Mohammad Bouazizi, Arab Springs, dan Pengorbanan Sia-sia
Hari ini, 17 Desember 2010, di suatu siang yang terik seorang lalaki penjual buah berusia 26 tahun membakar diri di depan kantor gubernur Sidi Bouzid, Tunisia. Niat Mohammad Bouazizi, begitu nama penjual buah itu, hanya untuk memprotes penertiban pedagang kaki lima (PKL).
Bouazizi tewas di rumah sakit dengan luka bakar hampir 90 persen. Sepuluh hari setelah kematiannya, Presiden Tunisia Zine El Abidine Ben Ali, yang 23 tahun berkuasa tak tergoyahkan, mengundurkan diri.
PKL itu menjadi pahlawan bagi perubahan di negaranya. Ia dipuja sekujur negeri, meski bunuh diri dilarang dalam Islam. Ia memicu semangat perubahan di negara-negara Arab, dan memunculkan apa yang disebut sebagai Arab Springs.
Mesir menjadi negara pertama yang terkena Arab Spring. Hosni Mubarak turun, setelah aski demo berdarah dan menimbulkan banyak korban. Aksi demo muncul di Maroko, Yaman, Suriah, Libya, dan Oman.
Selanjutnya, kekuatan asing bermain. Di Libya dan Suriah, aksi demo direspon keras Moamar Khadafi dan Bashar al-Assad. Korban berjatuhan, dan kedua negara terjerumus ke dalam perang saudara.
Di Libya, AS sukses mendepak Muamar Khadafi secara keji. Di Suriah, Bashar a-Assad memainkan kartu Rusia untu mempertahankan kekuasaannya. Suriah menjadi proxy war bagi Rusia yang sekuat tenaga mempertahakan Assad, dan AS yang terus mencoba menggulingkan rejim agama minoritas Alawites itu.
Lebih dua juta rakyat Suriah mengungsi ke negara tetangga, atau melintasi Laut Mediteranea menuju Eropa. Penduduk Libya berbondong-bondong lari ke Italia, sebab perang saudara belum selesai.
Di tengah situasi itu, muncul ISIS — menggantikan peran Al Qaeda — dan berkuasa di sebagian wilayah Irak dan Suriah. Perang saudara berkepanjangan juga terjadi di Yaman, dengan Arab Saudi dan Iran bermain di dalamnya.
Menariknya, Aljazair tak terkena Arab Spring. Di Maroko dan Oman, demo berlangsung singkat dan tidak ada perubahan rejim.
Entah siapa yang kali pertama menggunakan kata Arab Springs. Yang pasti, istilah ini diambil dari era 1848-1849, ketika terjadi perubahan drastis di Italia, Jerman, Prancis, Denmark, Hongaria, Swedia, Polandia, Swiss, Belgia, dan Irlandia.
Perubahan yang kemudian disebut The Springs of Nations, People’s Springs, Springtime of the People, dan lainnya.
Penyesalan
Hari ini, jika berkunjung ke Propinsi Sidi Bouzid di Tunisia, Anda akan menemukan jalan bernama Mohammed Bouazizi Avenue. Semula jalan itu bernama Rue 7 Novembre 1987.
Di jalan itu berdiri gedung pemerintahan propinsi, tempat Bouazizi membakar diri. Ada monumen gerobak batu untuk memperingati tindakan bakar diri Bouazizi. Letaknya di sebelah gedung gubernuran.
Lima tahun lalu Aljazeera menjumpai orang-orang yang terlibat aksi demo, termasuk keluarga Bouazizi. Setiap keluarga Bouazizi punya pendapat soal kematian Bouazizi dan Arab Springs.
Ali Bouazizi, sepupu dan kawan dengan Mohammed Bouazizi, masih bangga dengan kematian anggota keluarganya. Namun, seperti kebanyakan warga Tunisia, ia juga mengeluhkan tidak banyak perubahan yang terjadi setelah Arab Springs.
Seperti Mohammed, Ali Bouazizi juga PKL. Kini ia pengacara, tapi tak punya pekerjaan. Ia hidup dari bisnis kecil-kecilan dan aktif di partai oposisi.
“Saya berharap Mohammed Bouazizi masih hidup,” katanya. “Tapi kematiannya tidak sia-sia. Kematiannya membuat kami terbebas dari rejim Ben Ali.”
Abdessalam Bouazizi, juga sepupu Mohammed Bouazizi, menyesal ikut dalam demo penggulingan Ben Ali. Ia masih PKL yang menjual buah sampai saat ini.
“Lebih baik di bawah Ben Ali,” katanya penuh sesal. “Kini orang tidak punya banyak uang, dan harga pangan terus meningkat.”
Bahkan, menjadi kerabat Mohammed Bouazizi — atau menyandang nama belakang Bouazizi — menjadi semakin tidak mudah. Jika dulu orang memuji, kini akan selalu ada orang di jalan-jalan memaki.
Ibu dan saudara Mohammed Bouazizi dilecehkan warga Sidi Bouzid. Keduanya dituduh menerima sejumlah uang dari pemerintah dan organisasi asing. Keduanya tak tahan, dan pindah ke pinggiran Tunis — ibu kota Tunisia — lalu lari ke Montreal, Kanada.
Ali Bouazizi mengatakan Ben Ali lari ke Arab Saudi, tapi orang-orangnya masih di Tunisia. Kini, Tunisia dijalankan orang-orang Ben Ali, yang mempertahankan status quo.
Pengacara gagal itu berhenti berpolitik. Ia kecewa dengan semua politisi, namun masih bangga kepada Mohammed Bouazizi yang mengawali Arab Spring.
Ia hanya sedikit dari warga Tunisia yang mempertahankan kebanggaan itu. Lainnya kecewa, dan akan terus kecewa.