Crispy

Sepuluh Jalan Sunyi Puisi di Tengah Deru Kecerdasan Buatan

Oleh Emi Suy

Pengantar

Sabtu pagi menuju tengah hari di Perpustakaan Nasional RI, ruang auditorium dipenuhi wajah-wajah penuh semangat. Saya memilih duduk agak ke belakang, berusaha menangkap setiap kalimat dari pemaparan Riri Satria. Di layar lebar terpampang rangkaian sejarah kecerdasan buatan: dari IBM Deep Blue yang pernah menaklukkan Gary Kasparov, hingga generative AI yang menuliskan otobiografinya sendiri dengan judul I am Code.

Di hadapan saya, kata “puisi” dan “algoritma” tiba-tiba bergandengan dalam satu kalimat. Perasaan saya berlapis-lapis: takjub sekaligus khawatir, ingin percaya pada masa depan namun juga takut kehilangan sisi terdalam dari kemanusiaan.

Ingatan saya pun melayang ke masa kanak-kanak, saat menulis puisi dengan pensil 2B di kertas tipis yang mudah koyak. Tak ada mesin, tak ada internet—hanya kata-kata yang lahir dari pergulatan hidup dan menjadi penopang belajar. Kini, puisi diperjumpakan dengan kecerdasan buatan—sebuah lompatan yang membuat dada berdebar.

Dari titik itu, saya mendengarkan dengan saksama kuliah umum Riri Satria, 10 Tantangan Dunia Perpuisian dan Kepenyairan di Era Kecerdasan Buatan (AI). Saya tidak hanya membaca dengan kepala, melainkan juga dengan hati yang kerap merasa kalah cepat dari arus dunia. Pada sosok Riri Satria, sejauh yang saya kenal, puisi bisa bertemu dengan algoritma—kadang menghasilkan harmoni, kadang melahirkan benturan.

Saya ingin menanggapi satu per satu tantangan itu, bukan untuk menghadirkan jawaban, melainkan sebagai catatan hening seorang penyair yang percaya bahwa puisi tetap jalan pulang manusia.

Pergulatan #1: Apakah meta-estetika bisa diterima?

Riri mengangkat soal pergeseran estetika: penyair masa mendatang mungkin lebih condong pada dimensi filosofis ketimbang sekadar permainan bahasa. Bagi saya, ini bukan sekadar pilihan gaya, melainkan kembalinya puisi ke inti asalnya. Bukankah sejak awal puisi hadir sebagai upaya manusia mengungkap yang tak mampu dijelaskan logika?

AI sanggup merangkai metafora indah, bahkan mengejutkan. Namun, apakah ia bisa ikut bergetar di hadapan makna? Meta-estetika menuntut keberanian menembus kata menuju pengalaman batin. Pada titik inilah, mesin akan senantiasa tertinggal.

Pergulatan #2: Puisi—hasil rekayasa atau seni yang mengalir?

Pertanyaan ini menusuk. Apakah di masa depan puisi hanya akan menjadi produk teknis, buah perhitungan algoritmik yang presisi, atau tetap menjadi karya seni yang lahir dari rasa terdalam?

AI bisa mencipta pantun, haiku, bahkan soneta dengan keteraturan sempurna. Namun kesempurnaan kadang justru menumpulkan luka. Puisi yang terlalu rapi kerap kehilangan denyut hidup. Sementara puisi manusia menyimpan ketidaksempurnaan yang membuka jiwa.

Barangkali jawabannya adalah “art-neering”—proses teknis yang tetap dipeluk oleh tangan manusia yang tahu bagaimana rasanya kehilangan. Tapi saya sendiri masih butuh waktu untuk benar-benar percaya pada kemungkinan itu.

Pergulatan #3: Puisi sebagai pengalaman multimedia

Saya membayangkan puisi yang bisa disentuh, didengar, ditonton, bahkan dialami di ruang virtual. Baris kata menjelma gambar, suara, dan pengalaman sensorik. Puisi tak lagi diam, melainkan hadir sebagai dunia yang bergerak.

Namun pertanyaannya: apakah esensi puisi tetap terjaga? Ataukah ia menjelma sekadar hiburan instan, kehilangan kedalaman renungan?

Bagi saya, multimedia hanyalah wadah baru. Yang harus terus dirawat adalah roh puisi: kejujuran, luka, doa, perenungan. Bila roh itu hilang, yang tersisa hanyalah efek—bukan lagi puisi.

Pergulatan #4: Hypertext, hypermedia, dan jejaring puisi universal

Kini kita berada di zaman ketika satu puisi bisa terhubung seketika dengan ribuan teks lain, ketika percakapan lintas negara terjadi dalam hitungan detik. Hypermedia memberi peluang interaksi tanpa batas ruang dan wujud.

Namun di tengah kebisingan itu, mampukah penyair masih mendengar dirinya sendiri? Hypertext membuka jalan, tapi sunyi tetap diperlukan agar puisi tak sekadar jadi gema ribuan suara lain.

Puisi sejatinya lahir dari kedalaman, bukan dari keramaian. Tantangan kita: menjaga kedalaman di tengah derasnya koneksi.

Pergulatan #5: Peran kurator di zaman AI

Riri menekankan pentingnya kurator yang mampu memilah mana puisi manusia, mana hasil mesin. Itu penting, namun menurut saya peran kurator lebih luas daripada sekadar detektor.

Kurator adalah penjaga makna, penyaring agar puisi tak larut jadi sekadar konten. Di masa mendatang, mungkin ribuan puisi lahir tiap menit dari mesin. Namun kuratorlah yang memastikan: mana yang hanya kata, mana yang sungguh suara manusia. Di situlah letak puisi yang sejati.

Pergulatan #6: NFT dan kepemilikan karya puitik

Puisi diikat dalam sertifikat digital, diperjualbelikan sebagai aset. Dari sisi tertentu, ini melindungi hak cipta. Tetapi ada getir yang sulit saya sembunyikan: haruskah puisi yang lahir dari hati juga dijadikan komoditas?

Saya khawatir bila puisi kehilangan hakikatnya sebagai persembahan, berubah jadi barang dagangan. Namun saya juga menyadari: zaman menuntut adaptasi. Maka tugas kita adalah menjaga agar NFT tak mengubur nilai ruhani puisi.

Pergulatan #7: Regenerasi puisi oleh AI global

AI belajar dari seluruh puisi dunia, menyerap, meniru, lalu mencipta ulang. Isu hak cipta jelas penting, tetapi yang lebih dalam adalah pertanyaan: apakah kita siap menerima kenyataan bahwa puisi manusia bisa direduksi menjadi sekadar data?

Paradoksnya: justru karena AI menyerap karya manusia, keberadaan manusia tetap dibutuhkan sebagai sumber. Mesin tak bisa mencipta dari kehampaan; ia butuh “ibu kandung”: karya manusia yang nyata. Maka, manusia tetaplah pangkal sekaligus tujuan.

Pergulatan #8: AI dan licencia poetica

AI mungkin mampu melanggar aturan bahasa, mencipta metafora liar, bahkan menghasilkan absurditas mengejutkan. Namun, apakah pelanggaran itu menanggung risiko emosional bagi mesin?

Licencia poetica manusia lahir dari keberanian menanggung konsekuensi—penyair yang rela dicemooh, ditolak, bahkan disensor karena puisinya. AI tak memiliki tubuh untuk menanggung akibat. Karena itu, pelanggaran bahasanya tak pernah sepenuhnya puitis—hanya eksperimen tanpa darah.

Pergulatan #9: Ledakan distribusi puisi

Kini puisi bisa tersebar dalam hitungan detik ke seluruh penjuru. Percakapan terjadi tanpa jeda. Tetapi di tengah kecepatan itu, apakah mutu masih terjaga?

Saya percaya puisi membutuhkan kelambatan. Ia perlu waktu tumbuh seperti benih di tanah. Puisi yang lahir terlalu cepat sering kehilangan akar. Maka tugas penyair masa depan bukan menyaingi kecepatan mesin, melainkan menjaga kualitas dengan kesabaran.

Pergulatan #10: AI dan Kemanusiaan – High Tech, High Touch

Akhirnya sampai pada inti: teknologi hanya bermakna bila disertai sentuhan manusiawi. Riri menyebutnya High Tech, High Touch. Saya menyebutnya: roh puisi.

Mesin bisa menulis, tetapi hanya manusia bisa berdoa. Mesin bisa mencipta metafora, tetapi hanya manusia bisa meneteskan air mata karenanya.

Maka tugas penyair adalah menjaga agar puisi tetap menjadi ruang kemanusiaan—tempat kita belajar mencintai, menderita, dan bertahan.

Penutup

Saat keluar dari ruang kuliah itu, Jakarta sore menyajikan kemacetan biasa. Lampu kendaraan berdesakan, gedung-gedung tinggi menantang langit. Saya melangkah pelan, membawa pulang kegelisahan bercampur harapan.

AI mungkin bisa menulis seribu puisi dalam sedetik, tetapi hanya manusia yang bisa menulis satu puisi dengan air mata yang tak terlihat. Barangkali justru di era AI ini, kita dipanggil kembali menulis dengan lebih jujur, lebih dalam, lebih manusiawi.

Puisi adalah jalan sunyi. Selama manusia mau menapakinya, ia akan selalu menemukan cara menjaga kehidupan di tengah gegap suara mesin.

Jakarta, 14 September 2025

Back to top button