Crispy

Warga Israel Gugat Mahkamah Agung, Desak Pembatalan Rencana Pendudukan Gaza

Para penggugat berargumen bahwa keputusan untuk menduduki Gaza diambil oleh pemerintahan minoritas, yang seharusnya bertindak dengan sangat hati-hati dalam masalah sepenting ini, terutama mengingat dakwaan kriminal terhadap Perdana Menteri Benjamin Netanyahu.

JERNIH – Sebuah langkah hukum mengejutkan muncul di Israel ketika sekelompok warga sipil termasuk purnawirawan militer, pengusaha, dan pengacara mengajukan petisi ke Mahkamah Agung. Mereka menuntut pembatalan rencana pemerintah untuk menduduki Kota Gaza, yang mereka nilai diambil tanpa pertimbangan matang.

Menurut situs berita berbahasa Ibrani, Walla, petisi ini berpendapat bahwa keputusan Kabinet Keamanan dibuat bertentangan dengan posisi Angkatan Darat Israel dan badan-badan keamanan lainnya. Petisi tersebut juga menyoroti bahwa keputusan tersebut tidak mempertimbangkan konsekuensi “eksistensial dan internasional” yang bisa ditimbulkan.

Petisi ini dimotori oleh anggota gerakan Standing Together, sebuah gerakan kiri yang fokus pada isu keadilan sosial dan kesetaraan, serta menentang pendudukan dan kebijakan diskriminatif terhadap warga Palestina. Meskipun jajak pendapat menunjukkan mayoritas warga Israel mendukung perang yang dipimpin Perdana Menteri Benjamin Netanyahu di Gaza, demonstrasi besar juga terus menuntut pembebasan sandera, bahkan jika itu berarti harus menghentikan perang.

Peringatan dari Militer dan Alasan di Balik Petisi

Dalam petisinya, para penggugat menulis bahwa keputusan pendudukan Kota Gaza adalah langkah yang diambil bertentangan dengan sikap Angkatan Darat Israel dan badan-badan keamanan lainnya. Selain itu juga tanpa studi yang memadai oleh Kabinet mengenai implikasi eksistensial dan internasional dari langkah tersebut.

Mereka juga menambahkan, meskipun Mahkamah Agung memiliki wewenang hukum terbatas dalam intervensi keputusan politik dan militer, pengadilan setidaknya harus memerintahkan pemerintah untuk “merilis secara publik alasan di balik keputusan ini.”

Petisi tersebut secara khusus menyebut Kepala Staf Angkatan Darat, Eyal Zamir, yang sangat menentang keputusan tersebut. Zamir memperingatkan bahwa pendudukan yang direncanakan akan membahayakan nyawa para sandera, menguras tenaga pasukan reguler dan cadangan, dan bahkan dapat mengarah pada keruntuhan sistem cadangan, yang berpotensi membahayakan keamanan nasional. Meski demikian, posisi Zamir ditolak oleh Kabinet.

Para penggugat juga berargumen bahwa keputusan untuk menduduki Gaza “diambil oleh pemerintahan minoritas, yang seharusnya bertindak dengan sangat hati-hati dalam masalah sepenting ini, terutama mengingat dakwaan kriminal terhadap Perdana Menteri.” Mereka menuduh pertimbangan Netanyahu “mungkin tidak objektif, melainkan politis dan pribadi.”

Persiapan Militer dan Keraguan Atas Kemenangan

Meskipun mendapat penolakan, Kabinet Keamanan pada hari Minggu (31/8/2025) tetap membahas rencana pendudukan kota, yang diberi nama sandi ‘Gideon’s Chariots 2’. Rencana ini merupakan kelanjutan dari operasi sebelumnya yang dianggap gagal mencapai tujuannya, yaitu mengalahkan Hamas dan membebaskan sandera.

Sebagai bagian dari persiapan, surat kabar Maariv melaporkan bahwa Angkatan Darat Israel telah mulai memobilisasi sekitar 60.000 pasukan cadangan. Mereka akan menjalani pelatihan singkat selama tiga hingga empat hari. Beberapa unit akan dikerahkan untuk menggantikan pasukan reguler di perbatasan utara, sementara brigade cadangan lainnya akan diterjunkan untuk bertempur di dalam Gaza dan memperkuat wilayah Tepi Barat.

Namun, surat kabar Haaretz melaporkan bahwa para pejabat senior keamanan Israel memperingatkan selama pertemuan Kabinet bahwa menduduki Kota Gaza tidak akan memberikan kemenangan yang menentukan atas Hamas. Pertemuan tersebut, secara tidak biasa, lebih berfokus pada aspek strategis ketimbang taktis dari tahap perang berikutnya.

Back to top button