Bermodal Awal Kurang dari Rp 100 Ribu, MuslimGirl.com Jadi Platform Muslim Berbahasa Inggris Terbesar
Ketika kembali ke AS setelah mengungsi ke Yordania, dia mulai mengenakan jilbab untuk menantang gelombang antiMuslim yang meningkat.
JAKARTA—Bermodalkan dana yang kalau dirupiahkan kurang dari Rp 100 ribu, saat dirinya masih remaja bertahun lalu, Amani Al-Khatahtbeh membangun situs web. Kini MuslimGirl.com, menjadi platform online Muslim berbahasa Inggris terbesar yang menyuarakan perempuan Muslim.
Belasan tahun kemudian, saat ini, Amani bisa berkeliling dunia, hadir di beberapa pemutaran perdana film dan duduk di panel bersama astronot, mantan presiden dan para feminis.
Dulu pada tahun-tahun setelah peristiwa serangan 11 September 2001 di New York, Amani Al-Khatahtbeh hanyalah seorang remaja Jersey yang gemar menulis blog di kamarnya. Dia menggunakan blognya agar terhubung dengan gadis-gadis muda Muslim lainnya, menentang stereotip Muslim yang dikenakan pihak Barat.
“Dibombardir dengan berita-berita utama yang berkembang (soal serangan itu) dan tidak pernah merasa terwakili dalam berita-berita itu, saya melakukan apa yang dilakukan oleh seorang milenial, yakni beralih ke media sosial,”kata Al-Khatahtbeh. “Saya memutuskan untuk menempatkan diri saya sendiri di luar sana dan menciptakan ruang untuk kembali berbicara.”
Satu dekade kemudian, situs MuslimGirl.com miliknya menjadi majalah online beraudiens global yang berisi beragam konten. Ada di antaranya yang bicara tentang bagaimana rasanya menjadi satu-satunya perempuan berhijab di kelas kickboxing, menawarkan tips kecantikan dan cerita tentang remaja yang memerangi Islamofobia.
Tahun lalu, domain yang dia beli seharga tujuh dolar AS atau sekitar Rp 100 ribu itu dikunjungi lebih dari dua juta pembaca. Situs webnya menjadi platform online berbahasa Inggris terbesar yang menyuarakan perempuan Muslim. Pengusaha teknologi yang sekarang berusia 27 tahun itu mengatakan,”Tujuan kami adalah untuk mendapatkan kembali narasi kami.”
Dia baru berusia sembilan tahun ketika dua pesawat menabrak menara World Trade Center dalam peristiwa 9/11. Ia sangat ingat manakala ayahnya peringatan ayahnya yang merupakan imigran Yordania di New York: “Orang-orang akan menyalahkan kita.”
Korban intimidasi
Setelah insiden tersebut dia mengalami intimidasi. Orang-orang melemparkan telur ke rumahnya dan mencabik-cabik ban mobil ibunya. Keluarganya menghadapi serangan. Untuk sementara waktu, ayahnya memindahkan mereka ke Yordania.
Dia bahagia menjadi gadis yang dilahirkan dan dibesarkan di Jersey, namun di Yordania dia mulai bangga akan asal-usulnya. Dia belajar bahasa Arab dan menghargai makanan dan keramahtamahan Timur Tengah.
Ketika kembali ke Amerika Serikat, dia mulai mengenakan jilbab untuk menantang gelombang antiMuslim yang meningkat. “Saya kehilangan banyak teman, orang-orang mulai memperlakukan saya berbeda,”kata Al-Khatahtbeh. Tapi dia juga menjadi duta atas keimanannya. Para siswa, bahkan guru, menghentikannya manakala bertemu di selasar sekolah dan bertanya tentang Alquran dan Islam.
“Itu membuat saya harus belajar sebanyak mungkin tentang agama saya, seluk-beluknya, apa yang dimaksud dengan Islamofobia, sehingga saya bisa mengerti bagaimana cara meresponsnya,” kata dia, memaparkan.
Akhirnya, ia menyimpulkan bahwa jika orang-orang di sekitarnya memiliki sejumlah pertanyaan tentang agamanya, begitu pula banyak orang lain.
Al-Khatahtbeh mulai berkreasi dengan blognya pada usia 17 tahun dengan bantuan dari teman-teman di masjid lokal di daerahnya. Sebagian besar pekerjaan yang dilakukan untuk blognya ini masih digerakkan secara akar rumput. Adik laki-lakinya, Ameer, seorang mahasiswa jurnalisme di Universitas Rutgers, membantu di bidang komunikasi situs web itu. Meskipun situs web tersebut membayar sekelompok editor, sebagian besar artikel ditulis oleh relawan perempuan Muslim.
MuslimGirl.com juga telah bermitra dengan perusahaan seperti Orly untuk pembuatan cat kuku halal dan mendapat dukungan dari Yayasan Malala. Baru-baru ini, pendiri VaynerMedia, Gary Vaynerchuk menjadi investor.
Topik yang diangkat dengan kategori seperti #woke, #fit dan #fierce memperoleh jangkauan luas. Konten yang diposting termasuk di antaranya daftar 10 ayat-ayat terindah Alquran, Marvel pahlawan Muslim baru dan sebuah cerita tentang bagaimana pemain anggar Olimpiade, Ibtihaj Muhammad yang mengenakan jilbab memiliki boneka Barbie yang dibuat seperti dia.
Situs web MuslimGirl.com dan pendirinya telah merengkuh banyak penggemar setia yang menjadi ‘followers’nya di media sosial di bawah tagar #muslimgirlarmy.
Namun tidak sedikit pula yang mengkritisinya dengan mengatakan bahwa dia terlalu Amerika atau terlalu progresif. Beberapa orang mempertanyakan penampilannya, seperti cara dia mengenakan jilbabnya atau mengapa menunjukkan lengannya. Tatoo, cincin di alis dan kukunya yang panjang terawat pun, dipertanyakan.
Di masa sekarang ini, Al-Khatahtbeh membagi waktunya antara Los Angeles dan New York, menghadiri rapat dengan para mitra bisnis potensial dan membuat konten kesehariannya untuk diposting di Instagram dan Twitter.
Upaya menghapus stereotip
Dalam beberapa tahun terakhir, ia masuk dalam daftar teratas generasi muda berprestasi Forbes ’30 under 30‘. Michelle Obama memintanya untuk berbicara di pertemuan tingkat tinggi perempuan, United State of Women Summit. Hadir dalam panel itu juga astronot Cody Coleman dan diskusi mereka dimoderatori oleh mantan Presiden Amerika Serikat, Bill Clinton. Baru-baru ini ia diminta sebagai anggota komite penasihat untuk pembuatan ulang film laga hidup dari koleksi Disney, “Aladdin” dan menghadiri pemutaran perdana film itu.
“Momen ini mengingatkan saya pada masa lalu, karena ketika saya kecil, Putri Jasmine adalah satu-satunya yang merepresentasi diri saya bahwa saya telah tumbuh dewasa,” ujar Al-Khatahtbeh.
Berada di komite film remake tersebut memberinya peluang untuk mencoba memperbaiki beberapa stereotip yang bermasalah di film yang dulu pernah dibuat, termasuk beberapa hal yang tidak ia perhatikan saat ia masih anak-anak.
Ia menunjuk dua contoh. Pertama, lagu pembuka film itu yang berisi tentang tempat yang jauh yang disebut ‘barbar’, lalu Jasmine mengenakan pakaian penari perut dan rantai yang direpresentasikan dalam konstruksi ‘hiperseksualitas dan ditindas’.
Di situsnya, Al-Khatahtbeh sangat bangga dengan konten-kontennya terkait urusan bagaimana mengatasi masalah-masalah ras dan seksualitas. “Tentu saja, seksualitas perempuan dihormati dalam agama kami, dan itu seharusnya tidak menjadi sesuatu yang membuat kita merasa malu atau dianggap sebagai hal yang tabu,” kata dia.
Sebagian besar pengunjung situsnya bermukim di Amerika Serikat dan Inggris. Diperkirakan 70 persen pembacanya adalah milenial dan Gen Z yang berusia 15 hingga 32 tahun.
Salah satunya cerita paling kontroversial dari situs itu, adalah sebuah artikel yang ditulis seorang transgender Muslim. “Kami ingin mencoba hal baru seperti itu dengan menciptakan ruang dan mengingatkan orang-orang bahwa mereka memiliki tempat di dalam agama kami,” katanya, sedikit mengklaim. [DW/AP]