Depth

Dengan Lima Alasan Ini Saja Publik Sudah Harus Tolak Omnibus Law Cilaka

Hal lain yang mengancam kebebasan pers adalah soal dinaikkannya sanksi denda dari Rp500 juta menjadi Rp2 miliar

JAKARTA—Demi menggenjot investasi (asing), pemerintah Jokowi di periode kedua ini berencana menetapkan aturan sapu jagat (omnibus law), salah satunya RUU Cipta Lapangan Kerja (Cilaka). Namun sejak lama public melihat aturan tersebut akan lebih banyak membawa mudharat, bahkan set-back ke masa-masa kondisi perburuhan di 1980-1990-an.

Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) mencatat setidaknya bakal ada 493 peraturan pemerintah, 19 peraturan presiden, dan empat peraturan daerah baru agar regulasi tersebut bisa berjalan. Totalnya sejumlah 516 peraturan pelaksanaan.

Bahkan tak hanya bagi kesejahteraan buruh—kelompok yang baru sekian tahun bisa menarik nafas lebih lega. Pers nasional dan lingkungan hidup pun menjadi pertaruhan bila aturan itu diterapkan. Namun demikian, pemerintah berkukuh pada sikapnya, dengan telah diserahkannya draft RUU tersebut ke DPR sejak beberapa hari lalu.

Sebenarnya apa yang saja alasan-alasan pokok yang membuat banyak kalangan warga menolak RUU Cilaka yang menjadi bagian dari Omnibus Law ini? Di bawah ini setidaknya ada lima alasan pokok, selain serenceng hujjah lain yang bisa dikemukakan.

Para buruh menolak pemberlakuan RUU Cilaka, bagian dari Omnibus Law yang draft-nya sudah masuk DPR

1. Membatasi Kebebasan Pers

Tak hanya mengatur persoalan investasi, RUU tersebut juga merevisi beberapa pasal dalam Undang Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers. Setidaknya ada dua pasal yang hendak diubah, yakni tentang modal asing dan ketentuan pidana. Sejumlah organisasi kewartawanan, antara lain Persatuan wartawan Indonesia (PWI), Aji dan LBH Pers, menolak usulan pemerintah yang membuat peraturan pengenaan sanksi administratif terhadap perusahaan media yang dinilai melanggar Pasal 9 dan pasal 12.

Pasal 9 memuat ketentuan soal perusahaan pers harus berbentuk badan hukum Indonesia. Pasal 12 mengatur soal perusahaan pers yang wajib mengumumkan nama, alamat dan penanggung jawabnya secara terbuka. Menurut kalangan pers, manakala pengenaan sanksi administratif diberlakukan, hal tersebut jelas-jelas sebuah bentuk kemunduran bagi kebebasan pers.

Hal lain yang mengancam kebebasan pers adalah soal dinaikkannya sanksi denda dari Rp500 juta menjadi Rp2 miliar. “Kami mempertanyakan urgensi menaikkan denda sampai lebih dari 400 persen, dari Rp 500 juta menjadi Rp 2 miliar. Secara prinsip kami setuju ada sanksi atas pelanggaran yang dilakukan oleh pers. Namun, sanksi itu hendaknya dengan semangat untuk mengoreksi atau mendidik. Dengan jumlah denda yang sebesar itu, kami menilai semangatnya lebih bernuansa balas dendam,” kata kalangan pers.

2. Penghapusan Cuti menikah, haid dan cuti ibadah

Yang ganjil di alam reformasi, RUU Cilaka juga menghapus izin atau cuti khusus untuk keperluan menikah, menikahkan, mengkhitankan, membaptiskan anak, istri melahirkan/keguguran kandungan, hingga tak adanya cuti manakala ada anggota keluarga dalam satu rumah meninggal dunia.

Tak hanya itu, beberapa kelonggaran lain seperti ketentuan cuti khusus atau izin lain, menjalankan ibadah yang diperintahkan agama, melaksanakan tugas berserikat sesuai persetujuan pengusaha, dan melaksanakan tugas pendidikan dari perusahaan, turut raib.

Dalam draf RUU Omnibus Cilaka, pengusaha tetap diwajibkan membayar upah buruh yang absen hanya jika buruh berada dalam empat kondisi, yakni tengah berhalangan; melakukan kegiatan lain di luar pekerjaannya dan telah mendapatkan persetujuan pengusaha; melakukan pekerjaan yang telah dijanjikan tetapi pengusaha tidak mempekerjakannya karena kesalahan pengusaha; serta menjalankan hak waktu istirahat atau cutinya.

3. Mengapa harus pakai iming-iming?

Sempat memang Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziah merayu dan mengiming-imingi buruh dengan gula-gula berupa lima kali gaji. Bonus itu diberikan dengan sejumlah syarat, mulai dari lama masa kerja hingga batas gaji minimal. Namun menurut Tadjudin Nur Effendi, pakar ketenagakerjaan dari UGM, buruh justru harus mewaspadai hal itu.  Bagi Tadjuddin, boleh jadi gula-gula itu diberikan agar pembahasan RUU Cilaka berjalan lancar tanpa mendapatkan tentangan dan didemo buruh.

CNN  melaporkan, tak hanya buruh yang mungkin bakal rugi, pengusaha bisa rugi juga jika perhitungan pemberian lima kali gaji lebih besar ketimbang beban pesangon yang selama ini juga dikeluhkan para pengusaha.

4. Pembatasan pesangon

Beberapa kalangan melihat dengan yakin bahwa RUU Cilaka akan memotong besaran pesangon sebagai kompensasi imbalan pasca-kerja kepada para buruh, terutama mereka yang di-PHK. Uang pesangon akan berkurang hampir setengahnya bila dibandingkan UU Nomor 13 Tahun 2003 yang berlaku saat ini. Bahkan maksimal uang pesangon yang kini bisa mencapai 32 kali upah, akan diubah hanya menjadi 19 kali upah, alias berkurang hingga 40 persen!  

5. Mempedulisetankan lingkungan

Merah Johansyah yang kini menjabat koordinator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) mengatakan, aturan sapu jagat yang isinya memberi kemudahan bagi perusahaan tambang itu justru mengancam kehidupan rakyat dan lingkungan di sekitar lokasi pertambangan. Ia melihat ada tiga aspek yang berlaku di RUU Cilaka, yakni penambahan pasal (yang menguntungkan pengusaha), pengubahan pasal, serta penghapusan pasal.

Beberapa hal yang mengancam rakyat dan lingkungan, menurut Merah, antara lain: perusahaan tambang yang terintegrasi dengan pengolahan dan pemurnian, luas wilayah konsesi tambangnya tidak dibatasi, serta perizinan yang tak terbatas atau bisa diperpanjang hingga kandungan yang ditambang itu habis.

Tak hanya itu, perusahaan tambang pemegang kontak karya (KK) dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2) yang habis masa berlakunya pun bakal dapat perpanjangan tanpa harus mengembalikan konsesi ke negara dan mengikuti lelang.

Jelas, publik seharusnya skeptis dengan niat apa di balik remcana pemerintah yang tak berpihak bagi rakyat dan masa depan negara, selain masuknya investor ini. [ ]

Back to top button