Subak : Warisan Budaya Dunia
JAKARTA — Google tanggal 29 Juni memasang doodle bergambar petani sedang duduk sebuah di dangau di puncak bukit sambil memandang hamparan sawah beraksara Google dengan latar belakang lereng terasering sebagai subak di Bali.
Tanggal itu rupanya Google sedang mengenang ketika Subak ditetapkan oleh UNESCO 8 ntahun yang lalu.
Subak sebagai sistem tata kelola irigasi tradisional telah menajdi pilar dan ciri dari kebudayaan Bali.. Melalui subak kegiatan pelestarian lingkungan dapat dipertahankan secara berkelanjutan dalam sistem tradisi yang mampu menyangga pembangunan pertanian di Bali.
Subak sebagai identitas masyarakat tani di Bali bertahan karena pengkuhnya masyarakat bali dalam mengamalkan konsep Tri Hita Kirana (THK) yang diterapkan dalam kehidupan sehari-hari sebagai wujud harmonisasi antara manusia dengan sang pencipta dan alam lingkungannya.
THK mengacu kepada hubungan antara manusia dan Ida Sanghyang Widhi (parhyangan), manusia dengan manusia (pawongan) dan manusia dengan alam (palemahan). Oleh karena itu THK sangat mempengaruhi masyarakat bali dalam melakukan aktivitas bertani di lahan sawah.
Sistem perairan subak sudah dikenal lama dalam masyarakat Bali terkait dengan sistem sawah. Dalam Prasasti Sukawana (aI) yang dikeluarkan tahun 882 M, termaktub kata huma dan perlak (tegal). Huma bermakna sawah. Orang Bali sampai saat ini menyebut sawah dengan kata huma.
Subak yang dikenal sekarang secara tradisi tidak banyak berubah dari masa ke masa. Sistem pengairan dan lahan cocok tanam yang disebut huma atau sawah telah disebutkan sejak abad ke 9 Masehi.
Di Prasasti Bebetin bertarikh 896 M tercantum istilah undagi pangarung yang artinya tukang membuat trowongan air. Di Prasasti Trunyan (891 M) ditemukan istilah ser (seh) danu yang artinya kepala air. Istilah seh kini menjadi pekaseh atau petugas yang mengatur sistem irigasi.
Walau kata subak belum di temukan di abad 10 M, namun sumber prasasti di abad 10 M tersebut secara tersirat menggambarkan adanya sistem pengelolaan dan pengaturan air untuk huma atau sawah. Hal itu merupakan informasi tertua untuk melihat sejauh mana subak sudah berkembang di Bali.
Kata subak terlacak pada Prasasti Pandak Bandung yang bertarikh 1071 M. Dalam prasasti Pandak Bandung nama arkhais dari subak adalah kasuwakan yang kemudian bergeser menjadi suwak dan kemudian menjadi subak.
Demikian pula dalam Prasasti Klungkung yang dikeluarkan Anak Wungsu pada 1072 M, kata kasuwakan kembali termaktub, dengan bunyi sawah kadangan i kasuwakan rawas, yang artinya sawah di desa Kadangan di wilayah kasuwakan Rawas. Menariknya, kata huma sudah berganti dengan sawah.
Prasasti Pangotan C keluaran 1181 M, isinya merupakan perintah Śri Māhāraja Haji Jayapangus Arkajacihña, yang telah membebaskan iuran atau pajak terhadap 18 subak yang merupakan daftar nama-nama sawah yang menerapkan sistem subak.
Selain sumber prasasti, terdapat pula sumber dari naskah lontar yang menyebutkan subak. Misalnya dalam Lontar Markadeya Purana yang mengisahkan Resi Markandeya di abad 12-13 M yang datang dan mengembangkan Pulau Bali. Sampai akhirnya tiba di suatu tempat yang datar, luas dan dikelilingi hutan lebat.
Para muridnya, yakni orang-orang Aga mengolah lahan tersebut untuk pertanian dan tempat itu dinamakan Puwakan, tidak jauh dari Desa Taro. Kata Puwakan kemudian berubah menjadi kasuwakan, lalu suwakan kemudian menjadi subak. Ditempat itu Resi Markandeya membuat Pura yang diberi nama Pura Gunung Raung.
Demikian pula dalam Naskah Negarakertagama yang ditulis Mpu Prapanca tahun 1365 M menceritakan bahwa Bali menerapkan tata cara Majapahit.Pada 1343 Majapahit mengangkat seorang Asedahan yang bertugas mengorganisasikan dan memungut pajak pertanian (tigasana) dari beberapa Subak. Asedahan kini merupakan jabatan yang disebut sedahan
Struksur sosial dan infrastruktur dalam Subak
Sumberdaya swadaya masyarakat merupakan ciri utama dalam pengelolaan subak yang dikelola secara berkelompok dan berjenjang termasuk dalam pembagian peran setiap anggota kelompok.
Struktur organisasi subak terdiri dari pekaseh (ketua subak), Petajuh (wakil ketua), penyarikan (ulis/juru tulis), petengan (juru raksa), kasinoman (kurir). Selain adanya perangkat dalam subak, juga dikenal istilah munduk, yaitu sub kelompok petani yang anggotanya berjumlah 20-40 orang dan ketuanya disebut pengliman.
Diwilayah Sarbagita (kawasan metropolitan Denpasar–Badung–Gianyar–Tabanan) ditemukan susunan organisasi subak seperti Kelian Gede (Pekaseh), Penyarikan, wakil kelian tempek, Kesinoman, Kerama dan ada juga pengais keuangan.
Intrumen hukum adat yang disepakati dalam subak disebut awig-awig yang dimusyawarahkan antar warga dengan sebutan sangkepan. Sangksi bagi yang melanggar kesepakatan disebut pararem. Kesepakatan awig-awig bisa tertulis ataupun lisan. Selain awig-awig, struktur sosial lainnya dalam subak adalah gotong royong yang berkaitan dengan musim tanam padi
Fasilitas utama dari irigasi subak (palemahan) untuk setiap petani anggota subak adalah pengalapan (bendungan air), jelinjing (parit), dan sebuah cakangan (suatu tempat/alat untuk memasukkan air ke lahan/ bidang sawah garapan).
Jaringan sistem pengairan dalam subak berdasarkan urutannya terdiri dari : empelan sebagai sumber aliran air bendungan, bungas adalah pemasukan (in take), aungan adalah saluran air yang tertutup atau terowongan, telabah aya (gede) adalah saluran utama, tembuku aya (gede) adalah bangunan untuk pembagian air utama.
Kemudian telabah tempek (munduk/dahanan/kanca) adalah saluran air cabang, telabah cerik adalah saluran air ranting, telabah panyacah (tali kunda) di beberapa tempat dikenal kepenasan (untuk 5 orang), dan pamijian (untuk sendiri/1 orang).
Selain sistem strukturalnya, subak juga memiliki kekhasan dalam hal ritual upacara keagamaan yang berlangsung di dalamnya. Dalam subak, dikenal adanya ritual yang berlaku secara perseorangan dan ritual berkelompok (tingkat munduk/tempek dan subak).
Subak sebagai sistem tradisional mulai resmi didefinisikan dalam yuridis formal oleh Belanda tahun 1891. I Ketut Wirta Griadhi dkk dalam Subak dalam perspektif hukum menuliskan definisi subak menurut Belanda : Kumpulan sawah-sawah yang dari saluran yang sama atau dari cabang yang sama dari suatu saluran, mendapat air dan merupakan pengairan.
Kemudian Clifford Geertz (1967) dalam Tihingan : a Balinese Village mendefinisikan subak sebagai Areal pesawahan yang mendapat air irigasi dari satu sumber. Beberapa peneliti berikutnya seperti I Gusti Ktut Sutha dalam Meninjau Persubakan di Bali (1978) dan I Nyoman Sutawan dalam Subak, sistem irigasi tradisional di Bali : sebuah canangsari (1993) mendefinisikan tentang subak.
Peraturan Pemerintah Daera Tingkat I Bali mendefinisikan Subak adalah masyarakat hukum adat di Bali yang bersifat sosio agraris religius yang secara historis didirikan sejak dulu kala dan berkembang terus sebagai organisasi penguasaan tanah dalam bidang pengaturan air dan lain-lain untuk pesawahan di dari sumber air dalam suatu daerah.
Peraturan Pemerintah tahun 1982 kemudian menetapkan subak sebagai masyarakat hukum adat di Bali yang bersifat sosio agraris yang secara historis tumbuh dan berkembang sebagai organisasi di bidang tata guna air di tingkat usaha tani.
Subak dan pariwisata
Subak sudah diusulkan ke UNESCO sejak tahun 2000. Akhirnya melalui sidang ke 39 Komite Warisan Dunia UNESCO di Saint Peterburg, Rusia, Subak akhirnya ditetapkan sebagai Warisan Budaya Dunia pada tanggal 29 Juni 2012.
Unesco.org menuliskan lanskap budaya Bali yang diusulkan dan ditetapkan sebagai Warisan Budaya Dunia terdiri dari lima lanskap sawah dan pura airnya yang meliputi luas total 19.500 ha.
Pura-pura tersebut telah menjadi pusat dari sistem pengelolaan saluran air dan bendungannya yang dikenal sebagai subak yang masih berfungsi sejak abad ke-9 M. Termasuk juga pura Taman Ayun dari abad ke-18.
Secara keseleuruhan Bali memiliki 1.200 penampung air yang satu sumber airnya di kelola oleh 50 hingga 400 orang petani. Lima situs yang ditetapkan tersebut secara lengkap menggambarkan ikatan erat antara alam, agama dan budaya yang sudah berlangsung dari generasi ke generasi.
Sistim subak di lima situs tersebut sampai saat ini masih berfungsi secara penuh, sehingga petani di sekitarnya masih menanam padi secara tradisional tanpa bantuan pupuk kimia atau pestisida karena lokasi tersebut masih dianggap suci.
Lima situs tersebut adalah :
- Pura Ulun Danu Batur di tepi Danau Batur, yang merupakan situs pura tertinggi
- Danau Batur yang airnya dianggap sumber setiap mata air dan sungai.
- Bentang Alam Subak di DAS Pakerisan yang merupakan subak tertua di Bali,
- Subak Catur Angga Batukaru dengan terasnya yang disebutkan dalam prasasti abad ke-10 M dan menjadi contoh candi masa klasik diBali.
- Pura Taman Ayun, yang merupakan pura air regional terbesar dengan arsitekturnya indah dan terkenal. Pura Taman Ayun menjadi salah contoh terbaik sistem subak di Bali.
UNESCO menimbang dan menetapkan subak sebagai warisan budaya dunia diantaranya karena kuatnya pedomanTri Hita Karana sebagai ruh tradisi dan budaya yang membentuk lanskap Bali dalam bentang alam dan budaya sejak berabad-abad lamanya.
Lima lanskap situs subak di Bali yang ditetapkan UNESCO merupakan kesaksian luar biasa yang menggambarkan sikap demokratis yang egaliter, dengan berfokus pada pura sebagai kontrol irigasi sehingga membentu membentuk lanskap tradisi dan budaya selama ribuan tahun terakhir
Pura air di Bali adalah institusi unik, yang selama lebih dari seribu tahun telah mengambil inspirasi dari beberapa tradisi keagamaan kuno, termasuk Saivasiddhanta dan Samkhyā Hindu, Buddha Vajrayana, dan kosmologi Austronesia.
Berkembangnya pemukiman dan industri pariwisata terutama di wilayah Sarbagita lambat laun mengancam keaslian lanskap budaya secara bertingkat, seperti luas hutan, perubahan struktur pengelolaan air dan pura. Maka salah satu solusi yang tepat untuk melestarikan subak di Bali akibat perbuhan infrastruktur adalah pengembangan eco culture tourism.