Bahkan Sir Raffles Pun Memuji Perempuan Bugis-Makassar
JAKARTA—Tidak sebagaimana budaya di beberapa suu bangsa tertentu, bagi masyarakat Bugis-Makassar perempuan menempati tempat terhormat. Tak jarang di antara mereka memimpin kerajaan dan dituakan di atas para lelaki.
Karena itulah barangkali, Thomas Stanford Raffles dalam magnum opusnya, ‘History of Java’, sempat menuliskan kekaguman pribadinya kepada perempuan Bugis-Makassar tersebut. Tercatat, dalam Appendix F buku tersebut terdapat bagian berjudul ‘Celebes’, halaman xxxvi. Raffles menulis, “..the women are held in more esteem than could be expected from the state of civilization in general, and undergo none of those severe hardships, privations or labours that restrict fecundity in other parts of the world.” Jelaslah bahwa perempuan Bugis-Makassar menempati posisi yang lebih terhormat daripada yang disangkakan, mereka tidak mengalami tindakan kekerasan, pelanggaran privacy atau dipekerjakan paksa sehingga membatasi aktivitas atau pun mengganggu kesuburan mereka, dibanding yang dialami kaumnya di belahan dunia lain.
Sejarah mencatat setidaknya lima perempuan hebat yang pernah hadir di bumi Bugis –Makassar. Di bawah ini kelima perempuan hebat tersebut.
Colli’ Pujié
Colliq Pujié atau Retna Kencana Colli’ Pujié Arung Pancana Toa Matinroé ri Tucaé, adalah seorang perempuan bangsawan Bugis yang hidup pada abad ke-19. Colli’ Pujié Arung Pancana adalah Datu’ (Ratu) Lamuru IX. Beliau bukan hanya bangsawan, tetapi juga pengarang dan penulis, sastrawan, budayawan, pemikir ulung, penyalin naskah Lontara Bugis kuno, penyalin naskah dan juru tulis istana Kerajaan Tanete yang terletak di wilayah Kabupaten Barru saat ini.
Colli’ Pujié adalah orang yang membantu B.F. Mathes, seorang missionaris Belanda yang fasih berbahasa Bugis waktu itu, untuk selama 20 tahun menyalin naskah Bugis dan epos I La Galigo. Jangan salah, epos La Galigo itu panjang lariknya melebihi panjang epos Ramayana maupun Mahabrata dari India. Berkat jasa perempuan hebat Bugis itulah kita mampu membaca epos I La Galigo sekarang ini.
Colliq Pujié juga banyak menulis karya sastra semacam ‘Elong’, ‘Sure’ Baweng’, yang berisi petuah–petuah bernilai estetika sangat tinggi. Karya lain Colli’ Pujié adalah ‘Sejarah Tanete Kuno’, yang pernah diterbitkan penerbit Niemann di Belanda.
Perempuan Bugis yang juga penguasa di Tanete ini mendirikan sekolah rakyat, pada sekitar 1890-an, lebih dulu dibanding RA Kartini. Beliau wafat pada tahun 1919, di Desa Pancana Tanette ri Lau, yang merupakan kampung kelahirannya.
We Maniratu Arung Data
We Maniratu Arung Data, Raja Bone-XXV (1823-1835) adalah salah satu dari beberapa perempuan yang pernah memimpin kerajaan di tanah Bugis. We Maniratu Arung Data terpilih oleh Dewan Ade’ Pitu kerajaan pada 1823, menggantikan saudaranya, To Appatunru Matinroe’ ri Ajabbenteng Raja Bone-XXIV (1812-1823).
Pada masa pemerintahannya, We Maniratu Arung Data, yang merupakan saudara Arung Palakka, ini dikenal sebagai raja yang antipenjajahan VOC. Pada masa pemerintahannya We Maniratu Arung Data dikenal sebagai pelopor bagi sebagian raja-raja di Sulawesi Selatan dalam menolak pembaharuan perjanjian Bungaya (18 November 1667) yang dikehendaki oleh VOC.
Sebagai akibat pembangkangan itu, pada 14 Maret 1824 pasukan VOC di bawah pimpinan Jenderal Van Goen menyerang Kerajaan Bone melalui Pantai Bajoe, sebagaimana ditulis Andi Muhammad Ali.
Untuk memperkuat pasukannya melawan VOC, We Maniratu Arung Data membentuk pasukan wanita yang dilengkapi dengan senjata lawida (semacam alat tenun yang runcing). We Maniratu Arung Data bahkan turun langsung ke medan perang bersama pasukan yang terdiri dari perempuan-perempuan hebat Bugis untuk menghadapi musuh.
Opu Daeng Risadju
Opu Daeng Risadju adalah pejuang wanita asal Sulawesi Selatan yang menjadi pahlawan nasional. Nama Opu Daeng Risaju ketika kecil adalah Famajjah. Ia dilahirkan di Palopo pada 1880, hasil perkawinan antara Opu Daeng Mawellu dengan Muhammad Abdullah to Barengseng. Nama Opu Daeng Risaju merupakan simbol kebangsawanan Kerajaan Luwu.
Opu Daeng Risadju juga merupakan pelopor Partai Syarikat Islam di Sulawesi. Dia terkenal dengan kalimatnya bahwa “Kalau hanya karena adanya darah bangsawan mengalir dalam tubuhku sehingga saya harus meninggalkan partaiku dan berhenti melakukan gerakanku, irislah dadaku dan keluarkanlah darah bangsawan itu dari dalam tubuhku, supaya datu dan hadat tidak terhina kalau saya diperlakukan tidak sepantasnya.”
Pada 1927, Opu Daeng Risadju memulai karir organisasi politik dengan menjadi anggota Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII) cabang Pare-Pare. Opu kemudian terpilih sebagai ketua PSII Wilayah Tanah Luwu Daerah Palopo pada 14 Januari 1930. Dalam masa kepemimpinannya di PSII, Opu berjuang dengan agama sebagai landasannya.
Dukungan dari rakyat yang sangat besar pada Opu membuat pihak Belanda mulai menahan Opu agar tidak melanjutkan perjuangannya di PSII. Belanda menganggap Opu menghasut rakyat dan melakukan tindakan provolatif agar rakyat tidak lagi percaya kepada pemerintah.
Akhirnya, Opu diadili dan dicabut gelar kebangsawanannya. Tidak hanya itu, tekanan juga diberikan kepada suami dan pihak keluarga Opu agar menghentikan kegiatan mereka di PSII. Setelah berbagai ancaman dari pihak Belanda untuk Opu agar ia menghentikan kegiatan di PSII, Opu akhirnya dipenjara selama 14 bulan pada tahun 1934.
Opu kembali aktif pada masa Revolusi. Opu dan pemuda Sulawesi Selatan berjuang melawan NICA yang kembali ingin menjajah Indonesia. Karena keberaniannya dalam melawan NICA, Opu menjadi buronan nomor satu selama NICA di Sulawesi Selatan.
Akhirnya Opu pun tertangkap di Lantoro sehingga ia dibawa ke Watampone dengan berjalan kaki sejauh 40 km. Akibat penyiksaan dari Belanda dan ketua Distrik Bajo saat itu, ia menjadi tuli dan dijadikan tahanan luar. Opu wafat pada tanggal 10 Februari 1964. Beliau dimakamkan di pekuburan raja-raja Lokkoe di Palopo.
Emmy Saelan
Emmy Saelan dilahirkan di Makassar pada 15 oktober 1924, sebagai putri sulung dari tujuh bersaudara. Salah seorang adiknya, Maulwi Saelan, adalah tokoh pejuang dan pernah menjadi pengawal setia Bung Karno.
Emmy Saelan adalah salah satu perempuan hebat Bugis – Makassar dan pejuang wanita Indonesia. Meskipun ia anggota palang merah, tetapi ia selalu berpakaian ala laki-laki dan memilih bertempur di garis depan.
Pada 5 April 1946, Gubernur Sam Ratulangi, bersama pembantu-pembantunya ditangkap Belanda. Dr. Sam Ratulangi adalah pejabat gubernur yang ditunjuk Bung Karno untuk Provinsi Sulawesi.
Berita penangkapan Ratulangi mendapat protes. Salah satunya adalah perawat-perawat putri di Rumah Sakit Katolik ‘Stella Maris’. Mereka melakukan pemogokan umum untuk memprotes penangkapan tersebut. Salah satu tokoh penggerak aksi pemogokan itu tak lain adalah Emmy Saelan.
Emmy Saelan gugur pada 23 Januari 1947, saat memimpin sekitar 40 orang anggota pasukannya bertempur melawan Belanda. Pertempuran terjadi dalam jarak sangat dekat. Seluruh anak buah Emmy gugur dalam pertempuran itu. Tinggal Emmy sendirian. Pasukan Belanda mendekat dan memerintahkan Emmy menyerah tetapi ia menolak dan terus melawan. Senjata yang dia miliki tinggal granat, maka dilemparkanlah granat itu ke arah pasukan Belanda. Emmy turut gugur dalam pertempuran jarak dekat itu.
Andi Siti Nurhani Sapada
Andi Siti Nurhani Sapada lahir di Parepare, Sulawesi Selatan, pada 25 Juni 1929, sebagai keturunan bangsawan. Ayahnya, Andi Makasau Parenregi Lawalo, adalah bangsawan Bugis bergelar Datu Suppa Toa. Ibunya, Rachmatiah Daeng Baji adalah bangsawan Makassar, putri dari Karaeng Sonda, Raja Bontonompo.
Tahun 1962, salah satu perempuan hebat Bugis – Makassar ini mendirikan Institut Kesenian Sulawesi (IKS) untuk menawarkan pendidikan seni kepada putra-putri Indonesia agar lebih mengenal seni tari empat kelompok etnis di Sulawesi Selatan (Makassar, Bugis, Toraja, Mandar) serta mengatur dan menggelar beragam pertunjukan, khususnya tari dan musik daerah.
Melalui lembaga ini pula, Nani mencipta dan menggali tari-tari tradisional. Banyak tari yang semula sudah terkubur, lantaran bubarnya kerajaan-kerajaan, digali dan digubah sampai menjadi tari yang berestetika tinggi. Belasan tari tradisional Sulawesi Selatan yang sarat makna, lahir dari kerja keras dan permenungannya yang dalam. [ ]