Simpan Pinjam Perlu Dilindungi dari Pencucian Uang dan Pendanaan Terorisme
JAKARTA – Koperasi Simpan Pinjam (KSP) dan Unit Simpan Pinjam (USP) perlu dilakukan perlindungan dari kemungkinan masuknya kejahatan, termasuk pencucian uang dan pendanaan terorisme. Karena itu diperlukan koordinasi antara Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dengan Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).
Demikian diungkapkan Kepala PPATK, Dian Ediana Rae saat melakukan pertemuan bersama Mendagri, Tito Karnavian, di Jakarta, Rabu (17/6/2020).
Rae menambahkan, koordinasi kedua instansi tersebut ditujukan untuk memberantas pencucian uang dan pendanaan terorisme yang memanfaatkan KSP dan USP, dimana kewenangan tersebut berada di bawah pengawasan Pemerintah Daerah (Pemda) Tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota, serta Penyedia Barang dan/atau Jasa Lainnya (PBJ) yang perizinannya diberikan oleh Pemda.
“Pertemuan ini juga bertujuan untuk mendiskusikan strategi perlindungan dan pengawasan yang efektif atas Non-Profit Organization (NPO) yang rentan digunakan sebagai sarana pendanaan terorisme,” kata dia.
Ia menjelaskan, PPATK saat ini terus mengejar uang hasil kejahatan ekonomi yang disimpan di dalam maupun luar negeri secara persisten dan berkelanjutan untuk menjamin stabilitas ekonomi dan sistem keuangan, membuat jera penjahat ekonomi, sekaligus meningkatkan kapasitas fiskal pemerintah.
Sementara Mendagri, Tito Karnavian, mengatakan koordinasi dengan PPATK terkait KSP dan USP berimbas pada penerbitan produk kebijakan Menteri Dalam Negeri. Hal ini akan ditujukan kepada seluruh pemerintah daerah tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota untuk meningkatkan pembinaan terhadap seluruh KSP dan USP.
“Jadi ini untuk sebagai upaya meningkatkan kinerja KSP dan USP, sekaligus melindungi KSP dan USP dari tindak pidana pencucian uang dan tindak pidana pendanaan terorisme di daerah,” katanya.
Ia mengaku, pengawasan KSP, USP, perizinan bagi perusahaan properti, pedagang kendaraan bermotor, pedagang perhiasan/emas, saat ini masih rentan dalam berbagai sektor.
Oleh sebab itu, pihaknya terus melakukan evaluasi, sebab rentan bagi pelaku tindak pidana pencucian uang dan pendanaan terorisme.
Berdasarkan data Sectoral Risk Assessment yang dihimpun PPATK bersama sejumlah lembaga terkait, sekitar 11.672 populasi yang terdiri atas 7.326 perusahaan/agen properti, 3.305 pedagang kendaraan bermotor, 877 pedagang permata dan perhiasan/logam mulia, dan 49 pedagang barang seni dan antik.
Dari total populasi tersebut, baru 1.535 yang sudah teregister di PPATK dengan rincian 1.090 perusahaan/agen properti, 351 pedagang kendaraan bermotor, 27 pedagang permata dan perhiasan/logam mulia, dan 2 pedagang barang seni dan antik.
Pihak yang sudah teregister tersebut telah menyampaikan 3.806 Laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan (LTKM) selama periode tahun 2012 hingga Juni 2020.
Karena itulah, sinergi PPATK dengan Kementerian Dalam Negeri sangat diperlukan guna memperkuat kepatuhan terhadap rezim aturan anti-pencucian uang dan pendanaan terorisme (APU/PPT) dari seluruh pihak tersebut. [Fan]