Teka-teki Foto Pertempuran Tjengkareng 1946
- Tiga penulis buku itu bertanya apakah para tawanan disuruh menggali kuburnya sendiri.
- Tidak ada bukti eksekusi berlangsung usai Pertempurn Tjengkareng 1946, tapi kemungkinan itu ada.
JERNIH — Cerita ini terdapat dalam buku Koloniale Oorlog 1945-1949: Gewenst en Ongewenst Beeld, yang artinya Perang Kolonial 1945-1949: Citra yang Diinginkan dan Tidak Diinginkan.
Buku bercerita tentang pertempuran di sejumlah tempat di Indonesia, yang dilengkapi foto aksi tentara Belanda mengakhiri perlawanan Tentara Republik Indonesia (TRI). Khusus Perang Tjengkareng, ada dua foto. Satu foto memperlihatkan kondisi tawanan yang compang-camping, dengan satu tawanan tak bercelana.
Satu foto lagi — menurut tiga penulis buku; Louis Zweers, Erik Somers, dan Rene Kok — mengandung tanda tanya. Artinya, foto itu menyimpan misteri.
Kisah Pertempuran Tjengkareng pendek saja. Penulis memulai dengan pergerakan pasukan Belanda, tidak disebut kesatuannya, dan prajurit KNIL dari Pesing ke Cengkareng pada 30 April 1946.
Setahu saya, serangan ke Cengkareng dilakukan pasukan Belanda dari Brigade U. Cengkareng saat itu dipertahankan TRI pimpinan Letkol Singgih, dibantu Pasukan Kepolisian Banten di bawah komando Kapten Ari Amangku.
Sejumlah peleton tentara Belanda dan KNIL menyusur Tangerangsche Weg, kini Jl Daan Mogot, dan mendekati Landhuis Tjengkareng I, rumah pendesaan yang dibangun tuan tanah Hendrick van Stocktum tahun 1762. Namun, gerakan tentara Belanda dan KNIL terhenti setelah satu tentara kulit putih tewas dimangsa proyektil penembak jitu, dan enam lainnya luka serius dan terkapar sulit dijangkau petugas kesehatan.
Tidak ada lagi serdadu Belanda dan KNIL yang berani berdiri atau menongolkan kepala. Mereka berlindung di belakang kendaraan lapis baja atau di balik pohon. Pengintai mencari tahu lokasi penembak jitu dengan teropong.
Penembak jitu TRI bertebaran di ceruk atap tinggi Landhuis Tjengkareng I, yang memungkinkan mereka bebas membidik. Penembak jitu TRI lainnya bertebaran di pematang sawah kering tanpa padi. Jumlah mereka tak diketahui.
Belanda dan KNIL tak yakin bisa memenangkan kontak terbuka di persawahan. Mereka hanya akan menjadi mangsa empuk penembak jitu. Yang bisa mereka lakukan adalah membombardir Landhuis Tjengkareng I dengan mortir.
Yang terjadi berikutnya adalah dentuman mortir di sekujur Landhuis Tjengkareng I, dan persawahan di sekelilingnya. Serdadu KNIL dan Belanda bergerak. Penembak jitu keluar dari Landhuis Tjengkareng I dengan tangan di atas kepala.
Tidak ada informasi berapa korban tewas di pihak TRI. Penulis buku itu mengatakan kerugian di pihak TRI sangat besar. Juga tidak ada informasi ke mana sisa pasukan TRI dan Kepolisian Banten mundur.
Fotografer tentara Belanda memotret situasi pertempuran tapi sebagian negatif film mereka hilang. Yang tersisa adalah gambar-gambar akhir pertempuran; kehancuran Landhuis Tjengkareng I dan serdadu TRI yang menyerah.
Foto kedua, ini yang misterius atau setidaknya menimbulkan tanda tanya, memperlihatkan tujuh tawanan — di bawah todongan senapan mesin ringan dan Lee-Enfield dengan bayonet — diperintah menggali lubang di semak-semak di belakang Landhuis Tjengkareng I.
Keterangan foto di dalam artikel menyebutkan tujuh tawanan itu terlihat tegang, yang membuat siapa pun bertanya apakah para tawanan sedang menggali kuburnya? Tidak ada jawaban untuk pertanyaan itu sebab rol film hasil jepretan fotografer Brigade U tidak lengkap.
Tiga penulis buku ini menutup artikel dengan mengatakan; “Kemungkinan eksekusi tidak ada.” Saya tidak percaya. Sepekan sebelum menyerang Cengkareng, serangan kilat Brigade W terhadap konsentrasi pasukan TRI di Pesing berakhir dengan pembantaian 71 prajurit Indonesia tak bersenjata.
Soal negatif yang hilang adalah klaim untuk menghilangkan barang bukti. Di sisi lain, pihak Indonesia juga tidak pernah menjawab pertanyaan ini dengan melacak lokasi penggalian yang terletak di belakang Landhuis Tjengkareng I — bangunan karya arsitek Michiel Romp yang selama 200 tahun menjadi identitas tanah partikelir Cengkareng.