Tuntutan 17+8 dan Bagaimana Mekanisme Pengawasan Selanjutnya?

Tuntutan rakyat seringkali hanya terhidang di meja rapat atau bahkan masuk kotak sampah parlemen. Akankah Tuntutan Rakyat 17+8 bernasib serupa? Bagaimana mengawalnya?
JERNIH – Sejarah demokrasi Indonesia selalu diwarnai oleh suara rakyat yang menuntut keadilan, transparansi, dan pemerintahan yang berpihak pada kepentingan umum. Hari-hari belakangan pasca perayaan HUT Kemerdekaan RI ke-80 yang memukau di mana-mana, di mana-mana pula kemudian meletup teriakan pada ketidakadilan. Hari ini, secara resmi sejumlah elemen masyarakat menyerahkan tuntutan terkonsep dan tertulis jelas.
Adalah Tuntutan Rakyat 17+8, sebuah rangkuman aspirasi yang lahir dari keresahan sosial, ekonomi, hukum, hingga tata kelola negara. Tuntutan ini menjadi simbol bahwa demokrasi tidak boleh berhenti pada prosedur elektoral, melainkan harus mewujudkan kesejahteraan nyata bagi rakyat.

Secara sederhana, 17 tuntutan utama menekankan isu besar seperti:
- Penegakan hukum yang bersih, bebas dari intervensi politik.
- Pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme.
- Transparansi anggaran dan akuntabilitas pejabat publik.
- Perlindungan HAM serta kebebasan berpendapat.
- Keadilan sosial bagi buruh, petani, nelayan, dan kelompok rentan.
- Reformasi agraria, lingkungan hidup, hingga kedaulatan ekonomi nasional.
Sedangkan 8 tuntutan tambahan lebih teknis, di antaranya: revisi undang-undang yang merugikan rakyat, audit independen proyek strategis, pembentukan lembaga pengawas rakyat, reformasi birokrasi, hingga penguatan partisipasi publik dalam kebijakan negara.

Dengan kata lain, 17+8 bukan sekadar daftar keinginan, melainkan peta jalan perubahan menuju negara yang lebih adil dan demokratis.
Tantangan terbesar dari sebuah tuntutan rakyat adalah implementasi. Tanpa mekanisme pengawasan, 17+8 bisa saja berakhir menjadi slogan politik. Karena itu, diperlukan sistem pengawasan berlapis yang memastikan pemerintah mendengar dan menindaklanjutinya, agar tuntutan ini tidak berhenti pada level wacana.
Gabriel Almond & Sidney Verba lewat teori partisipasi Politik menyebutkan, partisipasi rakyat dalam politik bukan hanya melalui pemilu, tapi juga lewat aksi protes, petisi, demonstrasi, dan pengawasan kebijakan. Monitoring parlemen adalah bentuk participant political culture.
Sedang Alexis de Tocqueville dan Antonio Gramsci (Civil Society), kekuatan masyarakat sipil penting untuk mengontrol negara. LSM, ormas, media, dan akademisi adalah instrumen untuk mengawasi parlemen.
Bahkan UNDP dengan teori Good Governance-nya menyebutkan empat pilar transparency, accountability, responsiveness, participation. Monitoring rakyat ke parlemen harus menjamin keterbukaan data, tanggung jawab wakil rakyat, dan partisipasi publik dalam pengambilan keputusan.
Bentuk ideal dari pengawasan tersebut di antaranya;pParlemen rakyat yang merupakan forum rakyat sipil yang bertugas memantau implementasi tuntutan melalui rapat publik, laporan berkala, dan evaluasi kebijakan.
Audit sosial dan partisipatif, dimana rakyat dilibatkan langsung dalam audit anggaran, proyek pembangunan, dan kinerja pejabat publik.
Hadirnya media independen yakni pers diberi ruang dan perlindungan hukum untuk melakukan investigasi, mengungkap penyimpangan, serta menjadi corong aspirasi rakyat. Bukan pers yang gampang disetir oleh kekuasaan mentang –mentang miliki oligarki.
Koalisi masyarakat sipil mestilah datang sebagai sebuah kekuatan nyata. Di sini LSM, organisasi mahasiswa, buruh, petani, dan kelompok profesi bersatu membentuk jaringan pemantau independen.
Memanfaatkan mekanisme digital transparansi. Pemanfaatan teknologi (platform daring) untuk mempublikasikan data anggaran, proyek, serta capaian kinerja pemerintah secara real-time.
Melakukan checks and balances lembaga negara, baik DPR, BPK, KPK, dan lembaga peradilan diminta menjalankan fungsi pengawasan secara konsisten, dengan desakan rakyat sebagai pengingat moral.
Lalu terus melakukan gerakan aksi kolektif. Jika pemerintah tidak menjalankan tuntutan, rakyat dapat menggunakan jalur konstitusional: demonstrasi damai, judicial review, hingga referendum rakyat.
Langkah-langkah di atas mesti konsisten, pengalaman membuktikan keangkuhan dan kesewenangan pejabat mudah dihadang dengan pelibatan rakyat secara total lewat cara konstutisional.(*)
BACA JUGA: Dampak Demonstrasi Anarkis, Kerugian Diperkirakan Mencapai Rp9 Triliun