
Peristiwa longsor pada 22 Maret yang menyebabkan tiga korban meninggal bukan satu-satunya insiden terkait pengelolaan tailing di kawasan ini. Sepekan sebelumnya, pada 16 Maret 2025, banjir besar melanda Desa Labota dan sebagian kawasan IMIP. Banjir tersebut diduga dipicu jebolnya tanggul fasilitas penyimpanan tailing PT Huayue Nickel Cobalt, menyebabkan 341 kepala keluarga atau 1.092 jiwa terdampak.
JERNIH– Insiden longsor kembali mengguncang kawasan industri tambang nikel di Morowali, Sulawesi Tengah. Tiga pekerja dilaporkan tewas tertimbun longsor limbah atau tailing di fasilitas penyimpanan milik PT Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP) pada Sabtu (22/3/2025) dini hari. Peristiwa ini terjadi di area Fatufia, Kecamatan Bahodopi, yang dikenal sebagai pusat kegiatan pertambangan nikel dan kawasan rawan bencana.
Menurut informasi yang dihimpun dari berbagai laporan media dan pernyataan resmi Yayasan Tanah Merdeka (YTM), longsor tersebut menimpa empat pekerja PT Morowali Investasi Konstruksi Indonesia (MIKI), kontraktor dari perusahaan asing asal Tiongkok, PT QMB New Energy Materials. Tiga korban yang diketahui bernama Irfan Tandi, Akbar, dan Demianus masih dalam proses pencarian saat laporan ini diturunkan. Satu orang pekerja berhasil selamat dari kejadian tersebut.
Direktur Pelaksana YTM, Richard Labiro, dalam siaran persnya menyatakan bahwa kecelakaan terjadi di area fasilitas penyimpanan tailing PT QMB New Energy Materials di kilometer 8 kawasan IMIP. Wilayah ini juga digunakan oleh PT Huayue Nickel Cobalt, perusahaan lain yang memproduksi bahan baku baterai kendaraan listrik berupa mixed hydroxide precipitate (MHP) melalui teknologi High Pressure Acid Leaching (HPAL).
“Peristiwa longsor ini membuktikan bahwa pengelolaan tailing di daerah dengan curah hujan tinggi seperti Morowali sangat berisiko,” kata Richard. Ia juga menambahkan bahwa tailing merupakan limbah beracun yang dapat menimbulkan ancaman serius bagi manusia dan lingkungan.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 22 Tahun 2021, tailing dikategorikan sebagai limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) dengan tingkat bahaya dua. Tailing dari proses HPAL umumnya berupa bubur tanah dengan kadar air tinggi yang sangat rentan menjadi lumpur dan longsor saat diguyur hujan deras.
Peristiwa longsor pada 22 Maret bukan satu-satunya insiden terkait pengelolaan tailing di kawasan ini. Sepekan sebelumnya, pada 16 Maret 2025, banjir besar melanda Desa Labota dan sebagian kawasan IMIP. Banjir tersebut diduga dipicu jebolnya tanggul fasilitas penyimpanan tailing PT Huayue Nickel Cobalt, menyebabkan 341 kepala keluarga atau 1.092 jiwa terdampak. Video-video banjir sempat beredar luas di media sosial, memperlihatkan besarnya luapan air dan lumpur di kawasan padat industri tersebut.
Dengan kejadian ini, tercatat sudah enam insiden besar terkait tailing terjadi sepanjang tahun 2025. Namun, informasi mengenai lokasi pasti longsor dan kronologi lengkap kejadian masih belum sepenuhnya jelas, terutama karena kesulitan mendapatkan citra satelit akibat tutupan awan yang tebal di wilayah tersebut.
Yayasan Tanah Merdeka menyoroti buruknya standar keselamatan kerja dan pengelolaan lingkungan oleh perusahaan-perusahaan tambang di kawasan IMIP. Mereka menuntut agar pemerintah segera meninjau kembali seluruh perizinan fasilitas penyimpanan tailing di kawasan tersebut dan melakukan evaluasi menyeluruh terhadap standar Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) di IMIP.
Selain itu, YTM juga mendesak perusahaan-perusahaan seperti PT IMIP, PT QMB New Energy Materials, dan PT Huayue Nickel Cobalt agar bertanggung jawab atas kejadian tersebut dan bersikap transparan dalam memberikan informasi kepada publik.
“Kami melihat pola kecelakaan kerja dan bencana lingkungan yang terus berulang, dan ini menunjukkan lemahnya pengawasan serta minimnya perlindungan terhadap buruh dan warga sekitar,” ujar Richard.
Kecamatan Bahodopi, tempat insiden ini terjadi, telah lama ditetapkan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Morowali sebagai kawasan rawan bencana, termasuk tanah longsor dan banjir. Ironisnya, kawasan ini juga menjadi jantung ekspansi industri nikel nasional yang menyuplai bahan baku energi hijau dunia, termasuk baterai kendaraan listrik.
Hingga berita ini ditulis, belum ada pernyataan resmi dari pihak PT IMIP, PT QMB, maupun PT Huayue mengenai insiden yang menewaskan pekerja mereka. [eos.org/YTM]