Dia percaya betul, kalau ‘Mahkamah Sejarah’ bakal mencatat gugatan yang dimohonkannya itu. Begitu juga dengan putusan Majelis Hakim yang mulia di Mahkamah Konstitusi.
JERNIH-Meski sudah bekerja keras menduduki kursi Guru Besar Matematika di Universitas Indonesia (UI) yang sudah lama kosong, harapan Sri Mardiyati, kandas begitu saja setelah pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Riset dan Teknologinya, tak mengamininya.
Ada beberapa alasan yang yang membuat Kemendikbud Ristek melakukan hal tersebut. Pertama, jurnal internasional tempat Sri mempublikasikan karyanya di bidang Matematika, sudah tak terbit lagi. Kedua, dia telat mengurus kepentingan administrasi sebab telah memasuki masa pensiun.
Sri pertama kali mendalami Matematika di Fakultas MIPA UI, Jurusan Matematika pada 1974 dan lulus pada 1980. Sejak 1978, dia menjadi pengajar di kampus tersebut dan setahun kemudian diangkat menjadi PNS Dosen.
Pada 1999, jenjang S2 dia selesaikan di Fakultas Ilmu Komputer pada kampus yang sama. Setelah itu, kira-kira setahun berikutnya, dia terbang ke Australia guna menyelesaikan studi S3 di Departmen of Mathematics and Statistic, di Curtin University. Kedua anaknya yang masih remaja, juga turut serta ke sana agar tak lepas dari bimbingannya.
Setelah bergelar Doktor, banyak kajian ilmiahnya terbit di jurnal internasional. Beberapa Guru Besar dari universitas di India, Turki, Brazil, Cina, Jepang dan Amerika Serikat, sudah menyimak karya-karya ilmiahnya
Setidaknya, ada 17 karya Sri yang sempat mejeng di jurnal internasional yang kini sudah tak terbit lagi itu. Koleganya pun, mendorong agar dia segera memproses gelar Profesor. Sebab sejak 2018 lalu, Fakultas tempat dia mengajar tak punya Guru Besar lagi di bidang Matematika. Soalnya, Profesor Djati Kerami meninggal pada 24 Januari 2018, dan Profesor N Soemartojo juga meninggal pada 12 Juni 2005.
Para koleganya menilai, Sri sudah sangat layak mengisi kekosongan jabatan Guru Besar tersebut. Tapi, pemerintah punya pandangan lain dengan dua alasan tadi. Pertama jurnal internasional sudah tak terbit lagi, padahal dulu menjadikannya salah satu syarat utama menyandang gelar Profesor. Kedua, Sri terlambat mengurus persoalan administrasi.
Maju ke Mahkamah Konstitusi
Saat ini, dia sudah berusia 67 tahun. Sebagai Dosen, dia memasuki masa pensiun di usia 65 tahun. Jika jabatan Guru Besar berhasil dia raih, artinya dia akan memasuki era pensiun di usia 70 tahun.
Sri pun tak tinggal diam. Dia, mencari jalan hingga ke Mahkamah Konstitusi (MK).
“Saya tegaskan, urusan kenaikan pangkat saya ini adalah urusan hak dan kebenaran serta keadilan, bukan hanya sekadar urusan gelar,” kata Sri dalam surat yang diajukan ke MK.
Pasal 50 ayat 4 Undang-Undang nomor 14 tahun 2005 yang digugatnya pada Mei 2021, menyebutkan bahwa :
“Ketentuan lebih lanjut mengenai seleksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan pengangkatan serta penetapan jenjang jabatan akademik tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditentukan oleh setiap satuan pendidikan tinggi sesuai dengan peraturan perundang-undangan.“
Dia menilai, pasal tersebut menimbulkan multitafsir hingga Kemendikbud menafsirkannya dengan menerbitkan pedoman operasional penilaian angka kredit kenaikan jabatan akademik dosen, melalui Direktorat Jenderal Sumber Daya IPTEK dan Dikti, Kemenristek Dikti pada 2014. Kemudian, penafsiran tersebut digantikan oleh pedoman operasional penilaian angka kredit kenaikan jabatan akademik atau pangkat dosen di lembaga yang sama pada tahun 2019.
Di mata Sri, peraturan terkait pengangkatan jabatan Guru Besar sering berubah. Sebelum tahun 2016, jika tesis diterbitkan dihitung sebagai angka kredit.
Tesis Sri pun, berhasil lolos seleksi dan terbit. Tapi pada saat itu pula, Kemendikbud justru mengeluarkan edaran baru bahwa buku berdasarkan tesis tak bisa dihitung angka kreditnya guna meraih jabatan Guru Besar. Kemudian, paper yang dipresentasikan dalam seminar dan dipublikasikan dalam proceeding (lanjutan) hanya dinilai 20 persen.
Selanjutnya, ada pula edaran baru yang menyebutkan bahwa harus ada artikel yang diterbitkan pada jurnal ilmiah terindeks Scopus. Karyanya pun, berhasil lolos seleksi dan terbit. Tapi karena jurnal internasional yang menerbitkannya tak terbit lagi, Kemendikbud akhirnya tak menghitungnya sebagai angka kredit.
“Akibat dari perubahan peraturan penilaian angka kredit ini, maka angka kredit yang telah saya peroleh dianggap tidak cukup dan baru dianggap mencukupi oleh Rektor UI pada 2019. Setelah mengalami seleksi yang panjang di lingkungan UI, kenaikan pangkat saya baru diproses oleh rektor,” katanya.
Hal lain yang dipersoalkan Sri yaitu, tim penilai atas karyanya yang dipilih Kemendikbud tak satu rumpun ilmu guna melakukan penilaian terhadap karya ilmiahnya.
Kemendikbud menunjuk Yanuarsyah Haroen Guru Besar di bidang elektro ITB. Kemudian, menunjuk pula Syaiful Anwar, Guru Besar di bidang fisiologi/genetika molekuler tanaman Universitas Diponegoro, serta Sutikno Guru Besar di bidang fisika Universitas Negeri Semarang untuk menilai dokumen kenaikan pangkatnya.
Sebab tak satu rumpun ilmu itulah, karya ilmiah Sri ditolak karena dianggap tidak layak untuk kenaikan pangkat. Padahal, karya ilmiah yang diajukan Sri sebagai bahan penilaian angka kredit dalam jabatan guru besar sudah diperiksa dan divalidasi dengan baik oleh Rektor UI.
Karya ilmiah tersebut juga telah diperiksa tim penilai independen dari Guru Besar FMIPA ITB Profesor Dr. Edy Tri Baskoro dari kelompok keilmuan matematika kombinatorika dan Profesor Dr. Irawati dari kelompok keilmuan aljabar.
“Penunjukkan tim penilai baru ini, bagi saya adalah bukti bahwa Kementerian Pendidikan menunjukkan hegemoni mereka atas dunia pendidikan, khususnya dalam hal kenaikan pangkat menjadi Guru Besar. Sebagai penguasa tunggal di bidang pendidikan, mereka tidak ingin disalahkan atau dianggap melakukan kesalahan,” kata Sri.
Dia bilang, ada kesalahan fundamental yang dilakukan Kementerian Pendidikan dengan menafsirkan undang-undang sesuai kebutuhan mereka dan menindaklanjutinya dengan menciptakan beragam aturan. Ia menilai, lewat tafsir terhadap pasal 50 ayat 4 Undang-Undang nomor 14 tahun 2005, pemerintah telah mengambil alih kewenangan satuan pendidikan tinggi dalam penyeleksian, pengangkatan, dan penetapan jabatan akademik, termasuk Guru Besar.
Tentu, dia merasa mengalami kerugian akibat adanya pasal yang multitafsir tersebut.
Kerugian itu adalah, pasal 50 ayat 4 Undang-Undang nomor 14 tahun 2005 tadi, tidak diberlakukan dalam proses usulan kenaikan jabatan fungsional Guru Besar, pada Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (MIPA), Universitas Indonesia. Makanya, dia meminta pasal tersebut dikategorikan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945, serta tak punya kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai bahwa penetapan jenjang jabatan akademik Guru Besar merupakan kewenangan dari rektor sebagai pimpinan satuan pendidikan tinggi tanpa ada campur tangan Menteri.
Secara khusus, Sri meminta MK menyatakan pasal tersebut inkonstitusional bersyarat di UI. Dan frasa “Pengangkatan serta penetapan jenjang jabatan akademik tertentu sebagaimana dimaksud pada Ayat 3 ditentukan oleh setiap satuan pendidikan tinggi sesuai dengan peraturan perundang-undangan,” tidak sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 2013 tentang Statuta Universitas Indonesia.
Pandangan DPR RI
Anggota Komisi III DPR RI Supriansa, dalam keteranganya yang disampaikan secara virtual pada persidangan gugatan Sri Mardiyati, menyebutkan, DPR Berpandangan bahwa Undang-Undang nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional menyebutkan bahwa, sistem pendidikan nasional merupakan keseluruhan komponen pendidikan yang saking terkait guna mencapai pendidikan nasional.
Pendidikan, kata dia, dilaksanakan oleh satuan pendidikan yang merupakan kelompok layanan penyelenggara pendidikan di jalur formal, non formal, dan informal pada setiap jenjang dan jenis pendidikan. Sementara pengaturan terkait Dosen pada Undang-Undang nomor 12 tahun 2012 tentang pendidikan tinggi (UU Dikti) bilang, pengangkatan dan penempatan Dosen dilakukan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang dilaksanakan badan penyelenggara.
Sementara irtu, terkait jenjang jabatan akademik Dosen tetap, secara jelas diatur dalam pasal 72 ayat 2 Undang-Undang Dikti yang dengan sangat jelas pula membedakan pengaturan soal jenjang jabatan akademik di lembaga pendidikan tinggi.
DPR menurut Supriansa, menilai bahwa Sri dalam hal ini sebagai pemohon, tak menyebutkan ketentuan pasal 50 ayat 4 Undang-Undang nomor 14 tahun 2005 secara lengkap, hingga berpotensi menimbulkan kesalah pahaman di kalangan masyarakat. Padahal, ketentuan itu menyatakan pengaturan kewenanngan jenjang jabatan akademik ditetapkan oleh setiap satuan pendidikan tinggi sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
“Sehingga jelas, kewenangan jenjang jabatan akademik dan dosen tidak tetap ditetapkan oleh setiap satuan pendidikan tinggi berdasarkan Pasal 50 ayat 4 Undang-Undang nomor 14 tahun 2005,” kata Supriansa.
Akhirnya, lantaran secara keseluruhan dalil-dalil yang disodorkan lebih banyak mempersoalkan penerapan norma dalam peraturan di bawah Undang-Undang, DPR menilai bahwa judicial review atau pengujian Undang-Undang ke Mahkamah Konstitusi tidaklah benar.
Pandangan Pemerintah
Di lain pihak, Pemerintah yang diwakili Staf Ahli Mendikbud Bidang Regulasi Pendidikan dan Kebudayaan, Cathrina Muliana Girsang mengatakan kalau Sri sebagai pemohon tak mengalami kerugian konstitusional akibat berlakunya ketentuan norma yang diujikan ke MK. Sebab UUD 1945 serta UU Guru dan Dosen, telah memberikan jaminan konstitusional terhadap tugas keprofesionalitasan Dosen.
“Telah memberikan jaminan konstitusional terhadap tugas keprofesionalitasan dosen, memperoleh penghasilan, mendapatkan promosi dan penghargaan, memperoleh perlindungan, memperoleh kesempatan untuk meningkatkan kompetensi, memiliki kebebasan akademik, kebebasan berserikat dalam organisasi,” kata Chatarina.
Akhirnya, Pemerintah menilai kalau Sri sebagai pemohon keliru dalam menafsirkan pasal 50 ayat 4 Undang-Undang Guru dan Dosen. Sebab dia mendalilkan, seharusnya menurut pasal tersebut pengangkatan dan penetapan jenjang jabatan akademik termasuk jabatan Guru Besar merupakan kewenangan satuan pendidikan tinggi atau universitas, atau Rektor, karena adanya Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan nomor 92 Tahun 2014 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Penilaian Angka Kredit Jabatan Fungsional Dosen.
Pemerintah berpandangan bahwa pada dasarnya Peraturan Menteri tersebut diterbitkan dalam rangka melaksanakan kewenangan berdasarkan ketentuan pasal 7 ayat 1, pasal 72 ayat 6 Undang-Undang Dikti dan Pasal 70 Undang-Undang Guru dan Dosen. Jadi, Permendikbud nomor 92 Tahun 2014 tidak berdiri sendiri. Sebab dia lahir dalam rangka menindak lanjuti Permen nomor 17 Tahun 2013 tentang Jabatan Fungsional Dosen dan Angka Kreditnya.
“Oleh karena berdasarkan Permendikbud nomor 92 Tahun 2014, tidak terjadi pengambil alihan wewenang apa pun oleh Kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintah di bidang pendidikan,” jelas Chatarina.
Kini, Sri Mardiyati hanya bisa menaruh harapan kalau Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi, mau berpihak pada kebenaran dan keadilan dengan memberi putusan terbaik bagi kepentingan pendidikan tinggi di tanah air.
Jika permohonannya dikabulkan Majelis Hakim, dia bilang, hampir dapat dipastikan kalau dirinya tak akan menikmati hasilnya sebab putusan MK tak berlaku surut. Makanya, apapun keputusanya, Sri akan menerima dengan lapang dada.
Dia percaya betul, kalau ‘Mahkamah Sejarah’ bakal mencatat gugatan yang dimohonkannya itu. Begitu juga dengan putusan Majelis Hakim yang mulia di Mahkamah Konstitusi.
“Apapun putusannya,” kata dia.
Diberi Harapan Palsu
Ketika proses gugatan tengah berjalan di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta, Sri mengaku pernah diajak berdamai. Artinya, dia akan lulus menjadi Profesor asal gugatannya dicabut. Soal ini, diungkap kuasa hukum Sri, Maqdir Ismail dalam sidang di MK.
Tawaran damai itu, datang pada 31 Januari 2022, sepanjang Sri tak mempersoalkan kasus ini melalui proses hukum.
“Pertanyaan saya juga yang ingin saya tanya kepada Pak Sofwan , sebelum perkara ini bergulir ke PTUN, apakah Saudara mendengar ada pembicaraan atau pesan yang disampaikan oleh Sekjen Kementerian melalui Dekan FMIPA UI agar supaya klien kami ini tidak meneruskan perkara ini ke PTUN, akan tetapi dia akan diberikan gelar melalui NITK (Nomor Induk Tenaga Kependidikan)?” tanya Maqdir.
Sofwan Effendi, merupakan Direktur Sumber Daya Dirjen Pendidikan Tinggi Riset dan Teknologi, Kemendikbud Ristek Dikti.
Sofwan bilang, penilaian karya ilmiah Sri sudah dinyatakan perlu perbaikan atau ditolak oleh tim penilai hingga dinyatakan belum memenuhi kriteria jurnal internasional dan perlu diperbaiki.
Aswanto, Hakim MK yang juga mantan Dekan Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Makassar, tentu paham betul soal proses pengajuan gelar Profesor. Dia menduga, ada unsur kedekatan dengan pejabat di Kemendikbud agar bisa lolos seleksi menjadi Guru Besar.
“Karena Bapak tadi mengatakan ada diskresi. Nah, diskresi ini yang seringkali menimbulkan hal‑hal yang bisa membuat orang menafsir macam‑macam terhadap apa yang dilakukan oleh departemen. Kami juga punya data‑data, ada yang sampai tahunan permohonannya masuk dan tidak keluar‑keluar, gitu,” kata Aswanto.
“Nah, ini tolong kalau ada datanya disampaikan itu, sehingga kita bisa melihat, jangan‑jangan ini ada persoalan suka dan tidak suka. Saya mohon maaf kalau saya agak ngomong terbuka, gitu. Kalau ada yang dikenal di dalam, cepat banget. Tapi kalau enggak dikenal, itu bisa bertahun‑tahun,” katanya melanjutkan.
Aswanto menilai, Kemendikbud Ristek Dikti seharusnya konsisten dengan aturan yang sudah dibuat. Dan permohonan yang sudah jelas tak memenuhi persyaratan lantaran menjelang atau sudah masuk masa pensiun, tak perlu diterima.
“Lalu kemudian diproses dan kemudian juga itu kan memberikan harapan-harapan palsu saja, PHP saja,” ujarnya.
“Jadi, nanti Kepaniteraan akan memberitahu kapan sidang selanjutnya, apakah pihak terkait mengajukan tetap mengajukan dua saksi dan 1 ahli,” kata Anwar.