Paradigma Keperawanan Dari Masa ke Masa
JERNIH.CO – Selama ribuan tahun kaum pria memiliki obsesi terhadap keperawanan dan memiliki cara pandang berbeda-beda. Oleh karena itu keperawanan tidak bisa didefinisikan secara baku dan universal. Sumber paling awal tentang makna dan nilai keperawanan berasal dari Mesir, Yunani, Roma, dan masa awal Kristen.
Dari sumber-sumber tersebut dapat dilihat perkembangan nilai keperawanan dalam budaya manusia yang tumbuh sampai saat ini. Dalam pandangan umum, keperawanan bermakna kesucian. Wanita yang masih perawan dapat disebut sebagai wanita yang masih suci.
Kesucian tersebut akan bertemali dengan kehormatan dan harga diri seorang wanita. wanita yang dapat menjaga kehormatannya sampai ke pernikahannya dianggap wanita yang baik dan suci. Namun pandangan demikian tidak tegak lurus dengan sejarahnya. Masyarakat sebelum agama kristen memandang bahwa keperawanan bukan tolak ukur utama dalam pernikahan.
Moral dan martabat seorang gadis tidak ditentukan oleh keperawanan. Hal tersebut terjadi dimasa Kerajaan Baru Mesir (1570 SM dan 1544 SM).Keperawanan bukan sesuatu yang dipandang suci dan harus dipertahankan sampai ke jenjang pernikahan. Saat itu, wanita yang tidak terikat pernikahan dapat melakukan hubungan seksual.
Namun bila sudah menikah maka pasangan akan terikat oleh komitmen yang bersifat monogami, walau poligami dan poliandri juga hadir dalam budaya manusia sampai saat ini.
Keperawanan juga dijadikan tanda bagi seorang wanita untuk siap menikah. Dalam buku ‘Histories’ yang ditulis oleh Herodotus 430 SM dikisahkan bahwa kematangannya gadis Amazon dan Scythia harus diuji dengan membunuh seorang pria dalam pertempuran. Bagi yang berhasil maka akan menikah, sedangkan bagi yang tidak berhasil maka gadis itu akan tetap perawan.
Contoh lain, digambarkan dalam festival Libyia Kuno, yang berbeda dengan tradisi Amazon dan Scythia. Herodotus menginformasikan bahwa untuk membuktikan keperawanan dua kelompok gadis akan bertarung sampai mati di atas kereta masing masing menggunakan tongkat dan batu. Bila ada yang meninggal maka gadis itu bukan perawan, namun yang selamat adalah gadis perawan yang siap menikah.
Namun, kisah Yunani kuno lainnya memiliki perspektif berbeda tentang keperawanan. Menurut Hanne Blank, keperawanan di masa Yunani Kuno memiliki nilai yang sangat tinggi yang harus dijaga oleh anak gadis yang belum menikah. Bila tidak, maka seorang ayah lumrah membunuh putrinya jika ketahuan keperawanannya telah hilang sebelum menikah.
Hal itu dikarenakan budaya Yunani kuno memandang pernikahan tidak sekedar ikatan resmi antara pria dan wanita, namun pernikahan merupakan kontrak hukum yang mengikat antara dua keluarga untuk mendapatkan kekuasaan, tanah, reputasi, dan perdamaian. Oleh karena itu nilai total seorang wanita bergantung pada keperawanannya.
Contoh berikutnya tentang tingginya nilai keperawanan adalah adanya bantuan hukum di Pulau Kreta Yunani pada 450 SM yang menyatakan bahwa nilai keperawanan pada wanita sangat penting untuk pernikahan. Undang-undang Kreta menetapkan bahwa hukuman terhadap pemerkosa gadis perawan jauh lebih berat daripada hukuman perkosaan yang bukan perawan. Pemerkosa juga harus membayar ganti rugi kepada suami, ayah, atau pemilik budak.
Pada tahun 1200 disusun buku manual tentang rahasia wanita yang berjudul De Secretis Mulierum. Buku tersebut dirancang untuk mengidentifikasi keperawanan wanita melalui tanda-tanda fisik tanpa harus memeriksa vagina.
Beberapa tanda sikaf dan sifat gadis perawan yang tertulis di De Secretis Mulierum misalnya : malu, kesederhanaan, ketakutan, gaya berjalan dan ucapan tanpa cacat, mengarahkan pandangan ke bawah di hadapan laki-laki, urin perawan terlihat jernih, kadang-kadang putih, kadang-kadang berkilau.
Karena selaput dara dipandang penting maka pemeriksaan keperawanan sering dilakukan oleh para doktor di jaman kuno. Mereka menggunakan peralatan bernama spekulum yang bentuknya seperti paruh bebek yang akan dimasukan ke dalam genital wanita. Namun dalam keyakinan Yahudi-Kristen penggunana spekulum dikhawatirkan justru akan merusak selaput dara.
Pada 1625, dokter kandungan menjadi profesi lazim dan bahkan mendapat gelar bidan. Pemeriksaan alat kelamin perempuan mulai sering dilakukan namun hal itu masih dianggap sebagai tindakan yang kurang terhormat.
Pada tahun 1810 Prancis melegalkan prostitusi dan undang-undang baru mensyaratkan bahwa setiap pelacur yang telah terdaftar memerlukan pemeriksaan spekulum untuk memeriksa penyakit kelamin.
Hal itu mengakibatkan para mahasiswa kedokteran dari Eropa dan Amerika Serikat membanjiri Paris. Mereka mendapat kesempatan untuk praktek medis mempelajari bentuk vagina pelacur melalui teknik pemeriksaan spekulum. Karena adanya pemeriksaan genital yang wajib dilakukan oleh para pelacur di Prancis maka tes perawan pun kemudian menjadi kebutuhan.
Pada akhir abad ke-19, penggunaan spekulum yang lebih lanjut dikhawatirkan akan membangkitkan nafsu seksual yang mengakibatkan nymphomania atau bahkan histeria. Maka dibutuhkan metode alternatif untuk pengujian perawan secara medis, untuk menjaga kehormatan wanita, terutama perawan.
Mary Roach, penulis Bonk menuliskan tentang diskusi ahli kandungan Robert Latou Dickenson tentang metode alternatif untuk memeriksa keperawanan wanita pada tahun 1910.
Dari diskusi tersebut dituliskan bahwa lubang vagina perawan adalah selebar ‘satu jari’. Vagina wanita yang telah menikah ‘dua jari. Sedangkan wanita yang telah melahirkan ‘tiga jari’. Istilah tersebut masih digunakan sampai abad 21.
Artikel Terkait : Mitos Penyembuhan Penyakit Kelamin oleh Darah Perawan dan Tradisi Tes Keperawanan
Metode lainnya juga dikembangkan oleh dokter kandungan untuk memeriksa seseorang hamil atau tidaknya. Mereka tidak menggunakan lubang vagina untuk memeriksa rahim, karena akan merusak selaput dara bila memang gadis itu masih perawan.
Namun Mereka akan memasukan jari-jari tangan melalui dubur wanita untuk memeriksa rahim dan ovarium. Metode ini dianggap lebih klinis dan aman dalam menjaga selaput dara bila terbukti gadis tersebut tidak hamil alias masih perawan.
Lain halnya dengan tradisi orang-orang Gipsi di Roma. Mereka memiliki tradisi untuk menonton senggama pertama dari sepasang pengantin yang menjadi kerabat mereka. Anggota keluarga kedua pihak akan melihat bagaimana hilangnya keperawanan yang ditandai dengan adanya darah perawan dan noda honra di seprai.
Honra dikeluarkan oleh kelenjar seperti anggur di dalam vagina dan mengandung cairan berwarna kuning yang disebut uva. Ketika kelenjar itu ditekan maka akan mengeluarkan cairan yang merupakan tanda lepasnya keperawanan wanita. Menyaksikan senggama pertama sepasang pengantin merupakan kesempatan menjadi saksi yang mendatangkan kebanggaan. [ ]