
Dua buku, “Mengokohkan Peta Jalan Menuju Indonesia Emas 2045” dan “Indonesia Era Presiden Prabowo: Bangkit Sekarang atau Terpuruk Kemudian” diluncurkan sebagai tasyakur Adian Hussaini seiring 60 tahun usianya. Adian menempatkan Indonesia Emas 2045 bukan semata sebagai target statistik. Ia menyebut kemajuan bangsa tidak cukup diukur dari kenaikan pendapatan per kapita, tetapi harus menyentuh kebudayaan, akhlak, dan kualitas jiwa manusia Indonesia. “Indonesia maju bukan hanya soal angka, tapi tentang arah,” katanya.
JERNIH– Usia 60 tahun bukan sekadar penanda waktu bagi Ketua Umum Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) Dr. Adian Husaini. Pada Selasa, 17 Desember 2025, ia menjadikannya sebagai momentum refleksi sekaligus penegasan arah. Dalam rangkaian tasyakur yang digelar sederhana—doa bersama dan santap bersama santri Pesantren At-Taqwa Depok—Adian meluncurkan dua buku elektronik yang membicarakan Indonesia hari ini dan masa depannya di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto.
Dua buku itu berjudul “Mengokohkan Peta Jalan Menuju Indonesia Emas 2045” dan “Indonesia Era Presiden Prabowo: Bangkit Sekarang atau Terpuruk Kemudian”. Peluncuran dilakukan bersamaan dengan diskusi daring yang diikuti kalangan pendidik, aktivis dakwah, dan pemerhati kebijakan publik.

Dalam paparannya, Adian menempatkan Indonesia Emas 2045 bukan semata sebagai target statistik. Ia menyebut kemajuan bangsa tidak cukup diukur dari kenaikan pendapatan per kapita, tetapi harus menyentuh kebudayaan, akhlak, dan kualitas jiwa manusia Indonesia. “Indonesia maju bukan hanya soal angka, tapi tentang arah,” katanya.
Pandangan itu menjadi benang merah kedua buku. Indonesia, menurut Adian, sedang berada di persimpangan: memiliki peluang besar untuk bangkit di era pemerintahan Prabowo, namun juga menyimpan risiko terperosok bila pembangunan hanya ditopang pendekatan materialistik semata. Gagasan tersebut dielaborasi dalam buku Indonesia Era Presiden Prabowo: Bangkit Sekarang atau Terpuruk Kemudian, yang menghimpun refleksi Adian atas satu tahun awal pemerintahan Prabowo Subianto
Buku tersebut menyoroti tantangan mendasar yang dihadapi pemerintahan Prabowo, mulai dari ketimpangan ekonomi, mental birokrasi, hingga problem karakter bangsa. Adian menekankan bahwa janji pertumbuhan tinggi dan kekuatan negara tidak akan berumur panjang jika tidak disertai pembangunan manusia secara utuh—jiwa dan raga.
Dalam konteks itu, pendidikan ditempatkan sebagai kunci. Adian memaparkan peta jalan pendidikan unggul yang selama ini ia sosialisasikan, yakni konsep TOP: Tanamkan adab atau akhlak mulia, Utamakan ilmu-ilmu fardhu ain, dan Pilih ilmu-ilmu fardhu kifayah yang tepat. Pendidikan, menurutnya, bukan sekadar mencetak tenaga kerja, tetapi membentuk manusia berkarakter yang mampu memimpin.
“Dua puluh tahun adalah waktu yang cukup untuk melahirkan satu generasi unggul yang kelak memimpin Indonesia,” ujar Adian, yang juga ketua Program Doktor Pendidikan Agama Islam Universitas Ibn Khaldun Bogor itu.
Ia mencontohkan penerapan konsep tersebut di Pesantren At-Taqwa Depok dan Sekolah Tinggi Ilmu Dakwah Mohammad Natsir DDII. Dari lembaga-lembaga itu, kata Adian, lahir lulusan dengan budaya literasi kuat dan adab yang terjaga—dua hal yang ia nilai kian langka dalam sistem pendidikan modern.
Dalam buku yang sama, Adian juga mengulas hubungan negara dan umat. Ia menyebut umat Islam memiliki peluang historis pada era Prabowo untuk terlibat aktif membangun bangsa, bukan sebagai penonton. Pandangan itu berangkat dari pengalamannya bertemu langsung dengan Presiden Prabowo dalam sejumlah forum bersama organisasi kemasyarakatan Islam.

Dari pertemuan tersebut, Adian menangkap keseriusan Prabowo untuk membawa Indonesia menjadi negara kuat dan bermartabat. Namun, ia mengingatkan, kekuatan negara tidak boleh dibangun dengan mengorbankan nilai-nilai moral dan keadilan sosial. Negara kuat, tulis Adian dalam bukunya, adalah negara yang berani menata ulang orientasi pembangunan—tidak hanya mengejar pertumbuhan, tetapi juga kebahagiaan dan keadilan.
Gagasan itu berkelindan dengan kritik Adian terhadap penyakit klasik bangsa: cinta dunia yang berlebihan. Ia mengutip pandangan tokoh-tokoh nasional dan ulama tentang bahaya mentalitas tersebut bila menjangkiti elite politik dan birokrasi. Dalam kerangka inilah, pemerintahan Prabowo dinilai berada pada ujian awal: apakah mampu membangun kekuatan negara tanpa mengulangi kesalahan lama.
Sementara itu, buku “Mengokohkan Peta Jalan Menuju Indonesia Emas 2045” lebih menekankan aspek strategis jangka panjang. Indonesia Emas, menurut Adian, harus dipahami sebagai proyek peradaban. Target 2045 hanya akan bermakna bila disertai kesadaran kolektif untuk membangun manusia Indonesia yang beriman, berilmu, dan beradab.
Tasyakur 60 tahun Adian Husaini pun berakhir tanpa gegap gempita. Tidak ada perayaan besar, hanya doa dan diskusi. Namun, dua buku yang diluncurkan hari itu menegaskan satu hal: di tengah euforia dan skeptisisme terhadap pemerintahan baru, masih ada suara yang mengingatkan bahwa masa depan Indonesia ditentukan bukan hanya oleh siapa yang berkuasa, melainkan oleh arah nilai yang dipilih bangsa ini.
Dalam pandangan Adian, era Prabowo adalah kesempatan—bukan jaminan. Bangkit sekarang atau terpuruk kemudian, tulisnya, bergantung pada keberanian bangsa menata ulang tujuan pembangunan dan menempatkan akhlak sebagai fondasi. []






