Tudingan Nur Alam Anti Etnis Tertentu, Ketua DPW PKS Sultra Yaudu Salam Ajo: Isu Liar yang Sengaja Ditiup-tiupkan Kelompok Tertentu
- Nur Alam adalah sosok yang inspiratif, seorang pejuang yang membela harga diri masyarakat Sultra.
- Nur Alam adalah sosok yang menjunjung tinggi nilai kebersamaan dan keberagaman serta merangkul seluruh suku yang ada di Sultra.
KENDARI — Ketua DPW Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Sulawesi Tenggara (Sultra), Yaudu Salam Ajo, menyatakan bahwa tudingan terhadap Nur Alam, mantan gubernur Sultra, yang dianggap bersikap anti terhadap etnis tertentu adalah isu liar yang sengaja diembuskan oleh kelompok tertentu. Ia mengatakan isu ini hanya bertujuan untuk menghambat pengaruh Nur Alam dalam Pilgub Sultra yang tengah berlangsung.
“Saya menepis tudingan tersebut. Nur Alam bukan anti etnis tertentu,” kata Yaudu Salam Ajo dalam kanal YouTube SipolTV. “Ini adalah isu yang sengaja dimainkan oleh pihak tertentu untuk mengurangi pengaruh Nur Alam dalam dukungannya terhadap pasangan Tina Nur Alam dan La Ode Muhammad Ihsan Taufik Ridwan atau Tina-Ihsan.”
Yaudu menambahkan bahwa isu ini mencuat seiring meningkatnya dukungan publik terhadap pasangan Tina-Ihsan yang didukung oleh Nur Alam. Menurutnya, Nur Alam adalah sosok yang menjunjung tinggi nilai kebersamaan dan keberagaman serta merangkul seluruh suku yang ada di Sultra.
“Saya sangat mengenal Nur Alam,” kata Yaudu. “Beliau adalah figur yang menjunjung tinggi keberagaman dan kebersamaan di Sultra, tanpa ada diskriminasi terhadap kelompok atau suku tertentu.”
Yaudu juga mengingatkan masa kepemimpinan Nur Alam selama dua periode, yaitu 2008 hingga 2013, yang dikenal harmonis dan rukun. Ia menyampaikan bahwa tidak ada perlakuan diskriminatif terhadap suku atau golongan mana pun di Sultra. Bahkan, dalam struktur pemerintahannya, Nur Alam terbukti inklusif dan akomodatif terhadap berbagai kelompok etnis.
“Sikap inklusif itu tercermin dalam kebijakan-kebijakan pemerintahan di era Nur Alam,” ucapnya. “Tidak ada perbedaan perlakuan terhadap suku-suku dari luar Sultra.”
Yaudu menyebut contoh konkret berupa penunjukan Zaidal Abidin, tokoh masyarakat Bugis, sebagai sekretaris daerah Sultra dari 2008 hingga masa pensiunnya pada 2013. Selain itu, Muhammad Hakku Wahab, juga dari etnis Bugis, pernah menjabat sebagai kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Sultra, dan kemudian dipercaya menjadi bupati Kabupaten Bombana pada 2010-2011.
“Nur Alam itu sangat akomodatif. Selama sepuluh tahun memimpin, beliau merangkul tokoh-tokoh Buton, Muna, Bugis, bahkan yang mewakili Jawa dan Bali. Semua diakomodasi di dalam pemerintahan,” ungkap Yaudu.
Karena itu, Yaudu menilai bahwa tudingan anti etnis tertentu terhadap Nur Alam tidak berdasar dan sulit diterima akal sehat. “Stigma itu tidak masuk akal dan hanya diada-adakan,” katanya.
Penyadaran Politik
Yaudu juga menjelaskan bahwa saat ini Nur Alam berkeliling Sultra untuk memberikan edukasi politik kepada masyarakat agar mereka dapat memilih pemimpin masa depan Sultra dengan tepat. Menurutnya, hal ini merupakan upaya menjaga martabat penduduk Sultra, dengan menekankan pentingnya pemimpin yang memahami karakteristik dan kebutuhan daerah.
“Apa yang disuarakan Nur Alam bukan hanya wajar, tetapi juga mencerminkan harapan masyarakat yang ingin dipimpin oleh putra-putri daerah sendiri,” ujarnya.
Yaudu mengimbau agar masyarakat tidak terprovokasi oleh isu-isu liar yang tidak berdasar dan tetap mendukung perjuangan Nur Alam untuk kepentingan Sultra.
“Bagi saya, Nur Alam adalah sosok yang inspiratif, seorang pejuang yang membela harga diri masyarakat Sultra,” kata Yaudu.