Soewarsih Djojopoespito: Tjitjih yang Bukan Miss, dan Buiten het gareel yang Terlupa
- Lewat Buiten het gareel, Soewarsih Djojopoespito memperlihatkan sosoknya sebagai produk sistem pendidikan Belanda yang menolak sistem kolonial.
- Ia menarasikan kemerdekaan bangsa lewat novel, tapi kita melupakannya.
JERNIH — Kita boleh saja melupakan sosok ini, tapi dia penulis. Sebagai penulis, Soewarsih Djojopoespito abadi.
Desember 2019, seorang penulis di NTR Project, mengangkat kisah pendeknya dan — ini yang lebih penting — apa yang ditulisnya. Buiten het gareel, atau Di Luar Batas, itulah judul novel yang ditulis Soewarsih Djojopuspito.
“180 sekolah Pribumi Hindia-Belanda untuk 60 juta jiwa. Sejujurnya, tidakkah kamu merasa sedih.” Inilah kutipan paling menarik dalam Buiten het gareel yang menjadi pembuka tulisan di NTR Project.
Kutipan itu lebih dari cukup untuk menggambarkan situasi pendidikan untuk pribumi setelah politik etis diterapkan di Hindia-Belanda. Politik etis, alias politik balas budi, yang dijalankan setengah hati.
Soewarsih Djojopoespito
Soewarsih Djojopoespito lahir di Cibatok, Bogor, Jawa Barat, 21 April 1912. Nama kecilnya, karena di lingkungan masyarakat Sunda, adalah Tjitjih (baca: Cicih).
Ayahnya adalah bangsawan Cirebon bernama Raden Bagoes Noersaid Djajasapoetra, yang berprofesi sebagai dalang wayang kulit dan mahir menggunakan tiga bahasa; Jawa, Sunda, dan Indonesia. Namun, menurut Soewarsih, ayahnya buta huruf dan tak pernah berusaha belajar membaca.
Entah karena tanggal lahirnya sama dengan RA Kartini atau bukan, Soewarsih menempuh pendidikan pertamanya di Kartini School di Bogor, sekolah khusus perempuan, selama tujuh tahun. Kartini School didirikan atas prakarsa Conrad Theodor van Deventer — penggagas politik etis.
Lulus dari Kartini School tahun 1926, Soewarsih melanjutkan ke Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) juga di Bogor. Tahun 1929 mendapat beasiswa penuh untuk melanjutkan ke Europeesche Kweekschool, atau Sekolah Guru Atas Belanda, di Surabaya.
Di Europeesche Kweekschool Surabaya, Soewarsih adalah satu dua pribumi. Lainnya, 26 orang adalah Indisch dan warga campuran Pribumi-Belanda
Lulus dari Kweekschool Surabaya, Soewarsih mengajar di Purwakarta. Tahun 1933 menikah dengan Soegondo Djojopoespito, dan pindah ke Bandung. Di Bandung, Soewarsih — dengan bekal izajah sekolah buru Belanda — sangat mungkin mengajar di sekolah Belanda, tapi dia lebih memilih mengabdikan diri di Taman Siswa yang dipimpin suaminya.
Soewarsih hidup di luar batas, berbicara dan menulis dalam Bahasa Belanda seperti kebanyakan remaja Belanda di kota-kota besar di Pulau Jawa, tapi dia tidak ingin menjadi bagian sistem kolonial. Ia tergabung dan aktif di Perkoempoelan Perempoean Soenda, dan dalam gerakan kemerdekaan.
Tahun 1934, Soegondo dilarang mengajar. Bersamaan dengan itu, Soekarno, Mohammad Hatta, dan Sutan Sjahrir, ditangkap pemerintah Belanda. Setahun kemudian, onderwijs verbod — atau larangan mengajar — Soegondo dicabut
Benturan Nilai
Sebagai intelektual pada zamannya, Soewarsih menulis tapi tidak menerbitkan novel. Buiten het gareel ditulis tahun 1939, setelah Soewarsih bertemu Charles Edgar Du Perron, sastrawan Belanda kelahiran Jatinegara, Jakarta Timur.
Soewarsih menganggap Eddie, panggilan akrab Charles Edgar Du Perron, adalah guru yang mengajarkannya menulis dalam Bahasa Belada lewat Uren met Dirk Coster. Ia dan Du Perron sering terlibat diskusi tentang sastra dan tokoh-tokohnya.
Buiten het gareel adalah novel biografi, dengan sepasang suami-istri gudu muda yang idealis; Soedarmo dan Soelastri, sebagai representasi Soewarsih dan Soegondo. Soedarmo mendirikan dan memimpin Perguruan Kebangsaan, yang membangun sekolah-sekolah untuk anak-anak pribumi sebagai alternatif bagi sekolah Belanda yang langka.
Keduanya tidak hanya membuka kelas untuk anak-anak, tapi juga untuk orang dewasa yang ingin belajar. Kelas untuk orang dewasa diselenggarakan malam hari. Setiap peserta didik, anak-anak dan dewasa, dikenakan biaya yang jumlahnya tak seberapa.
Pemerintah Belanda menyebut sekolah itu liar. Tidak ada subsidi dari pemerintah Belanda. Para guru harus bertahan hidup dari sumbangan siswa yang jumlahnya tak seberapa dan tidak pasti.
Novel ini kali pertama diterbitkan tahun 1940. Menurut koran insulindo, novel diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia dan dirilis 1975 dengan judul Manusia Bebas. Di Belanda, Buiten het gareel diterbitkan ulang, dalam Bahasa Belanda, tahun 1986.
Soewarsih juga menulis novel dalam Bahasa Sunda berjudul Marjanah, dikirim ke Balai Pustaka, dan ditolak. Alasan penolakan tidak jelas. Ada dua kemungkinan alasan penolakan itu; pertama bahasa yang digunakan bukan standar, kedua Marjanah tak lain Buiten het gareel dalam Bahasa Sunda.
Soewarsih bertutur banyak hal dalam novel itu lewat sosok Soelastri, terutama tentang norma dan nilai tradisional. Sebagai guru didikan Barat, Soelastri mengucapkan selamat tinggal dengan pikiran Barat tapi mempertahankan perasaannya.
Ketika Soedarmo dilarang mengajar karena mengkritik kebijakan pemerintah kolonial di surat kabar, Soelastri menghela nafas dalam-dalam. Frustrasi? Tidak. Keduanya bertahan dengan meminjam uang dari keluarga dan teman untuk memulai lagi ‘sekolah liar’-nya, seraya berharap dukungan dari kelompok pelajar Inlandsche Kweekschool, atau sekolah guru untuk pribumi, dari Soerakarta.
Di sisi lain, pemerintah Hindia-Belanda berharap Soedarmo dan Soelastri menyerah, menerima tawaran mengajar di sekolah pemerintah dengan gaji menggiurkan. Pemerintah Hindia-Belanda menghadapi sekeping besi.
Buiten het gareel tidak sekedar novel orang terjajah, tapi ada universalitas di dalamnya. Pertengkaran antar tokoh berbeda, dan perbincangan tentang teori pedagogi sampai ideologi Marxisme, kesenjangan kota dan desa, perbedaan etnis Jawa dan Sunda, dan lainnya.
Cokelat vs Cokelat
Soewarsih menyelesaikan Buiten het gareel kurang satu tahun. Ia mengobservasi dengan tajam kolonialisme, dan memaparkannya dengan baik. .
Ketika Soedarmo menerima kunjungan rekan yang bekerja di Politieke Inlichtingen Dienst (PID) atau Dinas Intelejen Politik, Soewarsih — lewat sosok imajiner Soelastri — menulis; “Untuk kesekian kali Sudarmo, suami Soelastri, diingatkan akan tragedi hubungan kolonial, di mana terjadi saling balas dendam antara cokelat vs cokelat untuk melanggengkan kewibawaan orang kulit putih.”
Penolakan Soewarsih terhadap sastra Belanda tertuang dalam narasi Soelastri menolak meminjam novel-novel Belanda seraya berkata; “Saya sebenarnya menganggap sastra Belanda menjengkelkan. Saya tidak menyukainya. Ada begitu sedikit hal yang terjadi Belanda, semuanya berjalan lambat, berat, padat, dan membosankan.”
Kalimat di atas lebih dari cukup untuk kita simpulkan betapa Soewarsih menolak sistem kolonial. Ia tidak pernah menjadi bagian negara kolonial. Perlawanan Soewarsih abadi, meski namanya lenyap di tengah belantara sejarah.