. Bagaimana dengan pekerjaan yang ingin 8 jam per hari atau 40 jam per minggu? Tetap ada, hanya kami memfasilitasi fleksibilitas jam kerja,” ujar Ida.

Menurut Ida, untuk Tenaga Kerja Asing (TKA), bertujuan memenuhi kebutuhan tenaga kerja terampil dan profesional pada bidang tertentu, yang belum dapat diisi oleh Tenaga Kerja Indonesia (TKI).

“Penggunaan TKA tetap dibatasi hanya untuk jenis pekerjaan tertentu yang tidak dapat dilakukan oleh pekerja di dalam negeri,” ujarnya. [Fan]

Back to top button