Menggunakan ‘katanya’, seorang penulis toponimi bertutur tentang asal mula Taman Sari. Dulu, tulis sang penulis toponimi, ‘katanya’ ada taman besar di wilayah yang kini bernama Kecamatan Taman Sari.
Peta VOC sama sekali tidak memperlihatkan adanya taman di kawasan itu. Yang ada adalah Waterkasteel, satu dari 21 benteng yang mengelilingi Oud Batavia atau Kota Tua Batavia.
Selain Waterkasteel, sering pula ditulis water kasteel, terdapat benteng Amsterdam, Middelburg, Delft, Rotterdam, Hoorn, Enkhuizen, Vianen, Gelderland, Oranje, Nieuwe Poort, Hollandia dan Grimbergen. Di sisi barat disebut Diest, Nassau, Zeeland, Utrecht, West Friesland, Overijssel, Groningen, Zeeburg dan Culemborg.
Waterkasteel dibangun tahun 1741, setahun setelah Pembantaian Cina. Tujuan pembangunan adalah memberi pertahanan di mulut Kali Besar karena titik jangkar dipindahkan jauh dari Kasteel Batavia akibat pembentukan beting dan pendangkalan di depan muara. Tujuan lain, terjadinya pelebaran garis pantai.
Dalam Bahasa Indonesia, arti harfiah Waterkasteel adalah Benteng Air. Namun orang-orang Jawa, yang lalu lalang di pinggir tembok kota Batavia, menyebut Waterkasteel dengan nama Taman Sari.
Tahun 1758, Sultan Hamengku Buwono I membangun Taman Sari — komplek benteng dan istana dengan fasilitas kolam renang dan taman air di dalamnya. Orang Belanda menyebut Taman Sari bikinan Sultan Hamengku Buwono I dengan nama Waterkasteel.
Waterkasteel di Batavia dan Taman Sari di Yogyakarta adalah dua hal berbeda. Waterkasteel di Batavia adalah benteng ukuran kecil, panjang 124,88 meter dan lebar 101,52 meter. Benteng terbuat dari terumbu karang, dengan fasilitas barak prajurit, plus sejumlah meriam.
Taman Sari Yogyakarta membentang seluas 10 hektar, dengan 57 bangunan, danau kecil, dan pemandian. Fungsi Taman Sari Yogjakarta adalah tempat istirahat raja, pertahanan, dan persembunyian.
Taman Sari Yogyakarta selesai dibangun tahun 1769. Waterkasteel Batavia dibangun ulang di atas tumpukan kayu-kayu dari kapal rusak yang direndam tahun 1745. Ternyata, pondasi itu tidak cukup kuat menopang dinding benteng, sehingga pada 1750 Waterkasteel mengalami rekonstruksi dan seluruh bangunannya diperbarui.
Seperempat abad lebih setelah mengalami rekonstruksi, tepatnya 1776, Waterkasteel dibongkar. Frederik de Haan menulis penghancuran berlangsung cukup lama. Tahun 1819 sisa-sisa terakhir Waterkasteel dimusnahkan. Waterkasteel nyaris tanpa jejak, tapi wilayah sekitar benteng kadung disebut Taman Sari oleh orang Jawa dan etnis pemukim lain di Batavia.
Seiring waktu, Taman Sari menjadi nama gang – menggantikan Drossaersweg. Namun dalam administrasi pemerintahan kota, nama Drossaersweg masih digunakan sampai 1940, kendati warga sekitar menyebut sekeliling Gang Taman Sari sebagai Kampung Taman Sari. Ketika pemerintah kota Batavia meluncurkan proyek perbaikan kampung (kampung verbeteering) di penghujung 1913, Taman Sari menjadi kampung pertama yang mengalami perbaikan total.
Sebagai kampung pribumi, Taman Sari tidak memiliki sanitasi dan saluran air yang sehat. Akibatnya, sepanjang abad ke-19, Taman Sari kerap didera epidemi berbagai penyakit, mulai dari kolera, malaria, dan lainnya. Taman Sari hanya satu dari sekian banyak perkampungan kumuh di Batavia, yang nyaris tidak diperhatikan pemerintah kota dan Hindia-Belanda.
Di pertengahan 1913, nama Taman Sari menjadi perbincangan dalam International Housing Congress di Schveningen, ketika HF Tilema – seorang pakar farmasi dari Semarang – mengangkat isu perkampungan kumuh di kota-kota kolonial dalam laporan berjudul Van wonen en bewonen, van bouwen huis en erf. Kampung-kampung di Semarang juga menjadi pembicaraan dalam kongres itu.
Pemerintah kota Batavia mengeluarkan ribuan gulden untuk pemeliharaan dan membangun rumah-rumah penduduk di Kampung Taman Sari, dan itu berlangsung sampai tahun 1917. Bersamaan dengan itu, Taman Sari menjadi model pembangunan perumahan kampung yang coba diterapkan di Sentiong.
Sebelumnya, Sentiong adalah tanah kuburan orang kaya Tionghoa milik Majelis Kongkoan Batavia. Pemerintah kota Batavia membeli Sentiong, sebagai bagian pembangunan Batavia modern.
Di penghujung paruh kedua abad ke-20, Taman Sari adalah permukiman pribumi yang bersih, dengan sanitasi dan drainase yang sehat, plus taman memadai. Rumah-rumah pribumi tertata, dengan penduduknya diajarkan pola hidup sehat.
Rumah-rumah baru dibangun pemerintah kota Batavia untuk disewakan kepada pemukim dari luar dari etnis lain. Pemerintah Batavia juga membangun permukiman baru dan memberinya nama Gang Kampoeng Baroe, kini menjadi Jl Taman Sari VIII. Ada rumah dinas wedana, kepala onderdistrict, di Gang Wedana – kini menjadi Jl Taman Sari II.
Penduduk Taman Sari
Setelah menaklukan Kerajaan Banten dan merebut Jayakarta tahun 1619, JP Coen mempersiapkan pembangunan Batavia. Ia menugaskan arsitek Simon Stevin merancang kota, dan memulai pembangunan tahun 1620. Stevin meniru kota-kota di Eropa, sebuah kota berbentuk kotak (fortalezza), seluruh bangunan dikelilingi parit pertahanan dan pagar besi dengan tiang-tiang kokoh.
Pembanguan selesai tahun 1650. Batavia tidak ubahnya kastil berbentuk kotak dengan setiap sudut berupa benteng yang menjorok ke luar. Benteng-benteng itu diberi nama Diamant, Robijn, Parel, dan Saffier. Setiap benteng dilengkapi meriam untuk pertahanan.
Visi JP Coen adalah menjadikan Batavia sebagai pusat kekuasaan imperium Asia. Ia membuat berbagai aturan; mulai dari pencatatan penduduk, pembelian dan pembebasan budak, sekolah, kepolisian, kesehatan, dan sanitasi.
Penduduk kota berkembang, sebagai akibat kedatangan pedagang dari berbagai belahan dunia, budak dari Bengali, Arakan, Malabar dan Koromandel. Setelah perjanjian damai dengan Mataram dan Banten tercapai, Batavia berkembang sedemikian rupa, sampai ke luar wilayah awal. Ommelanden, kawasan pinggir kota tua Batavia, mulai dijarah.
Kota impian JP Coen mendapat dua julukan bertolak belakang; Ratu dari Timur, atau Koningin van het Oosten, dan kuburan orang Belanda atau Graf der Hollanders. Kedua julukan menggambarkan Batavia yang mencapai puncak kejayaan dan kemerosotan secara bersamaan.
Batavia yang indah adalah kota maut bagi orang Belanda karena kerap terserang malaria dan kolera. Sepanjang dua dekade terakhir abad ke-17, terlalu sering orang Belanda ditemukan mati di kamarnya kendati kemarin malam masih sehat dan menggelar pesta.
Situasi inilah yang membuat orang kaya di Batavia mulai keluar dari kota dan membangun rumah, plus taman-taman pribadi di luar tembok kota, khususnya di sepanjang dua sisi Molenvliet. Pada saat yang sama, penduduk dari berbagai tempat di Pulau Jawa, mulai berdatangan dan mengisi tanah-tanah kosong tidak jauh dari tembok kota.
Hendrik E. Niemeijer, dalam Batavia: Masyarakat Kolonial Abad ke-XVII, mengatakan penduduk dari desa-desa di Jawa datang ke Ommelanden; menebang pohon, mencetak sawah, dan membentuk kampung. Di sisi lain, VOC memukimkan berbagai etnis, yang berjasa selama perang perluasan pengaruh, di banyak lokasi.
Maka munculah Kampung Bugis, Kampung Makassar, Kampung Ambon, dan lainnya. Orang-orang Bali yang dibebaskan dari perbudakan membentuk beberapa kampung. Di luar itu, ada orang-orang mardijker yang juga membuka lahan untuk bercocok tanam.
Wilayah Taman Sari saat ini hanya satu dari sedemikian banyak kampung yang terbentuk sepanjang abad ke-17, dan berkembang mulai dekade pertama abad ke-18. Namun, dari sekian banyak kampung di Kecamatan Taman Sari saat ini, ada satu kampung yang dianggap paling tua, yaitu Kampung Tangki. Lainnya adalah Kampong Loear, yang kemudian berubah nama menjadi Sawah Lio.
Orang-orang Tionghoa, yang semula mendominasi Batavia, digebah keluar dan dimukimkan di kawasan yang saat ini bernama Glodok setelah Pembantaian Cina 1741. Orang-orang Arab berpindah dari kawasan Pekodjan, yang saat itu tidak sehat, ke Krukut.
Mereka bertahan di sini sampai akhir paruh pertama abad ke-20. Sedangkan orang Jawa, etnis paling ditakuti Belanda sepanjang abad ke-17, dimukimkan di dua kampung di Kelurahan Krendang saat ini, yaitu Kampung Jawa dan Kampung Jawa Miskin.
Sebagai bagian sejarah Jakarta, Taman Sari adalah kawasan multietnis dengan berbagai dinamika sosial di dalamnya. Orang-orang Tionghoa mungkin yang paling menonjol di kawasan ini, karena perannya sebagai penggerak perekonomian.