Dum Sumus

Peneliti: Tak Kurangi Kemiskinan, Pendapatan Hilirisasi Nyaris Semua Menguap Ke Luar Daerah

Ironisnya, menurut Arianto, angka kemiskinan yang ada di Morowali bahkan lebih tinggi dari rata-rata angka kemiskinan di Sulawesi tengah, yakni pada 12,33 persen. Jika dibandingkan dengan Kabupaten Sigi yang sama sekali tidak mengalami industrialisasi, tingkat kemiskinan di kabupaten itu justru lebih rendah yaitu 12,30 persen. Alhasil wajar bila muncul kesimpulan instan bahwa industrialisasi tak membawa perubahan apa pun terhadap kesejahteraan warga setempat. Yang lebih parah, kata cendikiawan Palu, Akhlis Djirimu, Indeks Williamson (IW) yang mengukur ketimpangan antardaerah. Indeks itu akan semakin merata bila kian mendekati 0 atau menyempit kesenjangannya, dan semakin mendekati 1, kian timpang. “Tapi Sulteng punya IW 1,52 poin. Ini mengarah pada potensi munculnya masalah sosial…”

JERNIH—Arianto Sangadji, peneliti Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AEER), menemukan fakta bahwa program hilirisasi nikel yang sering dikumandangkan laiknya kampanye, ternyata tidak menurunkan tingkat kemiskinan secara signifikan. Hal itu disebabkan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) yang tercipta hampir seluruhnya tidak dinikmati warga lokal.

Arianto menunjuk data di Morowali, kawasan yang menjadi salah satu titik penting hilirisasi nikel. ”Kemiskinan di Kabupaten Morowali masih tergolong tinggi. Pada 2022, tingkat kemiskinan di Morowali berada di level 12,58 persen,“ kata Arianto dalam “Publikasi Kajian Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat” di Jakarta, Senin (25/9/ 2023) lalu.

Ironisnya, menurut Arianto, angka kemiskinan yang ada di Morowali bahkan lebih tinggi dari rata-rata angka kemiskinan di Sulawesi Tengah yang tercatat 12,33 persen. Jika dibandingkan dengan Kabupaten Sigi yang sama sekali tidak mengalami industrialisasi, tingkat kemiskinan di kabupaten itu justru lebih rendah yaitu 12,30 persen. Alhasil wajar bila muncul kesimpulan instan bahwa industrialisasi tak membawa perubahan apa pun terhadap kesejahteraan warga setempat.

Pada Maret 2023, angka kemiskinan itu bahkan naik dari 12,30 persen menjadi 12,41 persen. Menurut seorang cendikiawan Kota Palu, Ahlis Djirimu, yang juga mengenaskan adalah tingkat pengangguran terbuka di Sulteng. Selama kurun Agustus 2022 sampai Februari tahun ini, tingkat pengangguran terbuka naik dari tiga persen menjadi 3,49 persen. Yang lebih parah, kata Akhlis, Indeks Williamson (IW) yang mengukur ketimpangan antardaerah. Indeks itu akan semakin merata bila kian mendekati 0 atau menyempit kesenjangannya, dan semakin mendekati 1, kian timpang. “Tapi Sulteng punya IW 1,52 poin. Ini mengarah pada potensi munculnya masalah sosial, plus selama 2021, rata-rata lama bersekolah tetap 8,89 tahun,”kata Akhlis.

Ada lagi persoalan yang wajar membuat kita mengelus dada. “Derajat penghisapan ekonomi sangat ekstrem terjadi di Morowali dan Morowali Utara, dua kabupaten penghasil utama nikel di Indonesia,”kata Arianto yang di masa lalu dikenal secara nasional sebagai aktivis terkemuka itu.

Arianto menunjuk data. Pada 2022, 95,65 persen PDRB di Kabupaten Morowali menguap ke luar daerah. Artinya, masyarakat lokal hanya memperoleh 4,35 persen dari total nilai PDRB, atau jumlah nilai tambah bruto yang timbul dari seluruh sektor perekonomian, di daerah tersebut.

Saat ini, kata dia, beredar semacam keluh-kesah dari warga yang merasa terpinggirkan tanpa daya. “Investornya dari Cina, vendornya dari Jawa atau Makassar. Warga lokal bilang, kita hanya terima debu saja,“kata Arianto.

Mengomentari data AEER, ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance  (Indef), Faisal Basri, kepada TEMPO mengatakan angka persentase dana yang menguap  tersebut sangat besar dan tentu saja masyarakat lokal sangat dirugikan.

“Jika 95 persen lari keluar, kita mau ngapain? Tidak lebih (dari) menyediakan dengan penuh keleluasan untuk perusahaan multinasional mengeruk kekayaan alam secepat-cepatnya dan sebanyak-banyaknya,“kata Faisal.

Dengan masygul Faisal menyoroti industri nikel yang hampir sepenuhnya dikuasai Cina. Mulai dari tenaga kerja, teknologi, hingga di sisi perbankan, bank-bank Cina juga yang membiayai industri ini. Menurutnya, jika hilirisasi nikel menjadi proyek strategis nasional, maysarakat dapat lebih menikmati hasilnya.

”Kalau proyek strategis nasional, nilai tambah untuk Republik Indonesia tinggi. Nilai tambah ini harus dinikmati seluruh rakyat Indonesia, pemerintah pusat, hingga daerah,“ kata Faisal.

Ia juga menyesalkan sikap pemerintah yang terkesan membiarkan hal itu terjadi. Padahal, kata dia, pemerintah seharusnya berupaya agar hasil dari proyek strategis nasional itu dapat dinikmati masyarakat Indonesia, bukan pihak asing. Karena itulah Faisal mempertanyakan sikap pemerintah. ”Ini pemerintahan apa? Mengabdi kepada siapa?”kata Faisal. [ ]

Back to top button