Dum Sumus

Ketahanan Pangan lewat Ekonomi Rumput Laut: Potensi, Bukti, dan Jalan Kebijakan

Rumput laut menawarkan kombinasi unik: potensi produksi besar, fungsi nutrisi dan fungsional, serta peluang ekonomi hilir yang signifikan. Untuk mengubah potensi itu menjadi kontribusi nyata terhadap ketahanan pangan, perlu pendekatan terintegrasi: investasi teknologi pengolahan, standar keamanan pangan, kebijakan hilirisasi, dan penelitian penggunaan produktif.

JERNIH – Perubahan paradigma dari bahan pangan berbasis darat ke laut (land-to-sea food shifting) menjadi kebutuhan strategis untuk menghadapi tantangan ketahanan pangan global. Produksi pangan darat saat ini menghadapi tekanan besar akibat keterbatasan lahan subur, degradasi tanah, kebutuhan air tawar yang tinggi, dan dampak perubahan iklim yang semakin nyata. Sementara itu, sektor laut menawarkan potensi produksi biomassa yang besar, beragam, dan relatif berkelanjutan tanpa harus bersaing dengan penggunaan lahan pertanian atau sumber air tawar.

Rumput laut, mikroalga, ikan budidaya, serta biota laut lainnya mampu tumbuh dengan cepat menggunakan sumber daya alami laut (nutrien, sinar matahari, karbon dioksida), sehingga menghasilkan pangan bernilai gizi tinggi tanpa menambah beban ekologis di darat. Pergeseran ini bukan sekadar alternatif, melainkan solusi struktural untuk menjaga pasokan pangan dalam situasi populasi global yang terus meningkat dan kapasitas produksi pertanian yang mulai mencapai batas ekologisnya.

Selain alasan ekologis, pergeseran menuju pangan laut juga penting secara ekonomi dan geopolitik. Laut menyimpan sumber daya protein, mineral, dan bioaktif yang mampu mengurangi ketergantungan pada impor bahan pangan darat seperti kedelai atau gandum, sekaligus membuka peluang ekonomi baru di sektor pesisir.

Budidaya laut, khususnya rumput laut, mampu menghasilkan biomassa hingga 10 kali lipat lebih banyak per hektare dibanding tanaman pangan darat tertentu, dengan emisi karbon yang jauh lebih rendah. Pergeseran ini dapat memperkuat ekonomi biru (blue economy) Indonesia, menciptakan lapangan kerja baru di daerah pesisir, dan menempatkan negara sebagai pemimpin global dalam produksi pangan berkelanjutan berbasis laut. Dengan demikian, shifting ke bahan pangan laut bukan hanya soal diversifikasi konsumsi, tetapi transformasi sistem pangan menuju masa depan yang lebih tangguh, inklusif, dan berkelanjutan.

Relevansi Rumput Laut

Produksi tinggi per area laut dan lahan  yangnon-kompetitif. Rumput laut dibudidayakan di laut sehingga tidak bersaing langsung dengan lahan pertanian pangan darat; skala produksi yang relatif padat menjadikannya sumber biomassa yang efisien. Dalam skenario pertumbuhan industri, peningkatan produksi dapat menambah pasokan protein dan bahan baku pangan tanpa menambah tekanan pada lahan pertanian.

Dari sisi nilai gizi dan fungsi pangan, rumput laut kaya mineral (yodium, K, Mg), serat, polisakarida fungsional, dan mengandung protein yang pada beberapa spesies mencapai tingkat signifikan (contoh rentang protein kering antara 8–40% tergantung spesies). Hal ini memungkinkan penggunaannya sebagai bahan pangan langsung (sea vegetables), bahan baku protein/ekstrak untuk produk olahan, atau sebagai pangan fungsional/fortifikasi.

Sifatnua multi-fungsi dalam rantai pangan. Selain konsumsi manusia, rumput laut dapat dipakai suplemen/pakan untuk aquaculture dan ternak (mengurangi ketergantungan fishmeal), bahan baku untuk ekstrak nutraceutical biostimulant/pupuk, dan sumber bahan alternatif untuk bahan kemasan/ bioplastik. Semua ini menambah ketahanan dengan diversifikasi sumber bahan pangan dan input agrikultur.

Nilai Ekonomi Rumput Laut

FAO mencatat produksi makroalga melonjak sejak awal abad ke-21. Angka-angka studi dan ringkasan terbaru menunjukkan puluhan juta ton produksi total. Pada 2021 saja mencapai 36 juta ton (laporan FAO). Ini menunjukkan skala produksi yang sudah besar dan menanjak.

Berbagai analisis pasar memperkirakan nilai pasar global rumput laut/ ekstraknya pada kisaran USD 9–12 miliar (2024–2025) dengan proyeksi pertumbuhan berkelanjutan selama dekade berikutnya. World Bank menilai ada peluang pasar baru senilai hingga USD 11.8 miliar tambahan sampai 2030 pada subsektor-emerging. Ini menunjukkan potensi nilai ekonomi yang nyata, bukan sekadar potensi teknis.

Indonesia sendiri adalah salah satu  produsen rumput laut terbesar dunia. Beberapa laporan resmi dan analisis menyebut produksi nasional mencapai belasan juta ton. Besarnya antara 10–11 juta ton wet dari himpunan data yang diperoleh antara tahun 2022–2024. Sebagai catatan sebanyak 98% rumput laut dibudidayakan di negara Asia, dengan tiga negara paling dominan. Selain Indonesia, China dan Filipina andil dalam pengelolaan.

Tahun 2023, World Bank bahkan merilis hasil studi dan menekankan bahwa, “Budidaya rumput laut dapat menyerap karbon dan menghasilkan pendapatan bagi masyarakat pesisir yang rentan. Nilai tambah sektor ini masih belum dimanfaatkan.” — (publikasi Rumput Laut Global: Pasar Baru dan Berkembang – 2023).

Kajian Rumput Laut

Sejumlah riset maupun temuan yang dilakukan oleh berbagai lembaga kemudian memberikan sejumlah kerangka ilmiah. Komisi eropa umpamanya, sejak 2012 telah merilis dokumen yang pertama kali secara resmi memperkenalkan istilah Blue Growth di tingkat kebijakan internasional. Di situ dijelaskan bahwa laut adalah new production frontier yang mampu menghasilkan pangan, energi, dan bahan baku tanpa bersaing dengan sumber daya darat.

Kemudian oleh FAO dipertegas lagi melalui dua kajian yang secara gamblang menyatakan bahwa produktivitas laut, khususnya melalui mariculture dan budidaya rumput laut, adalah bentuk “primary production expansion in non-competitive space”, karena menggunakan ruang laut yang tidak memerlukan konversi lahan pertanian.

Artinya rumput laut adalah komoditas trofik rendah (tidak membutuhkan pakan), sehingga produksi meningkat tanpa menambah tekanan penangkapan ikan untuk pakan (pengurangan tekanan pada stok laut). Hal ini mendukung ketahanan sumber daya laut jangka panjang.

Konversi Pangan Rumput Laut

Walaupun pada dasarnya rumput laut bisa melengkapi dan mengurangi tekanan pada sumber lain (misal fishmeal, sebagian kebutuhan protein), tetapi tidak akan menggantikan padi/beras sebagai sumber kalori pokok dalam waktu pendek.

Akan tetapi pola konversi yang dapat dilakukan pada rumput laut adalah pada kandungan gizi di dalamnya. Sebagai misal protein per hektar lebih tinggi dibandingkan beberapa tanaman darat (dibandingkan kedelai pada studi tertentu: estimasi protein 2,5–7,5 ton/ha untuk rumput laut dan 0,6–1,2 ton/ha untuk kedelai dalam kondisi tertentu). Ini menunjukkan potensi substitusi protein bagi diet atau bahan baku protein industri.

Bukti ilmiah lain menunjukkan rumput laut dapat digunakan sebagai partial fishmeal replacer. Banyak studi melaporkan substitusi aman sampai kisaran 10–15% pakan (nilai yang dapat berbeda menurut spesies ikan dan formulasi pakan). Namun untuk penggantian porsi besar (misal lebih dari 50%), masih diperlukan teknologi ekstraksi/konversi protein yang lebih maju dan kajian gizi spesies target.

World Bank dan studi-studi akademik memperkirakan bahwa jika ekspansi budidaya meningkat secara agresif, produksi rumput laut kering bisa mencapai ratusan juta ton. Secara teori menghasilkan ratusan juta ton protein alga yang dapat dialokasikan ke pangan, pakan, atau bahan industri.

Oleh karenanya diperlukan strategi hybrid (memperkuat hilirisasi domestik sambil mempertahankan dan mengembangkan akses ke pasar ekspor bernilai tinggi) adalah pendekatan pragmatis untuk memperkuat ketahanan pangan sekaligus pendapatan.

Misalnya untuk konsumsi dalam negeri dengan mengintegrasikan rumput laut dalam produk pangan sehari-hari (snack, bumbu, fortifikasi tepung, mie, suplemen) dan sebagai bahan baku pakan ikan/ternak untuk memperkuat ketersediaan protein lokal.

Sedangkan untuk kebutuhan ekspor dengan menjaga keunggulan pada pasar hydrocolloid (carrageenan/agar/alginate) sambil menumbuhkan segmen bernilai tinggi (nutraceuticals, bahan baku protein alternatif, bioplastik) yang diproyeksikan World Bank bisa menambah puluhan miliar USD nilai pasar.

Pemikiran Progresif

Mengkonversi rumput laut yang berskala tinggi nilai ekonominya, termasuk dalam rangka memformulasikan sebagai bahan pangan memerlukan berbagai kajian lebih mendalam. GREAT Institute sebagai lembaga pemikir nasional yang baru diluncurkan dan mengambil peran dengan memainkan beberapa peran krusial untuk menghubungkan rumput laut dengan agenda ketahanan pangan nasional. Paling tidak ada lima agenda yang dapat digagas dalam ruang dialektika.

Menggagas riset kebijakan hilirisasi dan model bisnis. Menganalisis rantai nilai untuk menentukan intervensi yang paling cost-effective agar nilai tambah rumput laut tetap berada di dalam negeri (mis. insentif investasi pabrik pengolahan, skema UMKM, fasilitas pembiayaan).

Dengan sumber daya pemikiran bisa memilih agenda pengembangan standar dan sertifikasi pangan laut bersama lembaga terkait. Yakni dengan memfasilitasi studi risiko (logam berat, yodium) dan rekomendasi standar nasional untuk mengamankan pemasaran domestik dan ekspor.

Sebagaimana sifatnya sebagai lembaga pemikir netral, GREAT Institute bersama intitusi akademis menyiapkan pilot inovasi konsumen maupun diversifikasi produk. Varaya dengan memfasilitasi kolaborasi riset-industri (mis. GFI dan universitas melakukan riset protein rumput laut untuk plant-based meat) agar inovasi produk dapat dipasarkan luas.

Atau pula mengambil sisi mediastor dialog multi-stakeholder. Dengan agenda  menjembatani pemerintah (KKP, Kemenperin), petani/pembudidaya, investor, dan peneliti guna menyusun roadmap nasional untuk integrasi rumput laut dalam strategi ketahanan pangan dan blue economy.

Tak kalah pentingnya –dan kerap dilupakan- menggalakkan evaluasi sosial-ekonomi dan inklusi. Secara praktik  memastikan kebijakan mendorong inklusi perempuan dan rumah tangga miskin pesisir, mengingat sektor rumput laut sering menyerap banyak tenaga kerja keluarga di komunitas pesisir.(*)

BACA JUGA: Transisi Energi, Bayang-bayang Kolonialisme Hijau dan Peran GREAT Institute

Back to top button