Brasil dalam Kungkungan Distopia Presiden Bolsonaro
Dunia kian banyak diperintah orang-orang yang tak becus, di antaranya Jair Bolsonaro
JAKARTA—Benar adanya, bila Alquran jauh-jauh hari menyatakan, jangan karena kebencian kita akan suatu kaum—bisa pula berarti segala, mendorong kita untuk berlaku tidak adil. Barangkali, Presiden Brasil Jair Bolsonaro luput belum membaca hal itu.
Bayangkan sebuah masyarakat di mana pelayanan negara telah dikurangi seminimal mungkin, atau bahkan tak lagi dilakukan. Warga dan para pedagang kecil membayar ‘upeti’ langsung kepada kelompok-kelompok bersenjata (milicias) yang sok menjaga keselamatan keluarga atau bisnis mereka. Mafia bersenjata yang sama mengatur pasokan barang-barang penting seperti gas rumah tangga, layanan internet, obat-obatan, sekolah, dan sebagainya.
Pada akhir pekan, warga pergi ke gereja Pentakosta setempat, tempat para menteri–setelah menyampaikan pidato moral yang konservatif, mengedarkan mesin pembayaran elektronik mereka untuk mengumpulkan persepuluhan dari jemaat. Layanan kesehatan diprivatisasi, dan orang-orang diperbolehkan membawa senjata untuk melindungi diri mereka sendiri.
Ini adalah tipe masyarakat dystopia yang ada dalam pikiran Presiden Brazil Jair Bolsonaro. Sejak ia menjabat pada awal 2019, ia melakukan segala yang dia bisa untuk merongrong Republik Brasil (dalam bahasa Latin, res publica, kepentingan publik).
Sasarannya sehari-hari adalah lembaga-lembaga publik, dan menteri-menteri yang ditunjuknya berjuang melawan hal-hal yang seharusnya ditangani oleh kementerian mereka sendiri. Kementerian Pendidikan, misalnya, membenci universitas negeri, guru, dan penelitian, sementara Kementerian Lingkungan Hidup bertempur dan menembakkan server publik yang akan membela Amazon.
Bolsonaro menjalankan misi untuk menghancurkan segala sesuatu yang ia yakini dibangun oleh kaum ‘kiri’. Itulah sebabnya ia bertujuan untuk menghapuskan setiap lembaga republik di negara itu. Dia merongrong, merongrong, atau bahkan menutup lembaga publik mana pun yang telah dibentuk untuk mengendalikan kehidupan sipil dan norma-norma yang mengatur kehidupan sosial.
Perangkap Bolsonaro
Setiap pekan Bolsonaro menyampaikan konferensi pers mingguan, saat ia menjadikan kaum minoritas seperti kaum gay, masyarakat adat, dan perempuan sebagai sasaran hujatan. Dia menggunakan pertemuan tersebut dan media sosialnya untuk memprovokasi ‘kiri’ dan sejauh ini, partai-partai politik kiri-tengah atau kiri, gerakan sosial, dan bahkan media mainstream tak melakukan respons apapun.
Baru-baru ini Bolsonaro menggunakan aplikasi pesan untuk berbagi dengan beberapa ‘teman’–panggilan untuk para demonstran jalanan yang ia dukung (eufimisme untuk kata ‘bayar’, ‘danai’) melawan Mahkamah Agung dan Parlemen negara itu. Para pendemo percaya bahwa lembaga-lembaga tersebut mencegah Bolsonaro dari melakukan hal-hal baik yang ia ingin lakukan untuk Brasil.
Jelas, demonstrasi itu tak lebih dari provokasi Bolsonaro. Kantor Kepresidenan dan Parlemen baru saja menegosiasikan anggaran federal tahun ini, negosiasi reguler yang berlangsung setiap tahun.
Bolsonaro tidak menentang demokrasi, karena ia tidak memiliki karisma atau kepemimpinan untuk memimpin kudeta militer, pemerintahan otoriter atau kediktatoran. Tindakannya, jika tidak dicegah, akan mengarah pada sesuatu yang lebih buruk dari itu: sebuah negara tanpa lembaga negara, sejenis masyarakat di mana setiap keluarga menjaga dirinya sendiri atau dilindungi geng-geng bersenjata yang mendapat dukungan Bolsonaro.
Dapat dimengerti, orang-orang takut kemungkinan kembalinya kediktatoran militer Brasil. Selama 21 tahun kediktatoran (1964-1985) meninggalkan bekas luka mendalam pada jiwa bangsa. Masih banyak sisa orang “hilang” yang ditemukan, dulunya disiksa dan dibunuh militer. Para penyiksa dan para criminal alat-alat negara itu tidak pernah dituntut.
Namun demikian, jika kaum kiri terus menggunakan “lensa kediktatoran,” “bahaya kudeta militer,” dan kategori lama lainnya untuk menganalisis situasi Brasil hari ini, mereka tidak akan dapat menemukan diagnosis yang tepat. Akibatnya, mereka akan terus gagal menentang Bolsonaro yang terlihat hendak mengobark-abrik konstitusi dan aturan-aturan kewarganegaraan Brasil.
Dari mana pandangan Bolsonaro datang?
Seperti yang ditunjukkan oleh filsuf dan penulis Paulo Ghiraldelli, jr dalam buku terbarunya, ‘A Filosofia Explica Bolsonaro’ (‘Filsafat untuk Memahami Bolsonaro’), Bolsonaro menghadiri sekolah militer paling terkenal di Brazil saat ia remaja. Di sana, ia belajar tentang ideologi keamanan nasional. Dan hanya itu yang ia ketahui.
Ideologi anti-komunis masa lalu itu berkhotbah bahwa Brasil dan Amerika Selatan tidak akan aman kecuali semua ide dan orang kiri dihilangkan, secara fisik jika mungkin. Kepala Bolsonaro beku dalam periode itu, dan dia tidak pernah belajar sesuatu yang baru.
Ideologi keamanan nasional itulah yang ia bicarakan selama hampir tiga dasawarsa sebagai wakil federal. Ia selalu terpilih dengan suara dari pensiunan militer atau putra-putri militer dan para janda mereka. Tidak ada yang terbiasa mendengarkannya, dan ia dianggap sebagai backbencher (anggota Parlemen yang bukan menteri) anonim yang aneh.
Tiba-tiba, karena beberapa kondisi politik yang luar biasa yang mungkin tidak akan pernah terulang, ia melompat ke kursi presiden. Mengapa orang-orang berpikir dia akan berubah? Dia ada di sana, mengendalikan semua orang, dan mengambil kepuasan yang luar biasa bahwa sekarang seluruh bangsa harus mendengarkannya, dan segala yang ‘kiri’ pun jatuh ke dalam setiap kata aneh yang datang dari mulutnya.
Sementara itu, Menteri Ekonomi Paulo Guedes, mengeluarkan semua “reformasi” konstitusional yang akan membentuk negara Brasil di masa depan, dalam arti harfiah, segala kekurangan yang ada di negara itu.
Reformasi hak-hak pekerja telah dilaksanakan, tingkat pengangguran melonjak, ‘uberisasi’ tenaga kerja merebak, kelaparan telah kembali menyambangi keluarga-keluarga, dan para tunawisma berkembang biak di jalanan. Selain itu, reformasi pensiun telah disetujui, dan perempuan dan pekerja Brasil harus bekerja lima atau bahkan sepuluh tahun tambahan untuk menerima pensiun yang tidak memuaskan.
Saat ini, Parlemen Brasil sedang membahas RUU Guedes untuk mereformasi karier para pegawai negeri. Reformasi itu akan mengakhiri layanan publik di Brasil, karena akan membawa ketidakstabilan, upah yang lebih rendah, dan beberapa hambatan bagi pegawai negeri untuk mencapai promosi dan posisi yang lebih baik.
Ketika Guedes terus menjual properti publik, negara-negara bagian Brasil pun menghilang, dan “masyarakat” dystopian Bolsonaro menjadi kenyataan. Sebuah masyarakat yang dibentuk gerombolan yang dibentuk oleh mantan (atau kini) petugas kepolisian yang mengendalikan seluruh komunitas, yang bersekutu dengan gereja-gereja Pentakosta yang mengeksploitasi itikad baik orang-orang yang rendah hati, adalah skenario ideal untuk berkembangnya pemikiran Bolsonaro.
Ketidakjelasan aturan kini berkembang di Brasil. Seorang petani di Amazon tahu bahwa tidak ada yang akan terjadi padanya jika ia dan kelompok paramiliternya menyerang tanah-tanah penduduk asli, membunuhi orang-orangnya, dan membakar hutan. Mereka bahkan merekam tindakan mereka dan menunjukkannya di saluran media sosial Bolsonarian. Pendukung Bolsonaro menyukai dan berbagi video ini sesame mereka. Polisi tahu bahwa mereka akan dilindungi kantor kepresidenan jika mereka bertindak dengan kebrutalan atau menghancurkan properti publik.
Betapa mengerikan kediktatoran militer Brasil, telkah orang-orang ketahui. Semua keburukan terjadi, dan akhirnya dengan re-demokratisasi negara pada akhir 1980-an, Konstitusi 1988 membuka pintu untuk membangun kembali lembaga-lembaga Brasil, seperti sistem kesehatan dan pendidikan, pengadilan lokal dan federal, gedung parlemen, dan lembaga publik.
Konstitusi 1988 juga menetapkan dasar bagi penerapan kebijakan yang adil dan positif bagi minoritas negara, seperti perempuan dan orang kulit hitam.
Namun, pandangan dystopian Bolsonaro lebih buruk daripada kediktatoran, dan implementasinya tengah berlangsung. Tidak ada lagi pemimpin gerombolan elit bergaya fasis sebagaimana masa lalu. Yang ada kini ribuan gerombolan kecil, yang terinspirasi oleh pidato kebencian Bolsonaro, tidak manusiawi dan memeras masyarakat.
Kurangnya visi sosial Bolsonaro telah menghancurkan Republik Brasil dan lembaga-lembaga republik yang menopang peradaban. Kecuali jika oposisi bangun dan mulai mengarahkan kekuatan mereka ke target yang tepat, kejatuhan demokrasi segera akan terlihat. [TheGlobePost]
*Karlus Tamara, redaktur The Globe Post, media AS
** Dystopia adalah suatu keadaan atau kelompok masyarakat yang memiliki kualitas hidup yang sangat buruk dikarenakan tekanan dari pemerintah atau pemimpin , wabah penyakit, maupun teror yang berlangsung terus menerus.