Ketika Darah Pertama Mengucur di Awal Maret
Perang agama di Prancis terjadi hampir mencapai ukuran abad, mencatatkan korban jiwa dan kehilangan yang besar di antara kedua pihak; Katolik, terutama kaum Huguenot yang Protestan
JAKARTA— Bahkan untuk menyembah Tuhan, manusia sepertinya merasa perlu mengalirkan darah sesamanya. Itu terjadi, antara lain, di Prancis pada 1 Maret 1562. Darah pertama untuk aliran lainnya yang kemudian menggelontor, membasahi bumi Prancis hingga nyaris satu abad kemudian.
Tanggal 1 Maret 1562 telah menjadi penanda perang agama yang berlangsung hebat antara kaum Katolik dan kalangan Kristen Protestan Prancis yang pada awalnya tumbuh dalam kepemimpinan John Calvin. Para penganut Kristen Protestan itu disebut kaum Huguenot.
Semua berawal dari kejadian yang dalam sejarah dikenal sebagai ‘pembantaian Wassy’ atau ‘pembantaian Vassy’. Pada 1 Maret itu François Guise II, seorang baron pemilikktanah luas melakukan semacam perjalanan patroli ke kawasan tanah miliknya. Dia berhenti di Wassy dan memutuskan untuk menghadiri misa di gereja yang terdapat di sana. Saat itulah ia menemukan sejumlah besar orang-orang Huguenot (Protestan) yang tengah mengadakan upacara agama di sebuah gudang besar di area gereja miliknya.
Saat itu hubungan Katolik-Protestan dan para penganut keduanya tengah memanas, tak hanya di Prancis. Tentara Duke Francois yang berusaha masuk gudang untuk mengusir, balik diusir para penganut Protestan yang tengah menggelar upacara itu. Tentu saja sebenarnya upacara agama untuk menyembah Tuhan yang mereka akui bersama.
Entah bagaimana awalnya, batu-batu mulai beterbangan dari kaum Protestan yang tak bersenjata itu. Sementara, laiknya tentara, para pengawal Duke Francois tentu saja bersenjata lengkap. Kabarnya, bahkan sang Duke terluka karena lemparan batu.
Itulah, konon, yang membuatnya gusar tak terhingga. Diperintahkannya para serdadunya yang bersenjata lengkap itu menyerang gudang, membunuhi para penganut Protestan tak bersenjata yang tengah melakukan ‘kebaktian’. Sejarah mencatat 63 orang Huguenot dibantai di sana, sementara tak kurang dari 100 lainnya luka-luka. Tak hanya itu, gudang dan bahkan gereja yang mereka pandang tekah tercemar itu pun dibakar habis.
Selesaikah persoalan? Justru kejadian itu menjadi ‘preambule’ alias pembuka sekian banyak kengerian berikutnya. Kejadian itu seolah hanya meresmikan perang di antara pendukung Katolik dan Protestan di Prancis.
Sejatinya, perang yang ‘episode’ pertamanya berlangsung hingga 1598 itu bukan hanya perang saudara di Prancis. Kedua pihak punya banyak pendukung luar negeri, yang sama-sama mengucurkan dana untuk masing-masing jagoan mereka, tergantung kepentingan yang mereka miliki. Kedua pihak pun saling menderita kekalahan di banyak perang yang terjadi sepanjang lebih dari 100 tahun itu.
Dari keluarga Bourbon yang pro-Protestan, dengan dipimpin Pangeran Condé, mulai merebut kota-kota strategis di sepanjang Loire. Condé bahkan menggunakan pembantaian sebagai bukti bahwa kesepakatn damai kedua pihak yang dibuat sebelumnya, telah pecah tak berlaku. Kota-kota Rouen, Dreux dan Orléans diserbu pendukung Protestan, hingga diambil alih pada Oktober 1562. Konon, dana penyerbuan itu dibiayai secara dominan oleh Antoine de Navarre, yang meninggal usai pertempuran karena luka-luka yang ia derita. Pada pertempuran Dreux (Desember 1562), Condé berhasil ditawan Duke of Guises. Sebaliknya, pada pengepungan Orleans, Februari 1563, Duke of Guise berhasil dibunuh seorang Huguenot bernama Poltrot de Méré. Pertempuran sepanjang 1562-1563 itu berhasil diakhiri Catherine de Midici dengan memberlakukan Edict of Amboise (1563). Tapi itu hanya untuk sementara waktu.
Perang agama di Prancis itu dalam catatan sejarah konon telah membuat tiga juta orang tewas. Tak hanya mati di medan perang, korban juga tewas karena kekerasan dan penyerangan di luar peperangan, kelaparan, dan merajalelanya penyakit. Perang agama Prancis dianggap sebagai perang agama paling mematikan kedua dalam sejarah Eropa, yang korbannya hanya dilampaui Perang Tiga Puluh Tahun yang merenggut delapan juta jiwa.
Perang ini bila disederhanakan mungkin bisa dianggap perang antara keluarga besar House of Guise yang Katolik, karena mereka mengklaim sebagai keturunan dari Charlemagne, serta sekutu mereka keluarga Anne de Montmorency. Sementara lawan mereka adalah House of Condé, keluarga bangsawan kurang kaya yang merupakan cabang keluarga House of Bourbon. Pihak kedua ini bersimpati kepada Calvinisme.
Sementara kedua pihak dibantu para sekutu asing mereka. Keluarga Habsburg- Spanyol dan keluarga Savoy mendukung Guises yang Katolik. Sementara Inggris mendukung pihak Protestan yang dipimpin Condés dan Jeanne d’Albret, istri Antoine de Bourbon, Raja dari Navarre, serta putranya Henry dari Navarre.
Belakangan, Henry, untuk dapat menjadi raja dengan gelar Henry IV, kemudian masuk Katolik. Perang berakhir dengan Edict of Nantes, yang memberikan otonomi keagamaan, politik dan militer yang substansial bagi Huguenot.
Sayangnya, hal itu tidak mengakhiri permusuhan Katolik terhadap Protestan, atau bahkan terhadap Henry IV pribadi. Namun saat memerintah, Henry terbukti seorang raja yang cakap. Ia meninggalkan warisan pemerintahan yang terpusat, kuat, adanya stabilitas dan kemakmuran ekonomi. Itu yang membuatnya mendapatkan reputasi sebagai raja terbaik dan paling dicintai rakyat Prancis, dengan gelar ‘Good King Henry’.
Sayangnya, sepeninggal dia, oleh Louis XIV Edict of Nantes dicabut pada 1685, dan kemudian diberlakukan Edict of Fontainebleau. Mulailah kembali era penindasan Protestan di Prancis. Dalam Encyclopedia of Protestantism, Hans Hillerbrand menulis, pada malam pembantaian Hari St. Bartholomew pada 1572 (ada banyak pembantaian kaun Huguenot), komunitas Huguenot mencakup 10 persen populasi Prancis. Pada 1600 jumlahnya turun menjadi 7-8 persen. Setelah pemberlakuan Edict of Fontainebleau dari Louis XIV, jumlahnya berkurang lebih sedikit lagi akibat penganiayaan berat.
Saat itu pula kaum Huguenot dipaksa untuk pindah agama ke Katolik. Yang menolak lari sebagai pengungsi ke luar negeri, antara lain AS. Louis XIV mengklaim bahwa populasi Huguenot Prancis berkurang dari sekitar 900.000 atau 800.000 penganut menjadi hanya 1.000 atau 1.500 orang. Dia tentu membesar-besarkan, tetapi itu menunjukkan betapa kejamnya orang itu.
Penganiayaan terhadap Protestan secara resmi berakhir dengan Edict of Versailles, yang ditandatangani Louis XVI pada 1787. Dua tahun kemudian, dengan Deklarasi Revolusi Hak Asasi Manusia dan Warga Negara 1789, Protestan memperoleh hak yang sama sebagai warga negara.
Yang menarik, kalangan Huguenot yang lari ke AS itu, pada saat mereka menjadi mayoritas kelakuannya ya nyaris sama juga dengan para penindas mereka di Prancis masa lalu yang Katolik. Ingat organisasi rasis Ku Klux Klan (KKK)? Kebanyakan, kalau pun tak 100 persen, mereka adalah orang-orang Protestan, keturunan ke sekian dari nenek moyang mereka kaum Huguenot. [ ]