Tentara Israel Menutup Jalan Al-Rashi, Sekitar 600.000 Warga Terjebak di Kota Gaza

Buldoser dan kendaraan lapis baja Israel terlihat bergerak maju dalam jarak ratusan meter dari rumah-rumah, sesekali melepaskan tembakan untuk mencegah keluarga kembali atau melarikan diri.
JERNIH – Pasukan Israel telah menutup jalan pesisir al-Rashid, jalur arteri terakhir kota yang menghubungkan utara, tengah, dan selatan Jalur Gaza. Dulunya merupakan jalur penyelamat bagi keluarga, konvoi bantuan, dan ambulans, kini telah menyusut menjadi koridor satu arah menuju selatan, dipatroli oleh tank dan tentara, serta dikendalikan inspeksi dan rasa takut.
Bagi penduduk Gaza yang kelelahan, penutupan jalan yang dilakukan sejak Rabu (1/10/2025) ini menandai rangkaian pengepungan berikutnya. Alih-alih memicu eksodus massal seperti yang diperkirakan tentara Israel, hampir 600.000 orang masih terjebak di Kota Gaza, tidak mau atau tidak mampu melarikan diri, menurut perkiraan resmi.
Berbicara kepada The New Arab (TNA), penduduk Palestina di Kota Gaza mengatakan bahwa mereka berpegang teguh pada reruntuhan rumah mereka yang hancur, atau menolak menuju ke kamp-kamp pengungsian yang penuh sesak dan mengerikan di selatan.
Dengan Jalan Salah al-Din, yang menghubungkan ujung utara dan ujung selatan Jalur Gaza, diblokir sejak Maret, Kota Gaza telah berubah menjadi semenanjung terisolasi, dikelilingi oleh puing-puing, dikepung oleh pos pemeriksaan militer Israel, terkena bombardir dari laut, dan tercekik oleh dengungan pesawat tak berawak di atas kepala.
Serangan tanpa Akhir
Di daerah kumuh al-Jalaa di pusat Kota Gaza, Umm Mohammed al-Jarousha, seorang ibu tiga anak, mengenang momen ketika tank muncul di depan pintu rumahnya tepat sebelum jalan ditutup.
“Mereka [pasukan tentara Israel] menyuruh kami pindah ke selatan. Mereka menggeledah tas anak-anak seolah-olah belas kasihan sudah mati. Saya tidak tahu harus ke mana, jadi saya kembali,” ujarnya kepada TNA . “Sekarang hidup kami terhambat di bawah lampu merah, rumah sakit tutup, makanan langka, dan obat-obatan telah lenyap.”
Buldoser dan kendaraan lapis baja Israel terlihat bergerak maju dalam jarak ratusan meter dari rumah-rumah, sesekali melepaskan tembakan untuk mencegah keluarga kembali atau melarikan diri.
Beberapa penduduk mengambil risiko berlindung di jalan-jalan samping dan gang-gang, tetapi sebagian besar tetap membeku di tempat, terjebak antara bertahan di reruntuhan rumah mereka atau mempertaruhkan nyawa dalam perjalanan ke selatan.
Dampaknya langsung terasa pada sektor kesehatan Gaza yang rapuh. Kementerian Kesehatan mengonfirmasi bahwa ambulans tidak dapat lagi bergerak bebas, sehingga mengganggu operasional mendesak di Al-Shifa, rumah sakit terbesar di daerah kantong pesisir tersebut.
“Kita tidak lagi bicara soal layanan kesehatan. Kita hanya berusaha menyelamatkan nyawa orang. Tidak ada bahan bakar, tidak ada obat-obatan, dan para dokter kita sudah kolaps,” ujar Monir al-Borsh, Direktur Jenderal Kementerian Kesehatan Palestina, dalam siaran persnya.
Keruntuhan meluas hingga ke luar rumah sakit. Sekolah-sekolah penuh sesak dengan keluarga-keluarga yang mengungsi, toko-toko roti beroperasi hanya dengan sebagian kecil kapasitasnya, dan para ibu berjalan berjam-jam mencari roti atau air bersih.
“Saya mengubur tetangga saya dengan tangan saya sendiri di bawah reruntuhan sementara anak-anak saya menonton, gemetar di sudut. Tidak ada rumah yang tersisa, dan tidak ada tempat aman,” ujar Abu Mustafa, seorang pria Palestina yang tinggal di Gaza, kepada TNA .
Namun, ia tidak dapat menguburkan putra sulungnya yang terbunuh tiga hari lalu karena jasadnya tertimbun reruntuhan. “Tentara Israel menghukum kami [warga sipil yang tidak bersalah] meskipun mereka tahu betul bahwa tidak ada militan di Kota Gaza,” katanya.
Meskipun situasi di Kota Gaza sangat buruk, Abu Mustafa menolak pergi ke selatan, bukan karena ia seorang pahlawan, tetapi karena ia hanya akan lolos dari “kematian” ke “neraka”, seperti yang ia gambarkan.
Pengungsian Paksa
Bagi banyak warga Palestina, penutupan Jalan Al-Rashid bukan sekadar “tindakan pengamanan.” Penutupan ini dipandang sebagai bagian dari strategi yang disengaja. Analis politik yang berbasis di Ramallah, Hani al-Masri, berpendapat, “Mengubah jalan menjadi koridor satu arah ke selatan adalah alat tekanan kolektif, sebuah strategi untuk secara paksa membentuk kembali populasi Gaza.”
Pernyataannya menggemakan kekhawatiran warga setempat bahwa Israel sedang merancang gelombang pengungsian lainnya. Para aktivis menggambarkan penutupan tersebut sebagai “operasi pembersihan lapangan” yang dirancang untuk mengusir keluarga-keluarga ke selatan sambil memperkuat kendali militer atas Kota Gaza.
Langkah ini diambil ketika Amerika Serikat mengedarkan rencana politik baru untuk mengakhiri perang, yang kabarnya disambut baik Perdana Menteri Israel. Namun, warga di lapangan tidak melihat perubahan apa pun: pemboman terus berlanjut, pengepungan semakin ketat, dan kehidupan sehari-hari dirusak oleh perintah militer yang membuat upaya bertahan hidup hampir mustahil.
Seruan untuk akuntabilitas telah diajukan oleh anggota parlemen Eropa dan PBB, yang memperingatkan bahwa mengubah infrastruktur menjadi alat pemindahan paksa merupakan preseden yang berbahaya. Namun, bagi mereka yang berada di dalam Kota Gaza, pernyataan seperti itu terasa hampa.
“Tidak ada yang melindungi kami,” ujar Ahmed al-Turk, yang berbasis di Gaza , kepada TNA . “Kami perlahan-lahan terhapus. Dunia sedang memperdebatkan rencana sementara kami menguburkan korban tewas.”
Kota Gaza kini lebih menyerupai kurungan daripada metropolis. Antrean roti mengular hingga berjam-jam, toko roti nyaris tak beroperasi, dan air bersih menjadi langka bak emas.
Sementara itu, laporan lokal memperkirakan lebih dari 234.000 warga Palestina telah tewas, terluka, atau hilang sejak perang Israel dimulai. Secara resmi, Kementerian Kesehatan di Gaza melaporkan bahwa Israel telah menewaskan lebih dari 66.000 orang , terutama perempuan dan anak-anak.
“Ini bukan perang antar-tentara. Ini genosida gerak lambat. Orang-orang diubah menjadi angka-angka dalam daftar pengungsian,” ujar Mahmoud Basal, juru bicara pertahanan sipil, dalam sebuah pernyataan pers.
“Satu-satunya jalur aman untuk membawa makanan dan obat-obatan telah terputus. Pengumuman dan pidato tidak ada artinya jika bantuan tidak dapat menjangkau warga sipil,” tambahnya.
“Kecuali Jalan Al-Rashid dibuka kembali dan pemboman dihentikan, Kota Gaza akan runtuh. Penduduknya masih terjebak di antara reruntuhan dan laut, menghadapi kematian yang lambat sementara dunia mengalihkan pandangannya ke tempat lain,” ujarnya.






