Crispy

The Fate of Ophelia, Ketika Taylor Swift Menulis Ulang Takdir Klasik

Ophelia mendadak trending. Ia adalah tokoh rekaan karya Shakespeare. Oleh Taylor Swift sosok tersebut diorbitkan kembali. Siapa dia? Mengapa Swift memilihnya dalam karya terbarunya?

JERNIH – Dalam album The Life of a Showgirl (2025), Taylor Swift kembali menggunakan referensi sastra untuk memperkuat narasi emosionalnya. Lagu pembuka, The Fate of Ophelia, meminjam nama salah satu tokoh paling tragis dalam sejarah sastra: Ophelia dari Hamlet karya William Shakespeare. Pilihan ini bukan kebetulan — Swift menjadikan Ophelia sebagai simbol yang ia dekonstruksi untuk berbicara tentang kehancuran, penyelamatan, dan kontrol atas hidup sendiri.

Dalam naskah Hamlet, Ophelia dikenal sebagai sosok lembut yang perlahan kehilangan kendali atas hidupnya akibat tekanan dari ayahnya, saudara laki-lakinya, dan kekasihnya. Akhir hidupnya — tenggelam di sungai — selama berabad-abad dibaca sebagai metafora penderitaan perempuan yang kehilangan suara dan agensi. Lukisan Ophelia karya John Everett Millais (1851–52) kemudian memperkuat citra itu: tubuh perempuan terapung di air, indah sekaligus tragis.

Swift bukan pertama kalinya menggunakan referensi sastra untuk memetakan kisah pribadinya. Dalam album ini, ia meminjam figur Ophelia untuk menggambarkan titik rapuh seorang perempuan di bawah sorotan publik.

Dalam wawancara yang dikutip TIME, Swift menyebut lagu tersebut sebagai refleksi tentang “hampir tenggelam dalam kesedihan, tapi menemukan tangan yang menarik keluar dari air.” Visual album—pose mengapung, gaun putih, cahaya lembut—jelas merujuk pada lukisan Millais dan mitologi Ophelia.

Namun, yang menarik adalah cara Swift membalikkan takdir tokoh ini. Ia tidak mengulang tragedi Shakespeare, tetapi menulis ulang akhirnya. Jika Ophelia klasik mati tanpa daya, The Fate of Ophelia menggambarkan versi yang diselamatkan—baik oleh cinta, kesadaran diri, maupun keberanian untuk melawan kehancuran. Swift seolah berkata: saya tahu kisah ini, tapi saya menolak tenggelam di dalamnya.

Makna utama lagu ini bukan sekadar romantis, tapi eksistensial. “Ophelia” menjadi simbol dari perempuan yang hampir kehilangan dirinya di tengah tekanan — entah itu publik, cinta, atau sistem yang lebih besar. Swift menempatkan dirinya di garis batas antara kerentanan dan kekuatan, lalu memilih bertahan.

“Dia tergila-gila karena cinta. Jadi, plesetannya, hook-nya seperti, seseorang datang ke dalam hidupmu dan menyelamatkanmu dari takdir tergila-gila karena cinta,” terang Swift panjang lebar.

Pendekatan ini mencerminkan tren baru dalam karya Swift: memadukan ikon sastra dan sejarah seni dengan narasi personal. Ia tidak hanya menciptakan lagu, tetapi juga membangun dialog antara budaya pop dan warisan sastra Barat. Dengan begitu, kisah klasik seperti Hamlet kembali hidup dalam konteks modern—melalui suara perempuan yang kini memegang kendali atas ceritanya sendiri.

“Saya pikir menulis lagu adalah bentuk terbaik untuk membuat apa pun yang terjadi dalam hidup Anda menjadi produktif,” tutup perempuan 35 tahun yang kian matang dalam menyusun puncak karirnya itu.

Album The Life of a Showgirl, yang menampilkan lagu “The Fate of Ophelia” sebagai pembuka, mencatat kesuksesan luar biasa sejak dirilis pada Oktober 2025. Dalam 24 jam pertama, album ini terjual sekitar 2,7 juta kopi di Amerika Serikat, baik dalam format fisik maupun digital. Dalam lima hari, total penjualan meningkat menjadi 3,5 juta unit ekuivalen album, termasuk streaming—menjadikannya salah satu debut album dengan penjualan tercepat dan terbesar dalam sejarah musik modern.

Menurut Forbes, capaian ini juga memperpanjang rekor Taylor Swift sebagai artis dengan performa komersial terkuat dekade ini, sekaligus menunjukkan bahwa strategi visual, tematik, dan referensial—termasuk penggunaan figur Ophelia—berhasil menarik audiens lintas generasi.(*)

BACA JUGA: Grok Imagine Dituduh Bikin Konten Seksual Taylor Swift Tanpa Izin

Back to top button